Politisi Alor Ini Terpukau Dengan Ritual Muro di Kolontobo

Home » Berita » Politisi Alor Ini Terpukau Dengan Ritual Muro di Kolontobo

LEWOLEBA – Suasana Desa Kolontobo, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, dipenuhi kekhidmatan pada Jumat sore ketika masyarakat adat lima desa pemilik wilayah Muro  menggelar Festival Buka Muro.

Ritual syarat dengan nilai sakral ini merupakan cara masyarakat adat menjaga hubungan harmonis dengan alam, sekaligus menandai awal musim panen hasil laut.

Lima desa yang melaksanakan Muro, yakni Dikesare, Tapo Baran, Lamatokan, Todanara, dan Kolontobo, hadir lengkap dalam prosesi adat tersebut. Upacara yang digelar setiap beberapa tahun sekali ini diyakini mampu menjaga kelestarian biota laut, serta menjadi pengingat bahwa laut bukan sekadar sumber hidup, tetapi juga bagian dari warisan leluhur yang harus dihormati.

Hadir dalam kesempatan ini, Linus Lusi, Staf Ahli Bidang Ekonomi mewakili Gubernur NTT bersama anggota DPRD NTT Leonardus Lelo, Ketua Komisi II;  Viktor Mado Watun, Anggota Komisi III;  Alexander Take Ofong  Anggota Komisi III;  Astria Blandina Gaidaka Anggota Komisi III dan Wakil Ketua Bappemperda Oktafianus Moa Mesi.

Hadir juga Bupati Lembata diwakili Kepala Dinas Pariwisata, Yakobus Wuwur, Ketua DPRD Lembata Syafrudin Sira, Wakil Ketua DPRD Lembata, Fransiskus Gewura, Anggota DPRD Lembata Hilarius Lukas Kirun dan Sebastianus Muri dan Camat Ile Ape, Laurensius Manuk.

 

Astria Blandina Gaidaka, politisi perempuan asal Alor ini merasa bahagia bisa mengikuti ritual Muro oleh pemangku adat Lewuhala, sejak penjemputan sampai ritual di pinggir pantai.

“Saya baru pertama kali menyaksikan ritual adat seperti ini. Muro ditutup selama dua tahun, dan masyarakat tidak boleh melaut sebelum dibuka secara adat. Ini luar biasa, budaya yang harus kita pertahankan,” ujarnya.

Ritual yang dilakukan merupakan wujud syukur, permintaan doa restu dari para leluhur agar hasil tangkapan saat Festival Buka Muro 23 Agustus 2025 dapat memuaskan. Sebab hasil muro dari laut akan diberikan kepada para janda, duda, yatim piatu dan cacat.

Festival Buka Muto adalah harapan untuk Masyarakat Adat, Pau Ribu Gota Ratu-membeti makan khalayak banyak.

Astria juga menekankan pentingnya keterlibatan generasi muda.


“Anak-anak muda yang tumbuh di era digital perlu datang, melihat, dan melestarikan budaya kita. Tradisi ini bukan sekadar ritual, tetapi identitas dan warisan leluhur yang harus dijaga bersama,” tambahnya.


Prosesi dimulai dengan ritual minta leluhur Lewotanah yang dilaksanakan di pusat kampung (Lewu Keulpuhur). Tuak putih menjadi simbol persembahan kepada leluhur, kemudian dilanjutkan dengan pau boi atau pemberian sesajian bagi “pemilik laut”. Setelah upacara, masyarakat bersama-sama memanjatkan doa syukur serta permohonan restu agar hasil laut tahun ini berlimpah.


“Ini adalah ungkapan syukur sekaligus permintaan maaf kepada alam. Jika tahun lalu ada kesalahan dari kami, maka lewat ritual ini kami memohon ampun dan restu. Semoga hasil laut tahun ini mencukupi kebutuhan masyarakat,” ungkap Yakobus Asan, Atamolan, 22 Agustus 2025.


Festival Muro bukan hanya seremoni adat, tetapi juga sebuah pesan kuat tentang kearifan lokal dalam menjaga ekologi laut. Dengan menahan diri untuk tidak melaut hingga waktu yang ditentukan adat, masyarakat Muro secara tidak langsung memberi kesempatan bagi ekosistem laut untuk pulih dan berkembang. +++bedhos.making

Bagikan:

Sandro Balawangak
Sandro Balawangak

Bagaimana engkau bisa belajar berenang dan menyelam, sementara engkau masih berada di atas tempat tidur?

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *