
Pangan Lokal: Antara Ketergantungan dan Kedaulatan Pangan (Bagian 1)
Food Estate dan Kegagalan Berulang serta Food Estate vs Alih Fungsi Lahan Pertanian.
Food Estate dan Kegagalan Berulang
Selain melalui impor, untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional Pemerintah membuat program mencetak sawah baru di sejumlah daerah sebagai lumbung pangan nasional– yang saat ini dikenal dengan istilah food estate –, antara lain Jawa, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah hingga Papua. Lahan yang dijadikan lokasi food estate juga beragam, mulai mulai lahan subur, lahan gambut, hingga kawasan hutan.
Food estate sebenarnya bukan program yang baru digagas pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Model food estate bahkan sudah ada sejak era Orde Baru Soeharto. Pada era 1990-an, Presiden Soeharto mencanangkan program Mega Rice Project.
Dengan kebijakan ini Soeharto ingin menyulap rawa gambut di Kalimantan Tengah menjadi tempat pengembangan produksi beras. Proyek ini dikenal dengan sebutan lahan gambut sejuta hektar.
Pada akhirnya proyek ini mengalami kegagalan. Negara menelan kerugian yang amat besar. Masyarakat lokal tersisih. Hutan dihabisi dan kemudian menjadi awal dari bencana lingkungan terbesar di akhir abad ke-20. (Muhammad Fakhriansyah, CNBC Indonesia)
Setelah Presiden Soeharto gagal dengan program Mega Rice Project, pada tahun 2010 Presiden Sosilo Bambang Yudhoyono mencanangkan program serupa bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate atau MIFEE seluas 1,2 juta hektare. Sampai dengan Pemerintahannya berakhir, program MIFEE yang dicanangkan SBY gagal mewujudkan swasembada, pangan maupun energi. (Opini Majalah Tempo, 22 September 2024).
Seakan tidak mau belajar, di penghujung kekuasaannya, Presiden Jokowi justru menduplikasi kedua program gagal dari dua pendahulunya. Program food estate dilanjutkan tanpa kajian dan evaluasi yang matang dari kegagalan-kegagalan program serupa sebelumnya.
Alih-alih membuat kajian dan evaluasi, Jokowi malah mencanangkan food estate di Merauke, Papua Selatan. Tidak tanggung-tanggung, luas lahan food estate sebesar 2,29 hektare merupakan kawasan hutan yang di dalamnya terdapat masyarakat adat. Lahan seluas 2,29 hektare setara dengan 70 kali luas Jakarta.
Sebelum membuka food estate di Merauke, Jokowi membuat program food estate di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Quinn Pasaribu dari BBC News Indonesia mencatat bahwa pembukaan lahan untuk ditanami singkong yang mencakup empat desa seluas 31.000 hektare, 600 hektarenya merupakan kawasan hutan produksi.
Dalam perjalannya, singkong tidak dapat tumbuh dengan baik di lokasi tersebut. Saat ini lokasi penanaman singkong tersebut mangkrak. Singkong gagal, lahan food estate disulap menjadi lahan jagung. Menghindari pengulangan kegagalan singkong, jagung pun ditanam menggunakan polybag.
Food Estate Vs Alih Fungsi Lahan Pertanian
Selain belum mampu membuktikan sebagai program tepat untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan mengendalikan impor, food estate juga menyebabkan kerusakan lingkungan. Tidak hanya itu, food estate juga telah menyingkirkan masyarakat adat dari akar kehidupannya. Untuk sekedar bertahan hidup, masyarakat adat yang selama ratusan tahun pola hidupnya berburu dan meramu harus menemukan cara hidup baru di luar hutan.
Di tengah tidak adanya prestasi dan tidak adanya evaluasi menyeluruh terhadap program food estate, Pemerintah terus menggenjot pembukaan jutaan lahan baru pada kawasan hutan di Merauke. Di sisi lain, lahan-lahan pertanian yang subur beralih fungsi menjadi permukiman, pusat bisnis dan perkantoran, kawasan industri dan berbagai kepentingan lain di luar pertanian.
Di daerah Karawang Jawa Barat misalnya, daerah yang dahulu dikenal sebagai salah satu lumbung beras Pulau Jawa, di daerah ini alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian terjadi sangat masif. Dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Dari kedua sisi ini kita bisa melihat keseriusan Pemerintah untuk mengurus pangan rakyatnya.
Sebagaimana disampaikan Agustina Purwanti, Budiawan Sidik A (Kompas 12 Oktober 2023) yang merujuk pada data analisis Direktorat Pengendalian dan Pemantauan Pertanahan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) tahun 2019, rata-rata konversi lahan sawah menjadi nonsawah di Indonesia mencapai 100.000 hektar/ tahun.
Sementara, kemampuan rata-rata mencetak sawah hanya 60.000 hektar setahun. Artinya, terjadi selisih alih fungsi lahan sawah sekitar 40.000 hektar per tahunnya. Lebih luas daripada total luas Kota Surabaya.
Selain karena faktor gagal panen yang disebabkan cuaca seperti banjir dan kekeringan juga hama dan penyakit, alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian adalah salah satu penyebab menurunnya jumlah produksi padi dalam negeri.
Menurut data Badan Pusat Statistik, produksi padi Indonesia cenderung menurun dalam satu dekade terakhir. Data Kementerian Pertanian sendiri mencatat bahwa selama enam tahun terakhir (2017-2022) juga terjadi penurunan produksi dari 59,7 juta ton pada 2017 menjadi 54,3 juta ton pada 2022.
Jika Pemerintah benar-benar serius untuk mewujudkan swasembada pangan, pengendalian alih fungsi lahan pertanian adalah salah satu jalan yang harus diretas. Bukan justru mencetak jutaan hektar sawah pada areal dengan tingkat potensi kegagalan tinggi, di sisi lain jutaan hektar lahan pertanian dibiarkan beralih fungsi menjadi kawasan industri atau permukiman.
(Bersambung)