Kisah Nyata Tenggelamnya Kapal J.M Ferry-Bagian I

suluhnusa.com – Empat Belas Tahun yang lalu, tanggal 31 Januari 2006, saya adlh penumpang kapal ASDP JM. Ferry berangkat dari pelabuhan Bolok Kupang yang direnacanakan menuju ke Pelabuhan Pantai Baru di Pulau Rote tetapi ternyata mengalami kecelakaan, tenggelam ke dasar laut pada Jam 21.00 Wita.

Saya terdampar di Pulau Semau, di Pantai Akle yang tidak berpenghuni setelah berenang selama kurang lebih 40 Jam. Selama di laut, Tuhan selalu menyediakan apa yang saya butuhkan utamanya ketabahan dan kesabaran menghadapi perjalanan yang buat saya sangat indah.

Saya tidak mengalami rasa haus, lapar dan tidak cidera apapun selama itu. Bukan kekuatan saya sehingga dapat selamat tetapi hidup ini adalah rahasia Tuhan.

Terimakasih yang tidak terhingga untuk semua sahabat yang dengan susah payah mencari keberadaan saya saat itu tanpa lelah selama 3 hari 3 malam.

Saya berusaha mencatat dalam  fikiran semua kejadian tersebut sampai sedetail-detailnya karena saya yakin akan menjadi tulisan pengalaman hidup yang sangat indah dan menjadi kesaksian buat semua sahabat. Olehnya itu, mulai hari ini saya akan memuat kembali tulisan perjalanan tersebut secara berseri mulai sejak hari keberangkatan sampai saat saya keluar dari RS dan bertemu kembali dengan keluarga di Alukama, Baa – Pulau Rote.

Teman yang selamat dari kejadian tersebut ada dua orang, David AnachkthieYanna Ndolu & Thega Thene yang diselamatkan Kapal TNI AL KRI Tonrang pada hari pertama.

Tulisan pengalaman ini saya buat dalam  beberapa episode sebagai peringatan bahwa tepat 31 Januari 2006, sudah 14 Tahun saya mengalami peristiwa yang indah. 

Cuaca Buruk, Dua Minggu Tertahan di Kupang

 Saya bersama teman-teman yang dari Pulau Rote terpaksa tinggal di Kota Kupang selama 2 Minggu akibat tidak ada kapal yang diijinkan berlayar menuju Rote akibat badai yang  mengakibatkan ombak tinggi di Selat Timor yang mencapai sekitar 4 m. Ada larangan dari pemerintah untuk tidak menyeberang ke Rote dan ke pelabuhan lainnya saat itu.

Saya datang ke Kupang dari Rote bersama teman sekantor bernama Felipus Kato yang  akrab disapa dengan Om Ipu untuk memasukkan laporan akhir suatu kegiatan di kantor kami. Kami berdua menginap di Hotel Pantai Timor di Kamar 204.

Selain saya dan Om Ipu masih ada teman kami yang  lain mengalami nasib yang sama tidak bisa kembali ke Rote akibat badai yaitu Insan Saudale (Om Be’a), Petrus Johanis Pelle (EP), & Albert Ndun (Om Abe). Mereka bertiga tidak bersama kami di Hotel tetapi setiap hari kami selalu bertemu untuk melepas kejenuhan menunggu kapan penyeberangan ke Rote diijinkan.

Hari Minggu, 30 Januari 2006 sekitar Jam 9.00 Wita, kami mendapat kabar bahwa besok akan ada penyeberangan perdana ke Rote pada soreh hari sehingga saya menghubungi Om Be’a, EP & Om Abe dan mereka semua siap berangkat dengan janji akan bertemu di Pelabuhan Bolok Kupang.

Malam itu saya dan Om Ipu entah mengapa sama sekali tidak dapat tidur sampai Jam 06.00 Wita dini hari. Kami sampai tukar fikiran tentang kapal yang akan menyeberang yaitu KMP JM Ferry krn kapal tersebut sudah sangat tua dan lebih kecil dibanding kapal ASDP tetapi hal yang menguatkan kami karena ada semacam kesaksian bagi warga masyarakat Rote Ndao bahwa kita tidak perlu kuatir kalau kapal dinakhodai oleh orang Ndao karena orang Ndao sangat ahli dan menguasai lautan.

Ndao adalah sebuah pulau kecil di sebelah barat laut Sawu berjarak kira-kira 5 mil dari Pulau Rote yang dihuni oleh suku Ndao sekitar 300 KK yang mana masyarakat ini sangat mahir di lautan.

