Pangan Lokal: Antara Ketergantungan dan Kedaulatan Pangan (Bagian 1)

Homogenisasi pangan dapat ditekan dan diversifikasi pangan benar-benar diterapkan secara efektif.

SULUH NUSA, JAKARTA – Slogan “Makan Apa yang Ditanam, Tanam Apa yang Dimakan” program Sekolah Lapang Kerarifan Lokal (SLKL) Direktorat Jenderal Kebudayaan – yang saat ini menjadi Kementerian Kebudayaan – memang terdengar sangat sederhana, namun memiliki makna yang sangat dalam.

Slogan itu seakan menggugah kesadaran kita yang selama ini tidak terlalu peduli dengan asal-usul pangan yang kita konsumsi. Tidak peduli pula dengan ketergantungan pangan dari luar dengan risiko jangka pendek maupun jangka panjangnya.

“Makan apa yang kita tanam dan tanam apa yang kita makan” merupakan ajakan untuk menjamin keberlangsungan pangan kita. Ajakan memakan apa yang kita tanam dan menanam apa yang kita makan kiranya bukan sesuatu yang berlebihan bagi Indonesia. Setidaknya ada dua hal yang membuat slogan itu perlu diperkokoh dan diimplementasikan.

Pertama, sebagai negara kepulauan Indonesia memiliki keragaman pangan yang luar biasa. Sumber-sumber pangan tersebut tumbuh secara adaptif dengan tanah dan iklim yang berbeda-beda dari setiap pulau. Baik tanaman pangan yang sengaja ditanam maupun tumbuh liar (wild food).

Fakta lain adalah selama ratusan tahun sumber pangan tersebut menghidupi masyarakat yang menempati pulau-pulau tersebut. Mulai dari sagu, umbi-umbian, kacang-kacangan dan biji-bijian. Pangan berjenis umbi seperti singkong, ubi, talas, gembili dan jenis umbi lainnya. Sedangkan biji-bijian berupa jagung, sorgum, jewawut, leye atau jali-jali (hanjeli). Beragam jenis pangan tersebut – yang hari ini kita sebut sebagai pangan lokal – adalah “karunia” semesta.

Dalam bukunya Kedaulatan Pangan dan Masyarakat Adat, Ahmad Arif menyebutkan bahwa dari Aceh sampai dengan Papua kita melihat keragaman kuliner Nusantara yang disemai oleh perbedaan budaya, sejarah, dan kondisi alam. Sekalipun terdapat irisan bahan makanan, budaya yang berbeda mampu melahirkan beragam produk makanan yang berbeda pula. Misalnya dari bahan sagu, kita dapat menjumpai beragam jenis pangan olahan dari Papua, Maluku, Kalimantan dengan penamaan dan cara pengolahan yang berbeda-beda

Pada era 1980-90an keanekaragaman pangan ini hilang seiring dengan pergeseran pola konsumsi masyarakat. Program “berasisasi” dan Revolusi Hijau yang diadopsi oleh Pemerintah Orde Baru pada masa itu berperan penting dalam pergeseran pola konsumsi masyarakat. Benih-benih lokal yang sebelumnya dimiliki oleh para petani beralih ke penguasaan perusahaan benih. Petani tidak lagi memiliki kemerdekaan mengembangkan bibit lokal, tidak bebas pula menentukan jenis benih yang akan mereka tanam.

Selain mengenalkan beras sebagai makanan pokok dan sentralisasi penguasaan benih, Pemerintah Orde Baru juga membentuk cara pandang baru tentang pangan (beras): mengonsumsi nasi sebagai simbol modernitas, masih miskin jika belum mengonsumsi nasi, pangan lokal dianggap sebagai pangan dengan strata kesekian setelah nasi, mengonsumsi pangan lokal sebagai bentuk ketinggalan jaman, dan stigmatisasi negatif lainnya tentang pangan lokal.

Hegemoni beras menyebabkan pangan lokal tersingkir. Tidak ada lagi identitas pangan suku bangsa di Indonesia. Identitas budaya yang pernah menjadi bagian dari materi pengetahuan umum di sekolah: masyarakat Madura dan Nusa Tenggara Timur memiliki makanan pokok jagung, Mentawai, Papua dan Maluku dengan makanan pokoknya sagu, dan seterusnya. Saat ini semua suku bangsa mengonsumsi nasi. Materi pelajaran tersebut mungkin hanya menjadi kenangan generasi yang lahir di era 1970-90an.

Kedua, saat ini Indonesia mengalami homogenisasi pangan yang berujung pada ketergantungan terhadap beras. Dalam skala propinsi misalnya, Nusa Tenggara Timur (NTT), di wilayah ini seluruh warganya mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok. Sedangkan sawah tidak dapat dicetak di sebagian besar wilayah NTT, karena faktor tanah yang tandus, berbatu/kapur dan rendahnya curah hujan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, produksi beras NTT pada tahun 2022 sebanyak 442.842 ton, tahun 2023 sebesar 449.145 ton. Sedangkan kebutuhan beras NTT pada tahun 2022 sebanyak 523.112 ton. Kekurangan dari kebutuhan didatangkan dari daerah lain di luar NTT.

Contoh lain betapa homogenisasi pangan telah menciptakan ketergantungan pada beras, Kabupaten Alor misalnya, menurut data Dinas Pangan Kabupaten Alor yang disampaikan pada diskusi terfokus Program SLKL pada Agustus lalu, tercatat bahwa dari total 28.000 ton per tahun kebutuhan beras Alor, kemampuan Alor memproduksi beras hanya 2.000 ton. Kekurangannya, sebanyak 26.000 ton ditangkan dari Sulawesi atau Jawa.

Demikian juga Kabupaten Sikka. Dalam diskusi terfokus Program SLKL awal Oktober, Kepala Dinas Pangan Kabupaten Maumere menyampaikan bahwa pada 2023 Sikka hanya mampu memproduksi beras sebanyak 7,2 ton, sedangkan kebutuhan beras di tahun yang sama sebanyak 38.000 ton. Artinya Sikka defisit sekitar 31.000 ton. Kekurangan ini dipenuhi dengan mendatangkan beras dari wilayah lain (Sulawesi).

Dalam skala yang lebih luas, hegemoni beras berdampak besar pada angka impor beras nasional. Hal ini dapat dilihat dari data impor yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Pada data dapat dilihat bahwa setiap tahun importasi beras cenderung mengalami peningkatan.

Pada tahun 2020 impor beras kita sebesar 356.286,2 ton. Lalu naik pada tahun 2021 menjadi 407.741,4 ton. Angka impor naik kembali pada tahun 2022 menjadi 429.207,3 ton. Pada tahun 2023 angka impor kita naik sekitar 613 persen dari tahun sebelumnya menjadi 3.062.857,6 ton.

Menariknya, pada data BPS tercatat bahwa impor beras kita justru lebih banyak berasal dari India disusul kemudian Thailand, Vietnam dan Pakistan. India, yang menurut Data World Population Review per 1 Agustus 2024 jumlah penduduknya mencapai 1.442.857.230 orang mampu menjadi pengekspor beras terbesar ke Indonesia.

India dapat mengimpor beras ke negara lain sekalipun jumlah penduduknya 1,44 miliar, karena tidak semua penduduk India mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok. Diversifikasi pangan India telah mengantarkan India sebagai negara yang bukan hanya mandiri secara pangan namun juga menjadi pengekspor beras terbanyak ke Indonesia.

Dalam konteks NTT, jika homogenisasi pangan dapat ditekan dan diversifikasi pangan benar-benar diterapkan secara efektif, maka NTT tidak perlu mengalami kekurangan kebutuhan pangan, karena hasil produksi pangan lokal nonberas NTT cukup tinggi.

Berdasarkan Satu Data Sektoral Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2023, produksi Jagung sebanyak 1,4 juta ton, kedelai 100.000 ton, kacang tanah 25.000 ton, dan ubi kayu sebanyak 1,2 juta ton. Dari data ini, sesungguhnya masyarakat NTT memiliki keragaman pangan luar biasa, itu pun belum termasuk pangan lokal lain seperti sorgum, jewawut, leye/jali-jali, talas.+++

(Bersambung)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *