Panen Melimpah Dari Bukit Komak

LEMBATA Pada tahun sebelum 1980, di pulau Lembata, sekolah negeri setingkat SLTA belum ada. Hanya ada beberapa sekolah swasta yaitu SMA PGRI Lewoleba, SMA Kawula Karya, SPG dan SMEA Kawula Karya, semuanya dikelolah oleh Yayasan/swasta dengan segala keterbatasan. Sedangkan pada kecamatan-kecamatan lain, tidak ada sekolah setingkat SLTA.

Kondisi ini tentu belum mampu mengakomodir keinginan anak-anak Lembata untuk menempuh pendidikan di tanah kelahiran. Untuk itu, pemerintah membangun SMA Negeri Lewoleba. Lokasi  sekolah waktu itu agak jauh dari pemukiman penduduk, sehingga Siswa dan Guru-Pegawai pulang-pergi sekolah  berjalan kaki. Sekolah terletak persis di atas bukit mungil, oleh masyarakat setempat populernya di namakan bukit Komak,  dikelilingi kebun warga dan sebagian semak-semak, halaman sekolah pun dipenuhi rerumputan yang menguning kecoklatan di musim kemarau dan menghijau di musim hujan. Boleh dikatakan, kondisi sekolah di awalnya, cukup gersang karena belum ditata secara bagus.

Tahun 2024, SMAN 1 Nubatukan, yang lahir tanggal 24 November 1984 dibaptis dengan nama SMAN Lewoleba, memasuki usia matang dalam momentum perayaan pesta Pancawindu, 40 Tahun kehadirannya di bumi Lepanbatam-tanah Lomblen untuk memberikan warna khas bagi pengembangan pendidikan Indonesia guna mencerdaskan bangsa.  Munculah inisiatip sekolah dan Alumni berkolaborasi menghelat acara peringatan. Lalu terbentuklah WAG Pancawindu beranggotakan seluruh angkatan, yang tersebar  seantero dunia. Para Alumni bermunculan untuk diinvite dalam group. Ada data Alumni yang cukup mencengangkan dalam kaca mata saya seorang awam. Ternyata banyak  Alumni SMAN  memilih jalan panggilanNya menjadi Biarawan/wati, baik Pastor, Suster dan Bruder.

Demikian  kaum Muslimin/Muslimat, ada 3  Alumni yang sudah menunaikan rukun Islam kelima, yaitu menjadi Haji/Haja. Tentu, hal ini juga istimewah, karena tidak semua umat Islam mempunyai kesempatan untuk naik Haji/Haja di serambi Mekkah. Untuk itu, perlu diabadikan dalam karya tulis sederhana, sebagai suatu kenangan dan  memori kolektif para Alumni/a serta  para  civitas akedemika SMAN 1 Nubatukan, bahwa dari bukit gersang Komak, meghasilkan panen melimpah untuk  ikut memberikan kontribusi  melayani Tuhan dan sesama melalui hidup membiara dan keteladanan hidup menjadi Haji/Haja yang mabrur. Dari puncak bukit nan gersang, mampu mendidik  manusia yang cukup sukses yang kini berkiprah dalam segala bidang kehidupan seantero dunia.

Hal ini selaras dengan fungsi dan tujuan pendidikan Nasional yang termaktub pada  Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang berbunyi, “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Para Alumni memaknai betul tujuan pendidikan. Taman pendidikan SMAN 1 Nubatukan, menghasilkan panen yang yang cukup  melimpah, namun agak unik, luar biasa dan istimewah.

SMA ‘Seminari’ Negeri Nubatukan Dalam Momentum Pancawindu

 Membaca subjudul tulisan ini, pasti membingungkan dan mencuat banyak pertanyaan serta (mungkin) ada yang protes. Apakah ada sekolah Seminari berstatus negeri? Selama ini kita hanya kenal SMA Seminari San Dominggo Hokeng, SMA Seminari St. Rafael Kupang, SMP Seminari Mataloko, SMP Seminari Kisol dan beberapa Seminari di NTT.

Sekarang ini, ada mengenal TK Taman Seminari, namun apakah benar SMA Negeri berstatus Seminari yang pada tahun 2024  ini merayakan HUT ke-40 tahun? Lalu kenapa penulis memberikan judul ini?

