“Prolog ditulis oleh putra Lembata asal Kedang, Prof. Dr. Alo Liliweri, MS (pakar komunikasi dan dosen Undana Kupang). Epilog oleh putra Lembata asal Ataili, Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum (sastrawan dan dosen Senata Dharma Jogjakarta),” jelasnya.
Ataladjar menuturkan bahwa buku yang dituliskan sempat diperiksa oleh dua putra tokoh intelektual Lembata Prof. Dr. Alo Liliweri, MS dan Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. “Juga telah diedit oleh editor senior ibukota, Drs. Ansis Kleden, dan dikaji oleh guru dan ahli Sejarah Jakarta saya, P.Adolf Heuken SJ serta tiga teman sejarawan dari LIPI, UI dan DKI Jakarta. Buku ini juga telah didiskusikan oleh komunitas akademisi dan intelektual Lembata Jakarta,” paparnya.
“Namun demikian, kami sadar dan perlu menyampaikan bahwa tidak ada buku sejarah di dunia ini yang sempurna. Sejarah selalu diceritakan, ditulis kembali, berdasarkan informasi yang bisa diperoleh tentang masa lalu, akan selalu dirasa kurang, tidak lengkap dan terus memerlukan perbaikan. Demikian halnya sengan sejarah Lembata. Boleh jadi, banyak orang berharap agar sejarawan bisa menghadirkan masa lalu Lembata wie es eigentlich gewesen ist (sebagaimana sesungguhnya terjadi),” ujar Ataladjar.
Ia mengaku saat ini tidak mungkin menghadirkan kembali masa lalu. “Sejarah Lembata tetap akan dilihat dari perspektif tertentu. Walaupun ada sebuah mesin waktu yang bisa melambungkan kita ke masa silam, ia tidak dapat dihadirkan kembali sepenuhnya, karena sejarah adalah representasi dari masa lalu dan bukan masa silam itu sendiri. Maka sejarawan umumnya mengatakan bahwa sejarah itu terbuka bagi interpretasi yang berbeda, dan selalu bisa ditulis ulang,” tandasnya.
“Sejarah Lembata pun demikian, masih perlu penyempurnaan lebih lanjut. Masih sangat banyak warisan sejarah budaya Lembata yang perlu diteliti dan ditulis lagi. Siapa saja boleh menulisnya, asal memiliki spirit sejarah, tekun meneliti dan mampu menyajikannya secara menarik,” ujar Ataladjar.
Dia sendiri mengaku cukup sulit menuliskan sejarah Lembata. Ya, “Tidak mudah menulis Sejarah Lembata. Untuk menggalinya tidak mudah, butuh ketertarikan dan spirit sejarah yang kuat. Butuh kemampuan meneliti dan menulis secara baik. Pasalnya, Lembata masih berkutat pada sejarah kisah tutur dan belum memiliki sebuah catatan sejarah yang memadai. Aneka kisah tentangnya masih berhiaskan legenda atau mitos. Padahal Lembata sangat kaya akan situs purbakala, adat, budaya dan benda budaya termasuk kepercayaan asli leluhur dan aneka ritual,” terang Ataladjar.
Menurut dia, Lembata minim sumber tertulis dan kekurangan bahan referensi berupa tulisan sejarah, baik yang ditulis orang asing maupun putra Lembata sendiri. “Lembata juga kurang memiliki Penulis Peneliti dan Penulis Berspirit Sejarah. Saat ini, Lembata masih kekurangan penulis peneliti yang memiliki spirit dan tertarik menulis sejarah Lembata,” ujarnya.
Ataladjar mengaku menghabiskan waktu hampir 30 tahun untuk mengumpulkan bahan penulisan buku tersebut. Ya, “Buku ini merupakan hasil penelitian selama hampir 30 tahun, sejak bekerja sebagai jurnalis dengan metodologi penelitian ‘Historis Research’. Yakni metode deskriptif kualitatif melalui tonggak-tonggak sejarah yang dimiliki atau yang berkaitan dengan Lembata. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dengan banyak nara sumber, pelaku sejarah dan tokoh masyarakat, sejarawan dll; studi literature baik buku referensi, dokumen resmi dan meneliti peta-peta kuno; observasi lapangan dengan terjun berkali-kali ke Lembata yang dilakukan dalam diam dan senyap,” jelas Ataladjar.
Dikatakan, menulis sejarah Lembata butuh keberanian moril untuk mulai menulisnya secara wajar berdasarkan data autentik, diperkuat upaya untuk menghadirkan pelaku dan saksi saksi sejarah termasuk saksi-saksi bisunya. “Karena sejarah bukan sebuah karangan dengan menggunakan bahasa konon, kata sahibul hikayat, menurut sumber yang dapat dipercaya atau…katanya,” ujar Thomas Ataladjar.
Buku “Lembata Dalam Pergumulan Sejarah dan Perjuangan Otonominya”, cukup tebal, 552 halaman. Sistimatika penulisaan buku ini, terbagi atas 2 Bagian dan 25 bab, disusun sesuai urutan kronologis tonggak sejarah Lembata yang ada. Tiap bab dilengkapi gambar dan ilustrasi yang relevan mendukung isi. Dan gaya penulisan menggunakan gaya jurnalistik ringan.
Menurut Ataladjar yang juga penulis sejumlah buku sejarah di DKI Jakarta, tujuan dirinya menulis Sejarah Lembata adalah untuk menjernihkan sejarah. Ya, “Tujuan Penulisan buku ini, adalah untuk menjernikan sejarah,” ujarnya.+++kristina/sandrowangak