Dari Hotel Timor Menuju Pelabuhan Bolok

 Setelah ngopi pagi itu barulah kami bisa tidur. Kami terbangun pada Jam 14.00 siang kemudian bergegas mencari mobil yang akan memgantar kami ke Pelabuhan Bolok. Cukup lama kami mencari mobil jadi pada sekitar Jam 15.00 saya berangkat dari hotel bersama Om Ipu.

Dalam perjalanan saya menghubungi Om Be’a dan ternyata tidak jadi berangkat karena ada urusan keluarga. Kemudian saya menghubungi Om Abe dan ternyata juga tidak jadi berangkat karena beliau akan tampil di salah suatu Band Music dalam suatu acara. Lalu saya menghubungi EP dan beliau katanya lagi bergegas menuju ke Pelabuhan.

Kami sampai di Pelabuhan sekitar Jam 16.15 Wita sementara kapal akan berangkat tepat Jam 17.00 Wita. Saat itu kami belum sarapan pagi bahkan makan siang sehingga kami masuk ke warung yang  ada di ujung dermaga tetapi ternyata semua makanan sudah habis akibat banyaknya penumpang kapal yang  makan lebih dahulu. Jadi untuk mengganjal perut, kami membeli 4 butir telur rebus yang tersisa di salah suatu warung kemudian kami makan sambil berjalan di atas dermaga menuju ke kapal.

Dermaga Bolok cukup panjang kira-kira sekitar 250 meter dari daratan sehingga kami harus berjalan cepat ke arah kapal karena takut ketinggalan kapal. Kami membeli tiket kemudian lanjut ke arah kapal JM Ferry yang  bersandar di sisi kanan dermaga.

Sejenak saya melihat ke kapal yang  akan kami tumpangi kelihatannya sangat sarat dengan muatan kendaraan roda 6, roda 4 bahkan roda 2.

Sesaat akan melangkah ke atas kapal, saya tiba-tiba memohon ke Om Ipu untuk tidak perlu ikut ke Rote karena rencana hari Kamis saya akan kembali ke Kupang untuk membawa dokumen lainnya.

Om Ipu menolak untuk tinggal dgn alasan sudah 2 Minggu meninggal keluarga di Pantai Baru, Rote. Saya membujuk Om Ipu bahwa saya akan singgah di rumah beliau dan akan menitipkan uang belanja ke istrinya sehingga Om Ipu bersedia tinggal di Kupang dan kembali ke Hotel Pantai Timor.

Saya menelpon EP untuk secepatnya ke Kapal karena kapal segera akan berangkat dan EP menjawab bahwa sudah dalam perjalanan menuju Bolok.

Setelah menelpon, saya berjalan di celah-celah kendaraan yang ada di atas kapal yang sangat sempit karena begitu saratnya muatan kapal. Saya naik ke tangga sebelah kiri menuju ke lantai dua. Saat saya sdh di bordes tangga, saya melihat ke bawah dan ternyata ada sekitar 30an kendaraan muatan kapal yang sebagian besar adalah truck yang berjalan bahan bangunan.

Saya naik ke lantai 2 ruang penumpang kemudian masuk ke ruang VIP dan meletakkan tas yang berisi lap top di dekat TV yang ada di atas meja panjang di depan ruang VIP.

Lagi-lagi saya menelpon keberadaan EP yang katanya sudah dekat ke Pelabuhan tetapi ternyata mesin kapal sudah meninggi menandakan kapal sudah akan berangkat. Pelan-pelan kapal merenggang dari dermaga dan semakin menjauh dan kira-kira jarak antara kapal dan dermaga sekitar 5 meter, saya melihat EP diantar oleh Pak Mersayamenggunakan motor Yamaha RX King masuk sampai ke dermaga. Saya berteriak sambil melambaikan tangan ke arah EP dan Mersayasambil berkata dalam nada mengejek “lompat sudah…..”. Saya melihat EP tersenyum kecewa akibat terlambat naik ke kapal.

Dari jauh saya masih melihat EP dan Mer berdiri di samping motor memandangi kapal yang  berlayar menuju Pantai Baru di Pulau Rote.

Cuaca saat itu sangat baik, tidak ada angin dan lautan sangat tenang. Saya berdiri di depan tangga turun sebelah kiri memandang ke arah matahari yang  akan tenggelam kemudian rasa ngantuk mulai saya rasakan lalu masuk ke ruang VIP dan berbaring di atas meja panjang yang ada di depan ruang VIP. Saya selalu tidur di meja tersebut setiap kali menyeberang dari atau ke Pulau Rote. Sambil membayangkan EP yang tidak jadi berangkat sampai saya tertidur.

