
LEMBATA – KOMITMEN Kementrian Kebudayaan Republik Indonesia melalui Dirjen Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Esa dan Masyarakat Adat (KMA) terhadap pengembangan pangan lokal di Provinsi Nusa Tenggara Timur patut didukung oleh berbagai kalangan. Inovasi produk pangan lokal dapat menggunakan dana desa 20 persen untuk ketahanan pangan.
Dukungan ini diberikan komunitas Pandu Budaya Lembata saat menggelar Forum Discussion Group (FGD) bersama pemerintah daerah kabupaten Lembata dan pelaku usaha kecil menengah di Lewoleba, 27 Agustus 2025 yang didukung Kemendikbud RI.
Kegiatan yang dipandu Abdul Gafur ini dibuka Wakil Bupati Lembata, Muhammad Nasir dan dihadiri Kepala Dinas Porabud Apol Mayan, Kepala Dinas PMD Langoday, Pejabat yang mewakili Dinas Pariwisata Emilia Manuk dan yang mewakili Dinas Kesehatan dan urusan dari beberapa desa yang memiliki inovasi pangan lokal.
Hadir juga Anggota DPRD Lembata Emanuel Ubuq dan Hasnan Ladopurab.
Dalam diskusi yang mengangkat tema Dari Ladang Menuju Pasar Untuk Kesejahteraan Nelayan Tani Ternak ini, peserta membedah persoalan produksi pangan lokal, inovasi pangan termasuk pemasaran.
Hasnan Ladopurab mengungkapkan kelompok kecil yang digagas oleh Pandu Budaya ini sebagain pemantik dalam upaya pemajuan kebudayaan dan kearifan pangan lokal Lembata.
Ladopurab meminta agar forum diskusi ini mampu merumuskan rekomendasi yang solutif agar bisa meningkatkan gairah masyarakat berinovasi terhadap pangan lokal.
“Kelompok ini harus bisa menjadi pemantik. Menjaga semangat untuk terus berinovasi dan bahkan harus berani melakukan rekayasa sosial agar gairah masyarakat terhadap kearifan pangan lokla kita tetap terjaga”, ungkapnya.
Selain kendala inovasi dan Produksi, dalam diskusi tersebut juga diangkat persoalan pengurusan izin dan status halal.
Menurut data dinas kesehatan produk pangan lokal di Lembata yang sudah memperoleh status halal adalah abon Ikan milik Kuma Resort dan Kopi Baleo.
Kepala Dinas Porabud, Apol Mayan menjelaskan untuk Kopi Baleo sudah mengantongi status halal dan saat ini dipasarkan di luar Lembata.
“Saat ini kopi Baleo sudah ada status halal dan dipasarkan di luar Lembata. Termasuk di Galeri UMKM Bandara El Tari Kupang”, ungkap Apol.
Lebih jauh Apol meminta agar perhatian serius dan komitmen bersama semua pihak dalam pemajuan kearifan pangan lokal.
“Butuh komitmen bersama agar tidak hanya habis didiskusi. Harus ada kerja kolaboratif tidak parsial. Komitmen ini harus diaplikasikan dengan kerja mapping produk pangan lokal yang dimunculkan oleh desa. Hal ini penting agar tidak ada produk yang sama dari desa. Satu desa satu produk”, ungkap Apol.
Senada dengan Apol, Kepala Dinas PMD Kabupaten Lembata, Yoseph Raya Langoday juga meminta agar 29 desa dampingan hasil program MBKP Kemendikbud harus terus menjaga inovasi pangan lokal yang dihasilkan bersama mahasiswa saat itu.
Ia menjelaskan pemeritah desa dapat menggunakan anggaran 20 persen dari dana desa untuk pengembangan inovasi produk pangan lokal.
“Dana desa 20 persen untuk ketahanan pangan bisa digunakan untuk inovasi produk pangan lokal. Agar berhasil cukup satu produk setiap desa”, ungkapnya.
Beberapa desa yang hadir dalam diskusi tersebut memunculkan produk unggulan hasil MPKB yaitu Desa Tagawiti dengan produk Abon Ikan dan jus kacang hijau, Desa Katakeja dengan produk Kripik nenas dan Abon Jambu Mete, Desa Riangdua dengan produk inovasi kukis daun kelor dan Desa Tubungwalang dengan produk Teh Daun kelor dua rasa.
Desa merdeka. memiliki produk kermet ubi kayu. Menariknya produk inovasi panhan lokal dari desa Riangdua, Kukis Daun Kelor menjadi cemilan untuk anak anak stunting di desa tersebut.
FGD ini juga menghasilkan beberapa rekomendasi baik kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah dan stakeholder lainnya. +++sandro.wangak