Saya hitung, ada 4 orang yang meninggal di dekat pelampung dan 3 orang masih kuat memegang pelampung saya sampai kira-kira sekitar Jam 02.00 Wita dini hari.
Pak Muhammad meninggalkan pelampung saya dan menitipkan 3 orang yang masih hidup. Muhammad ke tempat lain menyelamatkan penumpang yang masih hidup dan sejak malam itu saya tidak bertemu Pak Muhammad lagi.
Tiga orang yang berpegang di pelampung saya, di samping kanan seorang masih muda, di samping kiri seorang perempuan yang tidak pernah berhenti berteriak memanggil nama kakaknya. Yang perempuan ini meninggal sekitar Jam 3 subuh saat ombak mulai meninggi lagi. Saya hanya bisa berdoa untuk ibu tersebut.
Yang di belakang, dari suaranya bisa diketahui kalau dia adalah laki-laki dengan suara bas yang tidak henti-hentinya batuk dan sekali-sekali berteriak minta tolong. Saya selalu memberi nasihat supaya Bapak ini tenang karena kalau berteriak pasti akan menguras tenaga tetapi Bapak tersebut tidak mengindahkannya. Berbeda dengan anak muda yang di kiri saya itu. Apapun nasihat yang saya sampaikan selalu dia ikuti.
Saya merasa tenang karena dari jauh saya melihat cahaya yang semakin mendekati kami dan saya yakin bahwa itu adalah cahaya dari kapal penyelamat. Semakin lama semakin mendekat tetapi ombak semakin tinggi dan angin pun semakin kencang sehingga saya mulai batuk juga dan muntah-muntah.
Harapan kami bahwa akan diselamatkan oleh kapal itu ternyata sirna karena cahayanya semakin suram artinya kapal pergi menjauh dari tempat kami.
Melihat cahaya kapal dan dialog dengan Da’i
suluhnusa.com – Sekitar Jam 3.30 Wita saat itu, saya melihat cahaya kapal yang tadinya seakan-akan menuju ke tempat kami mengapung, sekarang cahayanya semakin suram menandakan bahwa kapal tersebut semakin menjauh..
Saya berkata kepada kedua orang yang berpegang ke pelampung yang saya pakai bahwa sudah nyata kapal yang menuju ke arah kita pergi menjauh karena cahaya dari kapal itu semakin redup dan hampir tidak kelihatan jadi mari kita bersabar dan berjuang.
Orang yang berada di belakang saya senantiasa batuk dan batuk terus diselingi dengan teriakan minta tolong. Saya memberi saran supaya diam dan bersusaha mengirit tenaga sehingga bisa bertahan lama tetapi dia hanya terdiam sejenak kemudian batuk dan berteriak lagi.
Di sela-sela itu, saya bertanya-tanya ke anak muda yang menggantung di depan saya. Dia bernama Da’i, beralamat di Kuanino Kupang di Belakang Gereja GMIT Quanonia Kupang. Dia ke Rote dengan maksud akan melamar sebagai PNS. Menurutnya, dia lulusan Fakultas Pertanian salah satu Unibersitas di Kupang.
Da’i membawa sebuah tas ransel berwarna abu-abu tua yang digantung dari leher ke depan. Saya bertanya apa isi tas itu mengapa membawa tas? Menurut Da’i bhw isi tas tsb adalah ijasah mulai dari SD sampai ijasah sarjana dan dokumen lainnya yang akan digunakan untuk pendaftaran CPNS di Rote yang katanya aman karena sudah dilaminatingl.
Rio sementara menceritakan tentang dirinya, Bapak yang di belakang saya batuk lebih keras dengan durasi yang semakin tinggi. Saya menyuruh Bapak ini supaya menahan batuk tetapi dia berkata “adik, beta pung paru-paru su kemasukan air jadi dada terasa pedis”.
Saya: “kalau begitu, Bapak bersandar di punggung beta biar hangat”.
Bapak: “sonde (tidak) apa-apa ko? Nanti adik cape”.
Saya: “sonde apa-apa Kakak, beta masih kuat”.
Saya membungkukkan badan ke depan kemudian Da’i menarik Bapak ini sehingga kepala Bapak ini bersandar di atas punggung saya. Tidak lama kemudian Bapak ini berhenti batuk dan berteriak. Fikir saya mungkin Bapak ini tertidur.
Sangat senyap, punggung saya juga terasa hangat karena terkena radiasi panas dari kepala Bapak yang bersandar di punggung saya. Kami semua diam dan tidak lama kemudian saya merasa mengantuk dan seakan-akan tidur. Tiba-tiba saya tersadar kembali karena Bapak itu menurunkan kepalanya dari punggung saya sambil berkata: “adik, beta su enak. Terimakasih e”.
Saya: “sama-sama Kakak. Kakak tenang saja e… Sebentar lagi pagi pasti regu penyelamat akan datang”.
Bapak: “mudah-mudahan adik. Tapi beta pung (pung) kaki su (sudah) keram. Son (tidak) bisa goyang lai (lagi).
Saya:” kalau begitu beta bisa tarik Kakak pung kaki biar beta (saya) pegang sa (saja) ko?”.
Bapak: “dari adik sa”.
Saya mengait kaki Bapak itu dengan kaki saya ke belakang sehingga terjulur ke depan sehingga badan saya berada di antara kedua kaki Bapak itu. Saya mengangkat kakinya dan mengait ujung celana panjangnya dengan jari saya di depan pelampung sehingga kaki Bapak ini tergantung dan tubuh Bapak ini terlentang ke belakang ditopang oleh pelampung yang dia pakai.
Bapak ini hanya sekali-kali saja batuk dan tidak berteriak lagi. Saat itu saya tidak pernah melihat wajahnya sama sekali karena dia berada di belakang.
Da’i yang sering mengontrol keadaan Bapak ini ke belakang. Da’i bebas bergerak karena berada di luar pelampung bundar yang saya pakai.
Da’i mulai bertanya kepada saya tentang siapa saya. Saya mulai bercerita tentang diri saya bahwa saya org Suku Toraja tetapi ditempatkan di Rote Tahun 2002 saat Rote terbentuk sebagai kabupaten baru kemudian ditempatkan di Dinas Kimpraswil lalu dimutasi ke Bappeda. Saya belum menyebutkan nama tetapi tiba-tiba Bapak yang bersama kami itu memegang pundak saya dan berkata: “Jadi adik ini Om Pang ko?”.
Om Pang adalah panggilan akrab dari masyarakat Rote. Pang adalah singkatan dari nama marga saya Pangloli. Ternyata Bapak ini mendengar percakapan saya dan Rio.
Saya kaget dan bertanya: Kakak Siapa.”
Bapak : “Saya Derek yang di Bappeda”.
Ternyata beliau teman baik saya, dia seorang Kepala Bidang di Bappeda. Keluarga beliau di Kupang tetapi dia bekerja di Pemerintah Daerah Kabupaten Rote Ndao.
Saya melepaskan kaki Pak Derek dan menarik badannya ke arah saya. Kami berpelukan sangat terharu. Saya katakan ke Pak Derek: “Bu (Kakak) jangan kuatir e… Beta jaga bu di sini.
Derek:” Terimakasih su kasi tenang beta dan su buat beta son batuk lai”.
Saya: “Sama-sama Kakak. Beta angkat Kakak pung kaki lai ko?”.
Derek: “son usah adik, beta su enak”.
BACA KEMBALI
Kisah Nyata Tenggelamnya Kapal J.M Ferry-Bagian I
Kisah Nyata Tenggelamnya Kapal J.M Ferry-Bagian II
Teguran Pak Derek sebelum meninggal
Saat itu ombak agak tenang, semakin lama semakin tenang dan sudah hampir pagi. Saya mulai terserang rasa ngantuk dan tertidur. Saya bangun kira-kira sekitar jam 7.00. Cahaya matahari menyinari kami sehingga terasa hangat. Kami bertiga hanya diam tidak bergerak mengirit tenaga. Namun semakin lama ombak makin besar. Kami hanya bisa mengamati keadaan semoga ada kapal yang datang. Tiba-tiba di atas langit ada pesawat yang terbang rendah. Saya dan Rio melambaikan tangan ke atas sambil berteriak minta tolong. “Tolooong…. Toloooong…. Toloooong”.
Pesawat itu berputar beberapa kali di atas kami dan setiap melewati kami, saya dan Da’i berteriak melambaikan tangan.
Dalam keadaan berteriak tiba-tiba Pak Derek berbicara dengan suara lantang: “biar bosong (kalian) berteriak karmana (bagaimana) ju orang di pesawat son akan dengar. Biar dong (mereka) dengar ju son akan bisa berhenti di sini untuk ambil katong (kita)”. Jadi saya dan Rio juga tersadar dan diam tetapi dalam hati saya merasa lucu. Hehe…
Saya mulai merasa haus dan tiba-tiba tangan saya merasakan sesuatu dan saat saya ambil ternyata adalah air aqua kemasan ukuran sedang. Saya memeriksa segel penutup botol itu dan masih utuh. Saya membuka penutupnya dan menyodorkan ke Pak Derek lebih dahulu. Beliau berkata: “adik yang duluan sa”.
Saya: “beta takut melanggar adat bu, bu yang harus duluan sebagai Kakak”. Adat kebiasaan masyarakat di Daratan Timor dan sekitarnya, orang tua yang selalu harus didahulukan.
Akhirnya Pak Derek mengambil botol itu dan minum sampai 3x teguk kemudian menyodorkan botol itu ke saya sambil berkata: “adik dong dua minum su”. Saya mengambil botol itu dan minum sehingga tersisa kira-kira 1/3nya, kemudian saya sodorkan ke Da’i tetapi Da’i menolak karena ternyata dia juga mendapatkan dua gelas air kemasan. Akhirnya air tersebut saya habiskan.
Ombak semakin tinggi dan mulai pecah. Pecahan ombak menghempas kepala kami sehingga kami terkadang tenggelam kemudian terhempas ke atas. Saat di atas, kami sama sekali belum melihat daratan. Air laut terkadang masuk ke hidung dan mata sampai ke temggorokan dan kalau ini terjadi maka hidung terasa perih dan mata pedis akibat terkena air laut yang bergaram.
Untuk menjaga supaya air laut jangan sampai masuk ke hidung dan mata maka saya bertugas mengamati ombak dari depan dan Rio yang dari belakang sementara Pak Derek hanya diam mendengar aba-aba dari kami.
Kalau ada ombak yang datang maka saya atau Rio memberi komando: “Tutup”. Maka kami akan menutup mata dan hidung supaya mata dan hidung jangan kemasukan air laut.
Semakin lama ombak semakin keras dan disertai hujan dan angin kencang. Hujan yang mengenai wajah kami bagaikan tusukan jarum.
Keadaan Pak Derek semakin lama semakin lelah hingga dia berkata kepada saya: “Om Pang, seandainya saya mati di sini, jangan biarkan mayat saya di sini dilahap ikan. Bawa mayat saya sampai di rumah”. Saya mulai heran mengapa Pak Derek berbicara dengan menggunakan bahasa Baku, bukan dialek Rote jadi mulai muncul firasat buruk dalam fikiran saya.
Saya menjawab: “Kakak, kita di sini sudah hampir satu hari satu malam dan tidak terjadi apa-apa. Sekarang kapal sudah mendekat ke kita tetapi Kakak mengapa patah semangat. Kakak harus kuat”.
Derek: “Beta sonde kuat lagi adik”.
Saya: “Sonde bisa Kakak, Kakak harus kuat”.
Saya menyuruh Da’i ke belakang memegang dan menjaga kepala Pak Derek agar hidung dan mata beliau tidak kemasukan air. Da’i melaksanakannya.
Selang beberapa lama kemudian Da’i tiba-tiba berkata: “Kakak, tolong lihat Bapatua dulu”. Saya menoleh ke belakang ternyata dari mulut dan hidung Pak Derek sudah mengeluarkan busa yang berwarna kekuning-kuningan. Saya menarik pelampung Pak Derek ke depan kemudian bagian depan pelampung yang dia kenakan saya pegang erat pada bagian dada kemudian saya angkat ke atas sambil siku kiri saya standarkan di atas sisi atas pelampung dan tangan kanan saya berpegang erat di bagian kanan supaya ada keseimbangan. Saya amati wajah Pak Derek, dari mulut dan hidung tetap mengeluarkan buih-buih kekuning-kuningan. Saya minta Da’i supaya kami berdoa dan saya yang berdoa.
“Tuhan, engkau telah memberikan kepada kami perjalanan yang sangat indah penuh dengan tentangan mungkin supaya kami hambaMu ini menyadari dosa-dosa yang kami lakukan. Sekarang ya TUHAN, engkau telah memanggil Kakak kami Bapak Derek di tempat ini tentu karena ini semua rancanganMu yang indah, terimalah dia di dalam pangkuanMu . Sekarang kami hanya berdua, ke dalam tanganMu kami serahkan hidup kami. Sertai dan lindungi keluarga kami ya ALLAH Sang Pencipta segala makhluk dan alam semesta. Amin.
Saat kami membuka mata, nafas Kakak kami Derek sudah tidak ada lagi.
Saya menurunkan mayat beliau sehingga mengapung kemudian tepi pelampung yang dia kenakan saya ikat dengan erat dan ujung tali tersebut saya ikatkan di pelampung bundar yang saya pakai dengan maksud supaya jasad beliau tidak terlepas dari kami karena beliu berpesan bahwa apabila beliau meninggal dia tidak mau mayatnya dibiarkan mengambang di Laut dan disantap ikan.
Saya memeriksa jam yang dipakai Pak Derek ternyata masih berfungsi baik, tidak kemasukan air. Jam tsb bermerek Rado warna emas menunjukkan pukul 10.12 Wita saat itu.
Bagaimana mayat Pak Derek yang kami tarik sambil berenang, bagaimana kami bertahan menahan pukulan ombak, dan bagaimana nasib Da’i, tunggu kelanjutannya ??
Pasamboan Pangloli – bersambung