Seminari adalah lembaga pendidikan bagi calon imam (pastorKatolik. Seminari berasal dari kata Seminarium dari bahasa Latin yang terbentuk dari kata dasar “semen”, artinya benih. Maka, Seminari berarti tempat penyemaian benih. Maksudnya, benih panggilan rohani, disemaikan dengan pendidikan di Seminari baik Seminari Menengah (SLTP dan SMA) dan Seminari Tinggi (perguruan tinggi). Seseorang yang menempuh pendidikan di Seminari disebut Seminaris.  Pendidikan Seminari merupakan bagian dari sistim pendidikan nasional, maka menerapkan kurikulum  umum dan kurikulum khusus yang didasari lima aspek yaitu:  scientia  (pengetahuan),  sanctitas  (kekudusan), sanitas  (kesehatan), communitas (komunitas) dan vocatio (panggilan). Dengan lima aspek ini seminaris diharapkan mampu menjadi pemimpin sekaligus pelayan bagi masyarakat dan gereja.Untuk mengembangkan aspek scientia (pengetahuan), Pasca Seminari Menengah (SMA), dilanjutkan ke Seminari Tinggi dan menjalani proses sampai ditahbiskan menjadi imam/Pastor.

Ternyata banyak  Alumni SMAN  memilih jalan panggilanNya menjadi Biarawan/wati. Data  sementara, ada 15 Imam/Pastor, 40 Suster, 8 Bruder, 2 yang lagi mengikuti Novis/Postulant  calon Pastor, 18 eks religius/tidak ditahbiskan/sudah menerima kaul  namun keluar dengan berbagai alasan  terdiri dari 13 eks Seminaris, 4 eks Suster, 1 eks Bruder. Jadi data sementara ada 83 orang yang awalnya memilih jalan panggilan hidup membiara.  Hal ini menunjukkan bukit Komak nan gersang menjadi lahan yang subur untuk menabur benih panggilan hidup membiara bagi para Alumni yang berkehendak baik untuk bekerja di kebun anggur guna melayani sesama dan menggembalakan umatNya menuju tanah terjanji.

Secara statistik, jumlah panggilan hidup membiara terbilang kecil dibandingkan ribuan Alumni yang berhasil menamatkan pendidikan di SMAN 1 Nubatukan.  Namun pilihan hidup membiara pasca menamatkan pendidikan SMA, merupakan suatu hal yang luar biasa, unik, dan istimewah. Walaupun dalam kacamata Rohaniwan, merupakan hal yang biasa-biasa saja.  Dalam wawancara melalui WA, Pater Beni Leu, SVD menuturkan  “Memang ada program untuk merekrut calon-calon Seminaris melalui sekolah-sekolah setingkat SLTA, namun hal ini perlu diangkat/ditulis untuk dipublikasikan  agar  diketahui umat bahwa memilih hidup membiara khususnya Pastor tidak selamanya melalui jenjang dari Seminari Menengah (SMP/SMA Seminari), namun bisa langsung ke Seminari Tinggi setelah pembinaan KPA pada SMA Seminari”. Lanjutnya, “Dengan demikian, siapa tahu ada calon yang tertarik masuk Seminari Tinggi setelah tamat SMA Umum”, kata Beny Leu dengan nada harapan.

Lasimnya, para rohaniwan/klerus, memelihara, merawat dan membina benih panggilannya dimulai dari pendidikan Seminari Menengah (SMP/SMA), namun ada hal yang unik, istimewah, luar biasa dan boleh dikatakan suatu  misteri   keilahian Allah yang sulit dipahami akal sehat. Dalam hati, berkecamuk pikiran, dalam kehidupan masa remaja (masa SMA umum) yang penuh tantangan, namun beberapa Alumni masih memelihara jiwanya yang bersih, menepis segala tantangan  untuk melabuhkan pilihan seturut kehendakNya.  “Dalam pandangan masyarakat awam, siswa sekolah pemerintah (pen: negeri) tidak disiplin, nakal dan kemampuan intelektual biasa-biasa saja,” tulis P. Kopong Tuan, MSF ketika menggoreskan pengalaman di WAG Pancawindu. Demikian Dr. Marsel Ruben Payong, kini Dosen di Universitas Katolik Ruteng bersaksi,  “Kalau muka-muka kamu ini mau masuk biara, potong saya punya jari”, kata Ruben menirukan Kepala Sekolah, Drs. Rofinus Suban Boleng. Nyatanya, banyak Alumni angkatan kedua yang masuk biara.  Namun, “Di tengah hamparan pada ilalang ada janji dan rahmat Tuhan yang tak letih menyirami wadas karang itu menjadi sebuah tanah terjanji, tanah di mana tak jarang para Musa (guru) mencari jalan untuk menempa kawanan perjalanan mereka yang kini menjadi gembala Gereja di mana saja mereka bekarya”, tutur Kopong Tuan, MSF yang kini bertugas di Philipina memberikan kesaksiannya. Oleh karena, “Panggilan itu misteri. Di mana pun saya berada jika Tuhan berkehendak maka semua bisa terjadi le”, komentar Suster Fransiska  Ledjab,  SJMJ di WAG Pancawindu. Suster Fransiska adalah Alumni angkatan kedua dan kini bertugas di Tomohon Sulawesi Utara.

Demikian halnya dengan Pater Dominikus Moi, SVD yang sudah 23 tahun bermisi di Taiwan. Ketika  dimintai menceritrakan kisah jalan panggilanNya, Pater Domi menuturkan, “Pertama-tama thanks atas permintaan ini. Saya kira satu hal yang bagus kalau melihat ke belakang apa yang telah kita lalui sebagai moment untuk refleksi demi sesuatu yang lebih baik ke depan. Karena itu permintaan untuk membagi kisah tentang hidup panggilan saya, dengan senang hati untuk disharingkan”,  tulis Pater Domi yang dikirim melalui email.  Sewaktu bangku SD, sudah ada keinginan dengan kehidupan Pastor. Keinginan suci ini  dipelihara terus dan  sewaktu SMA  melakukan korespondensi dengan berbagai serikat namun berbuah nihil. Tamat SMAN Lewoleba (1988), sempat menganggur di kampung halaman dan tahun berikutnya masuk Kelas Persiapan Atas (KPA) Seminari San Dominggo Hokeng untuk didik selama dua tahun.  Setelah itu melamar pada ordo Serikat Sabda Allah (Sosio Verbi Divini) dengan alasan dididik sebagai imam biarawan dalam konteks budaya.  Pada  tahun 1991 menjalani jenjang novisiat di Nenuk-Timor. Tahun 1992 menempuh pendidikan di Seminari Tinggi Ledalero Maumere dan akhirnya ditabiskan menjadi Pastor tahun 1999 di Hadakewa bersama enam teman lainnya; Tiga diantara tujuh Pastor adalah tamatan SMA NEGERI LEWOLEBA,  P. Dominikus Moi, SVD,   P.  Beni Leu,  SVD,  dan Romo Paulus Nunang,  Pr,  (tugas  di Keuskupan Larantuka).

Luar biasa. Alumni angkatan perdana (1985-1988) berhasil panen tiga Pastor, suatu panen yang cukup melimpah karena  benih-benih panggilan yang tersemai pada jenjang sekolah SMA Umum. Pater  Beni Leu pun berkisah. Dalam obrolan, terungkap bahwa Beni Leu kecil adalah seorang kafir, belum memeluk salah satu agama karena orang tuanya pun masih kafir. Namun rasa ketertarikan untuk mau dibaptis, berawal ketika mengenyam pendidikan pada SDK Leudawan-Kedang. Saat pelajaran agama Katolik, Beni kecil bersama teman non Katolik memilih bermain bola kaki yang terbuat dari anyaman kulit pisang kering. Saban hari, Beni pun menyaksikan anak-anak berdoa secara Katolik, sehingga menjelang menamatkan pendidikan SD, Beni dibaptis secara ajaran Katolik. Orang tuanya pun dibaptis menjelang Beni ditahbiskan menjadi Diakon.

Ketertarikan terhadap agama Katolik dan pilihan menjadi Imam/Pastor semakin bertumbuh saat di SMP Katolik Don Bosco Aliuroba-Kedang.   Saat perayaan Jumat Agung ada ritual jalan salib hidup/tablo, sehingga Beni kecil cukup merasakan getirnya jalan salib yang dilakoni Yesus menuju bukit Kalvari dalam kisah penyaliban. Namun, ada tersimpan rasa sukacita, senang dan bahagia, ketika Veronika mengusap wajah Yesus dan gambar Yesus terpatri pada kain. Semua peristiwa sederhana yang dialami Beni kecil  ini yang menjadi cikal bakal bertumbuhnya benih panggilan untuk hidup mengikuti jalan panggilanNya. Benih panggilan yang kini sudah tersemai pada jiwanya, terus dirawat, dipupuk dan terus bertumbuh kembang ketika pindah sekolah ke SMPK St. Pius X  Lewoleba dan melanjutkan pada SMAN Lewoleba. Beni selalu mengikuti kegiatan pembinaan rohani baik di sekolah maupun di lingkungan. Di SMP mengikuti komunitas Putra-Putri Maria untuk membina kehidupan imannya yang masih mudah. Komunitas ini dibentuk Uskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung, PR yang waktu itu menjadi  Pastor Paroki di Lewoleba. Hal ini juga menumbuhkan niat khusus untuk menjadi pekerja di kebun anggur. Ketika SMA, tinggal bersama nenek, Maria Peni  yang mempunyai andil besar,  selalu menciptakan suasana kehidupan keluarga  Katolik  yang taat pada ajaranNya, termasuk suasana belajar di SMA yang ikut memupuk benih panggilan. Nenek selalu mengajak untuk selalu berdoa pada setiap kesempatan suka maupun duka, mengikuti koor sekolah dan lingkungan serta aktifitas rohani lainnya. Singkat kisah, Beni pun melamar masuk Seminari melalui KPA di Seminari San Dominggo Hokeng melalui  informasi dari seorang Frater TOP  dan memilih ordo SVD. Beni  diterima mengikuti pendidikan Seminari dan proses pendidikan calon Imam hingga  menggapai puncak panggilanNya dalam tahbisan Imam/Pastor SVD pada tanggal 28 Juli 1999 di Hadakewa. Pastor  Beni ditugaskan bermisi di benua Amerika dan sekarang sebagai Pastor  Paroki Queen of Angels  California Amerika Serikat.

Panggilan merasul dari angkatan perdana, merasuk-menular pada angkatan berikutnya. Marsianus Koban, Jeremias Jena dan John  Laba Tolok,   memilih ordo SDB, yang pada akhirnya cuma P. John Laba Tolok, SDB mencapai puncak imamatnya.

Menurut Marsianus  Koban, menyimak betapa suburnya panggilan hidup membiara di SMAN Lewoleba, teringat Kepala Sekolah pertama Drs. Clemens Seni, (1984-1987),”Beliau adalah rektor seminari SMAN Komak yang luar biasa. Klemens menciptakan suasana belajar ibarat sebuah seminari (kecil), disiplin menjadi nafas kegiatan belajar-mengajar”, ungkap Marciano Koban bersaksi dalam WAG Pancawindu.  Siswa terlambat, diberikan sanksi  harus mengangkut batu di kali dan dibawa ke sekolah. Siswa yang tidak misa di gereja atau kesalahan lain maka hukumannya,  hormat bendera di siang hari jam 12.00. “Disiplin membentuk pelajar yang pintar tetapi punya rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap kehidupan dan etika moral yang membanggakan keluarga dan Lewotanah”, tulis  Marsianus Koban di group WAG Pancawindu, mantan Seminaris dari ordo SDB yang kini menjadi awam-Guru di Jakarta. Ada lagi memberikan kesaksian, kehidupan di asrama putra di bawah bimbingan Katekis dan Guru Agama Katolik, Drs. Karolus da Silva, menumbuhkan iman yang kuat dan menyemaikan benih panggilan yang subur.  Panggilan hidup membiara terus tumbuh subur dari bukit Komak, mulai dari angkatan perdana sampai saat ini. Dua orang Alumni, Fr. Vinsensius A. Gala Blikon, CMM dan Deon Punang, MSF kini lagi menjalani  Novis/postulant untuk calon Pastor.

Dengan demikian tidak berlebihan, kalau SMAN Lewoleba dijuluki Seminari kecil; Di Maumere, kita mengenal ada Ledalero, tempat/bukit  sandaran (leda) matahari (lero) ketika meninggalkan peraduannya dengan  membiaskan warna keemasan ‘sun set’  yang memesona dan menghasilkan ribuan kaum klerus dan awam tersebar seantero dunia. Di  Lembata juga ada bukit keci Komak, tempat berdirinya gedung SMAN Lewoleba  yang pada awal kondisinya  cukup gersang dikelilingi hamparan rerumputan kering menguning kecoklatan. Di atas bukit Komak nan gersang, menabur benih-benih panggilan Allah yang tersemai pada jiwa-jiwa Alumni yang pada akhirnya berikrar hidup selibet dalam tugas panggilan gereja dan bangsa.

Selain Pastor, ada 40 Suster dan 8 Bruder yang hidup membiara dalam berbagai ordo/kongregasi dan kini berkarya pastoral di berbagai benua dan berbagai ladang pelayanan. Selain membhaktikan diri bagi tugas pelayanan rohani/Katekis, namun melaksanakan  misi pelayanan tugas kemanusiaan sebagai Guru, Apoteker, Dokter, Bidan, Perawat,  dan tugas lainnya. Semuanya melayani Tuhan dan sesama untuk  kemuliaan Allah, menolong orang-orang kecil, orang terpinggirkan karena, “… sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan  untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukan untuk Aku” (Matius, 25:40),

 

Menjawab Panggilan Allah ke Tanah Suci  Mekkah

Hasil pembinaan,  pendidikan dan bimbingan Guru-Guru SMAN Lewoleba/ SMAN 1 Nubatukan, juga menghantar Alumni yang beragama Islam dalam kehidupan rohani yang baik sehingga bisa menunaikan ibadah Haji ke tanah suci Mekkah. Tercatat, tiga Alumni yang terpanggil dan terpilih menunaikan rukun Islam kelima, diantaranya, Hj.  Saleha Muhammad, Hj,  Jainab dan H. Muhammad Awaludin. Ibadah Haji dimaknai sebagai panggilan  Allah SWT, karena untuk bisa menunaikan Ibadah Haji terpilih dari ribuan umat Allah yang mendaftar. “Saya merasa sangat bahagia karena salah satu hamba Allah bisa terpilih untuk menunaikan ibadah Haji, rukun Islam kelima untuk melengkapi rukun Islam bagi umat manusia”, tutur salah seorang Haji yang tidak mau disebutkan namanya. Ia melanjutkan, “Karena banyaknya animo umat di seluruh dunia ingin menunaikan ibadah Haji, jadi untuk melaksanakannya harus antri, untuk Indonesia antrian bisa menunggu sampai 10-15 tahun, dan saya menunggu selama 11 tahun”.

Dalam perbincangan melalui pesawat telephon, menceritarakan pengalaman selama berada di kota suci Mekkah. Menurut hukum Islam, menunaikan ibadah Haji apabila mampu. Dalam konteks ini tidak  hanya mampu secara materi, tetapi secara mental spiritual juga harus mampu, juga harus taat dengan ketetapan dua  negara yaitu Indonesia dan Arab Saudi. Lebih jauh, menuturkan perasaan batinnya penuh haru dan khusuk, menunakan ibadah Haji ke tanah suci Mekkah untuk  mengikuti sunnah rasul Nabi Muhamaad SAW. Ibadah Haji merupakan pengalaman perjalanan spritual yang sangat khusus.

Di sana sangat-sangat merasakan menjadi hamba yang paling kecil dihadapanNya. Benar-benar merasa keagungan Allah sangat dekat. Merasakan begitu kecil,  hidup tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan saudara-saudara yang  lain.

Pada bagian lain, mengungkapkan, benar kata pepatah,  untuk melihat akhlak seseorang dalam konteks Islam adalah di kala safar atau dalam bepergian. Artinya,  karena saat itu diuji kesabaran, dalam ibadah Haji semua dikumpulkan dengan beragam manusia dari seluruh dunia dengan  latar belakang, kebudayaan,  iklim yang berbeda-beda yang membentuk karakter manusia, namun karena di tanah suci Mekkah, umat Islam mempunyai satu tujuan. Ketika ditanya, apakah mempunyai janji khusus saat ibadah Haji? Secara umum dijelaskan, “Niatnya hanya ingin mendapat keridhaan Allah SWT. Dalam hati berjanji untuk dapat tetap istiqomah menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya, belajar menjadi manusia yang lebih baik lagi. Kota Suci Mekkah merupakan impian seluruh umat Muslim seluruh dunia. Di sana kita dapat mencurahkan seluruh yang ada di hati kita, mencurahkan segala keluh-kesah kita.  Di sana kita bisa melihat betapa agungnya kebesaran Allah SWT.  Banyak pengalaman spiritual saat ibadah haji, merasakan begitu dekat dengan rumah Allah, Kaba, merupakan simbol bagi umat Islam. Terus terang sangat merindukan kota suci Mekkah, saya mempunyai impian yang sangat-sangat besar. Saya bisa kembali ke Mekkah apabila Allah meridhoi. Amin”, pungkasnya.  +++

***Catatan Refleksi dalam Momentum Pancawindu SMAN 1 Nubatukan

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *