Pangan Lokal: Antara Ketergantungan dan Kedaulatan Pangan (Bagian Terakhir)

Pangan Lokal: Antara Ketergantungan dan Kedaulatan Pangan (Bagian 1)

 

Mengembalikan Kedaulatan Pangan

‘Program swasembada pangan, dengan berbagai skema yang dilakukan Pemerintah, sampai hari ini belum mampu mengendalikan importasi beras. Selama pangan nasional masih berorientasi pada beras, dapat dipastikan ketergantungan terhadap beras impor tidak akan dapat dikendalikan apalagi dihentikan.

Bagaimana mau menyudahi impor beras, jika seluruh warga didorong untuk mengonsumsi nasi, sementara sawah tidak dapat dicetak di seluruh wilayah Indonesia?

Diversifikasi pangan yang secara kodrati telah dimiliki bangsa Indonesia sejatinya menjadi modal utama untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Komitmen serta dukungan nyata mesti diberikan Pemerintah untuk pengembangan dan pemanfaatan benih-benih pangan lokal. Revitalisasi lahan pangan lokal mendesak untuk dilakukan. Selain itu pengembangan pangan tidak lagi hanya berorientasi pada beras.

Pemerintah daerah pun memiliki peran untuk mengembalikan identitas budaya pangan yang telah mereka tinggalkan beberapa puluh tahun. Tidak kalah penting, semua pihak juga perlu mendekonstruksi cara pandang Pemerintah dan masyarakat yang menganggap strata pangan lokal lebih rendah dibanding nasi. Inferior terhadap pangan lokal yang selama ini diidap oleh masyarakat pun harus diubah menjadi rasa bangga dengan pangan yang mereka miliki dan konsumsi.

Pangan lokal harus dimuliakan sebagaimana leluhur memuliakannya. Pelaksanaan ritual dalam setiap tahap penciptaan pangan – yang sampai saat ini masih – dijalankan di sejumlah wilayah merupakan bukti betapa leluhur menghargai sumber pangan mereka.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) seharusnya dapat dijadikan momentum untuk mengembalikan kedaulatan pangan sejumlah wilayah, sekaligus merintis jalan kemandirian pangan nasional untuk menempatkan pangan lokal pada posisi mulia.

Sudah semestinya program MBG tidak dijalankan secara sentralistik, dan tidak menjadikan cara pandang “Jakarta” sebagai perumus tunggal komposisi makanan sehat yang menafikan pangan lokal sebagai sumber gizi anak-anak.

Program MBG di setiap daerah haruslah berbasis pada pangan lokal yang ada di masing-masing daerah dengan tetap memperhatikan kandungan gizinya.. Sehingga untuk kebutuhan gizi anak-anak di NTT misalnya, Pemerintah tidak perlu mendatangkan ayam beku dari Jawa. Cukup memanfaatkan ikan yang tersedia di laut NTT.

Demikian juga sayuran, bisa memanfaatkan tanaman sayur yang terdapat di pekarangan, kebun, ladang atau laut. Dengan memanfaatkan pangan lokal tentu kita akan memperoleh pangan yang lebih segar dibanding pangan yang didatangkan dari tempat lain, lebih efisien juga tentunya.

Memanfaatkan pangan lokal untuk program makan sehat gratis bukan hanya mendukung terlaksananya program, namun juga menjaga substansi program itu sendiri. Lebih dari itu, pemanfaatan pangan lokal dalam program MBG dapat menjadi titik berangkat dimulainya kedaulatan pangan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan diversifikasi pangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2024 tentang Percepatan Penganekaragaman Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.+++Selesai

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *