Saya memutar badan ke belakang, menarik mayat Pak Derek lebih dekat, saya mengusap wajahnya sambil berkata: “Kakak, katong dua minta maaf e. Katong tinggalkan Kakak di sini dan pasti terdampar ke Pantai karena Pantai sudah dekat”.
BACA KISAH SEBELUMNYA : Kisah Nyata Tenggelamnya Kapal JM. Ferry- Bagian IV
suluhnusa.com – Setiap 10 menit berenang dan 5 menit istirahat terasa ringan karena bisa mengapung lebih baik oleh adanya pelampung tambahan dari botol aqua yang kosong yang saya selipkan di dalam baju. Kalau ombak datang maka saya bersusaha dalam posisi berdiri untuk menghambat dorongan ombak tetapi saat saya berada di puncak ombak maka saya berusaha dalam posisi tengkurap atau dalam gaya peselancar sehingga saya bisa meluncur ke depan sambil mendayung. Posisi ini bisa lebih cepat.
Hal ini selalu saya lakukan di saat gelombang datang dan pergi. Saya tidak pernah berselancar tetapi saya sering melihat wisatawan berselancar di Pantai Nemberala sehingga saya mencoba gaya mereka saat berselancar.
Hujan datang cukup deras, angin pun sangat kencang dari arah barat semakin menambah kecepatan berenang tetapi deraian hujan terasa sangat perih mengenai wajah seperti tertusuk jarum manakala saya menoleh ke belakang ke arah angin sehingga saya selalu mengarahkan wajah ke timur. Saya semakin bersemangat karena dibantu oleh ombak dan angin. Saat itu mendung sangat tebal sehingga matahari soreh sama sekali tidak nampak.
Tiba-tiba saya mulai merasakan ombak semakin tenang dan tenang. Anginpun sudah tidak bertiup tetapi masih gerimis. Saya memeriksa Jam tangan menunjukkan Jam 17.20 Wita artinya sudah melewati batas waktu yang disampaikan oleh Rio sebelum meninggal.
Saya mulai berfikir bahwa saya mungkin sudah sampai ke tempat yang ditunjukkan Rio. Dalam keraguan tersebut saya memandang ke arah awan tebal ternyata pada jarak sekitar 100 meter saya melihat sesuatu yang menyala berwarna seperti bara api. Saya mulai berfikir lagi bahwa itu kemungkinan adalah pantai yang bercahaya akibat disinari matahari soreh padahal matahari samasekali tidak nampak.
Saya putuskan untuk berenang ke arah cahaya tersebut tetapi setelah saya merasa sudah dekat ke tempat cahaya tersebut, cahaya tersebut ternyata tidak ada tetapi di jarak 100 meter ke arah tenggara ada lagi cahaya bagaikan bara seperti yang saya lihat tadi. Saya berenang lagi ke arah cahaya itu dan lagi-lagi cahaya itu menghilang dan seakan berpindah ke arah tenggara. Kejadian tersebut sekitar 4 atau 5 kali, kemudian tidak nampak lagi. Saya memeriksa Jam tangan ternyata sudah Jam 7.20 Wita.
Lagi2 saya mengambil kesimpulan bahwa Tuhan yang mendatangkan bara apa itu sehingga saya tertarik berenang ke arah itu dan bisa lebih aman.
Saya berhenti berenang, beristrahat. Ombak sangat tenang, anginpun tidak bertiup, hujan sudah redah dan sudah nampak bintang .
Di arah tenggara saya melihat cahaya terang yang dalam fikiran saya bahwa mungkin itu adalah cahaya lampu dari Pabrik Semen di Kupang. Di arah timur saya melihat ada satu bintang yang cukup terang yang sepengetahuan saya bintang tersebut disebut bintang timur karena saat itu adalah tanggal 2 atau 3 Muharram (bulan langit).
Seandainya saya menarik garis dari cahaya di tenggara ke arah saya dan cahaya bintang timur ke saya maka kira-kira kedua garis itu membentuk sudut 35-40 derajat.
Di antara ke dua titik tersebut ada suatu tempat yang sangat gelap yang menurut perhitungan saya bahwa itu adalah daratan yang jaraknya kira-kira 15 derajat dari arah bintang timur dan sekitar 25 derajat dari arah cahaya pabrik Semen Kupang.
Saya membuat perhitungan demikian untuk menemukan arah navigasi berenang di waktu malam karena saya memutuskan untuk tetap berenang walaupun dalam keadaan gelap. Alat bantu navigasi ini membentu sekali jangan sampai saya berenang ke arah yang terbalik atau salah.
Ilmu geometri ini saya pelajari saat di bangku SMA dan saat kuliah di jurusan Arsitektur Universitas Hasanuddin.
Ombak sangat tenang, tidak hujan dan anginpun tidak bertiup. Saya memutuskan untuk tidur karena saat itu saya sangat capai. Saya membayangkan betapa bahagianya anak-anak, istri dan teman-teman saya kalau sudah sampai di daratan. Saya bayangkan mereka datang dengan penuh haru dan gembira kemudian sayapun tertidur.
Saya sangat nyenyak sampai saya bermimpi istri saya mengambil sepiring daging babi rebus kesukaan saya di meja dapur kemudian menaruh daging tersebut di atas kulkas sambil memberi peringatan kepada anak-anak supaya daging ini jangan diambil karena katanya disimpan buat saya kalau sudah pulang. Dalam mimpi itu saya melihat ketiga anak saya sedang bermain sambil menggambar perahu di lantai.
Tiba-tiba saya terbangun karena ada sesuatu yang mencakar kepala saya yang ternyata adalah burung laut. Saya memeriksa jam menunjukkan Jam 21.30 Wita, kemudian saya mencoba untuk tidur lagi tetapi terlebih dahulu saya mengangkat krah baju ke atas kepala dan mengancingnya supaya jangan terlepas dengan maksud supaya menjaga kepala utamanya mata dari serangan burung malam yang mungkin akan menyantap mayat, karena jangan sampai saya dikira mayat yang mengapung. Dengan cara demikian maka kepala saya terasa hangat dan hidung bisa terlindungi dari terpaan ombak -ombak kecil.
Saya mencoba tertidur tetapi tidak terlelap, tiba-tiba saya merasakan sesuatu menyentuh pinggang saya, saya mengapai benda itu dan ternyata adalah kaki mayat korban yang mengapung. Saya tidak merasa takut sama sekali hanya merasa jijik sehingga saya putuskan untuk berenang ke arah titik gumpalan hitam yang saya sudah tandai sebelum tidur sekalian menjauh dari mayat itu.
Saya berenang 10 menit dan istirahat 5 menit dalam kegelapan malam. Saat berenang, terkadang menabrak tas yang mungkin milik penumpang kapal yang naas itu dan beberapa kali menabrak mayat. Kalau saya menabrak mayat maka akan membuat durasi ayunan lengan saya berenang secepatnya sehingga semakin menjauh dari mayat itu.
Saya berhenti berenang, mengecek Jam sudah menunjukkan Jam 23.00 Wita. Saya menaikkan krah baju agar menutupi wajah dan telinga kemudian mencoba tidur. Saat itu, saya mulai berfikir bahwa ternyata lebih berharga hidup tanpa memiliki apa2 dan berbuat baik daripada hidup di pintu maut seperti ini.
Saya menyadari semua dosa-dosa saya kepada Tuhan dan berjanji kepada Tuhan bahwa kalau nanti saya masih bisa hidup maka saya tidak akan menginjakkan kaki lagi ke diskotik karena setiap kali saya ke Kupang, Jakarta, atau Surabaya, saya habiskan malam di tempat-tempat dugem. Bahkan malam Minggu dan malam Senen sebelum pulang ke Rote dengan kapal Ferry, saya selama dua malam itu pulang saat pagi dari Diskotik di Kupang.
Hati saya sangat legah setelah berjanji kepada Tuhan bahwa saya tidak akan ke Diskotik lagi dan setelah itu sayapun tertidur.
Saya terbangun Jam 02.45 Wita karena ada seekor burung hinggap di atas kepala saya. Bintang timur sudah tidak nampak tetapi cahaya dari Pabrik Semen Kupang sudah sangat jelas dan sekitar 20 derajat arah utara dari cahaya itu terdapat gumpalan hitam yang menurut fikiran saya bahwa itu adalah batu karang sehingga saya merasa gembira sekali kemudian berenang ke arah batu karang tersebut tetapi semakin kuat berenang ternyata saya tidak pernah mencapai batu karang tersebut, saya kecapaian dan berhenti berenang.
Saat itu, saya mulai merasa putus asa. Badan saya terasa lunglai dan haus. Saya mencoba menggapai-gapai sekeliling dan mendapatkan satu gelap air kemasan dan minum.
Dalam keputusasaan itu saya berdoa bercucap, berbicara sendiri dengan melipat tangan: “TUHAN, jangan biarkan hambaMu yang berdosa ini tersiksa terombang ambing di laut tidak tentu arah. Kalau Tuhan ingin memanggil saya maka sekarang saya siap. Tuntunlah anak-anak hambaMu ini ya ALLAH sehingga mereka bisa menjadi manusia yang berguna, berbakti dan takut kepadaMu ya ALLAH. Tetapi kalau Tuhan akan menggunakan hambaMu ini sebagai alat untuk melaksanakan Misi dan rencanaMu di dunia ini maka ya TUHAN Allah ku, jangan biarkan hambaMu ini tersiksa di tempat ini. Terimakasih Tuhan. Amin.
Setelah berdoa, saya merasakan ombak dengan gelombang panjang dan saat saya berada di puncak ombak, dari kejauhan saya melihat setitik cahaya terang seperti cahaya lampu sehingga saya bersemangat lagi karena ini menandakan bahwa pantai sudah dekat.
Saya berenang pelan beberapa saat kemudian tertidur lagi kemudian saya terbangun karena ada benda yang menyentuh tangan saya dan ternyata adalah sebuah jerigen minyak goreng bimoli. Saya mengambil jerigen tersebut, membuang isinya kemudian menggantungnya di pelampung saya menggunakan tali pelampung.
Saya tidak berenang tetapi memperhatikan gumpalan hitam yang tadinya saya fikir adalah batu karang, tiba-tiba saya mendengar ayam berkokok sebanyak dua kali.
Hati saya sangat senang karena berfikir bahwa Pantai sudah semakin dekat apalagi kokok ayam yang saya dengar itu cukup dekat.
Saya membiarkan diri terapung-apung kemudian saya mendengar suara orang bercakap-cakap dalam bahasa yang tidak saya kenali. Saat itu Jam menunjukkan Jam 4.15 Wita.
Suara itu semakin lama semakin dekat kedengaran. Ada suara laki-laki yang serak, suara perempuan dan suara anak-anak yang berbalas-balasan tetapi saya sama sekali tidak memahami bahasa mereka padahal cukup banyak bahasa daerah di Nusa Tenggara Timur yang saya pahami dan tahu dialegnya jadi saya berfikir bahwa mungkin suara itu adalah bahasa dari suku lain yang saya belum kenal. Saya mulai berteriak minta tolong: “Oeee.. Tolong… Tolong…”. Teriakan ini saya ulang-ulang tetapi suara orang bercakap-cakap itu sangat tidak terpengaruh oleh teriakan saya. Mereka tetap bercakap-cakap seperti orang yang sedang bertengkar. Satu hal yang saya dengar dari bahasa mereka bahwa mereka tidak menggunakan beberapa huruf seperti R, S, & J. Cukup lama saya menyimak bahasa mereka tetapi saya sama sekali tidak melihat mereka.
Saya perhatikan ke arah gumpalan hitam yang saya anggap batu karang itu, semakin lama semakin terang dan suara-suara orang bertengkar itupun semakin redup dan hilang. Ternyata gumpalan hitam tersebut adalah Gunung yang ada di Pulau yang jaraknya masih sangat jauh kira-kira sekitar 2 atau 3 Km.
Saat itu sudah Jam 5.30 Wita. Saya heran, dari mana datangnya cahaya lampu yang saya lihat semalam, dari mana datangnya suara ayam berkokok itu dan dari mana datangnya suara orang bertengkar itu tetapi fikiran keheranan itu saya hilangkan supaya jangan mengganggu konsentrasi. Yang saya fikirkan adalah cahaya lampu yang semalam saya lihat dan berkesimpulan bahwa saya sedang menuju ke arah kampung Pantai Air Cina yang ada di ujung Pulau Timor sehingga hati saya bersemangat dan legah.
Saya hanya diam tidak berenang sambil mempelajari arah gelombang dan angin yang ternyata arah ombak dan angin searah menuju ke Air Cina.
Cuaca cukup baik, cerah tidak berkabut. Gunungpun semakin jelas. Matahari mulai terbit semakin lama semakin tinggi. Saya sempat melihat Jam tangan menunjukkan 6.50 Wita. Cahaya matahari menghangatkan kepala saya terasa nyaman. Saya merasa mengantuk sehingga menunduk. Saat menunduk itu saya melihat dua buah benda yang melayang di dalam air berwarna abu-abu di kedalaman kira-kira 1,5 meter dari permukaan laut dengan panjang masing-masing sekitar 2 dan 2,5 meter. Saya mencoba menenggelamkan wajah ke air laut dan membuka mata untuk memastikan keberadaan benda itu ternyata adalah makhluk hidup semacam ikan tetapi saya belum pernah melihat jenis makhluk seperti itu. Saya tidak merasa takut karena seandainya makhluk itu buas maka saya pasti sudah disantapnya.
Tuhan memang sungguh berkuasa. Di saat saya tidak tahu ke mana arah akan berenang maka TUHAN memakai Da’i menyampaikan pesan kepada saya supaya berenang ke arah yang DIA inginkan.
Di saat saya mulai putus asa, DIA mendatangkan cahaya bagaikan bara api dan cahaya yang seakan2 cahaya dari pantai sebagai petunjuk arah. Di saat saya seakan2 ogah berenang, TUHAN mendatangkan suara ayam berkokok dan suara orang yang ribut sehingga saya bersemangat berenang. TUHAN benar2 sungguh luar biasa manakala kita menaruh seluruh harapan kita kepadaNya.
Cahaya matahari pagi semakin hangat membuat badan saya semakin hangat dan nyaman sehingga saya mulai terserang rasa ngantuk dan tertidur.
Sebelum tidur, saya sudah bisa melihat gunung di daratan sangat jelas dan melihat pohon2 dengan samar. Fikiran saya saat itu bahwa saya akan tiba di Air Cina. Bagaimana saya tiba di pantai. ***
Bersambung-Pasamboang pangloli