Jam 7.15 saya bangun karena lapar, kemudian memesan Pop Mie di Kantin. Sambil Pop Mie disiapkan, saya menelpon ke istri saya di Rote supaya menghubungi Yoppi Mbuik untuk menjemput saya di Pelabuhan yang jaraknya 40 Km dari rumah kami di Alukama Baa.

Setelah makan kemudian saya tidur lagi dengan harapan akan bangun saat kapal sudah tiba di Pantai Baru sekitar Jam 12 malam.

Saya tiba-tiba terbangun pada sekitar Jam 20.30 Wita akibat suara yang hiruk pikuk di atas kapal. Awalnya saya merasa jengkel karena penumpang ribut sekali dan suara tangisan anak2 yang hampir bersamaan.

Saya bangun dan duduk sambil melihat apa yang  terjadi, saya melihat ke arah lantai ternyata kapal mengalami kemiringan sekitar 15 derajat ke arah kiri. Mulanya saya anggap hal biasa tetapi karena melihat kepanikan penumpang maka saya keluar dari ruang VIP kemudian turun ke tangga menuju ke lantai bawah, ternyata pada sisi kanan belakang kapal sudah hampir sama rata dengan permukaan air laut.

Angin sangat kencang, ombakpun cukup tinggi dan sekali-sekali memukul dinding kapal sehingga air laut terhempas sampai ke lantai dua.

Sayapun sadar bahwa kapal dalam keadaan bahaya. Saya masuk kembali ke ruang VIP dan mencoba melihat ke arah Pulau Rote dan samar-samar saya melihat Pulau Rote yang  jaraknya masih sangat jauh dari posisi kapal.

Menelpon Istri dan Menyanyikan Lagu “Yesus Malole”

Saya menelpon ke istri saya menyampaikan bahwa kemungkinan kapal yang  saya tumpangi mengalami kebocoran dan saya minta mereka dan anak-anak berdoa.

Saya sendiri selalu yakin bahwa Nakhoda pasti bisa mengendalikan kapal minimal bisa sampai ke Pantai yang berpasir sehingga saya selalu merasa tenang. Saya kaget saat dari ruang Nakhoda ada tembakan suar sebanyak 3 kali. Di situlah saya sadar bahwa kapal sudah benar-benar dalam bahaya.

Saya melihat ke lantai dan ternyata kapal sudah miring sekitar 20 derajat dan mencoba menenangkan fikiran. Saya berjalan ke arah Kantin untuk membeli rokok dan ternyata Kantin tertutup karena semua awak ke ruang mesin kapal. Saya kembali ke depan tiba-tiba mendengar suara seseorg memanggil saya dgn sapaan akrab, “Om Pang cari apa e?” saya menoleh ke suara itu ternyata Pak David AnachkthieYanna Ndolu, kemudian saya jawab “beta ada cari rokok tapi kios ada tutup”. Sambil mengeluarkan rokok sampoerna dari saku, Om David berkata: “Kakak pake ini sa”. Rokok tersebut saya ambil tetapi ternyata sisa satu batang sehingga rokok tersebut saya kembalikan ke Pak David. Lalu David mengeluarkan sebatang rokok tersebut dari bungkusnya dan menyodorkan ke saya. Saya ambil karena adat orang Timor bahwa sungguh sangat tidak sopan apabila dikasih sebatang rokok kemudian ditolak.

Saya mengisap rokok dalam-dalam dan terasa sangat nyaman dan tenang sambil membuka lemari yang  ada di depan ruang VIP dan ternyata isinya adalah pelampung. Saya mengeluarkan pelampung dan membagikan pelampung tersebut ke para penumpang di ruang VIP dan yang  berada jauh ke belakang terpaksa saya buang ke arah mereka.

Beruntung sekali karena penumpang tidak berebutan mendapatkan pelampung. Mereka rata-rata khusyuk berdoa dan yang  kedengaran hanya tangisan anak-anak yang  cukup histeris. Mungkin karena itulah maka sampai sekarang kalau mendengar suara tangisan anak-anak yang  histeris maka saya pasti kaget dan panik.

Saya berjalan ke arah belakang sambil membawa beberpa pelampung mengecek jangan sampai masih ada penumpang yang  belum kebagian. Pada kursi deret ke empat dari belakang pada bagian kanan ternyata masih ada yang  belum memakai pelampung dan saat saya dekati ternyata sahabat baik saya Rudy Frifs E. Pah. Saya mengenal beliau sejak Tahun 2001 di Kupang dan kami sama-sama pindah ke Rote Tahun 2002. Beliau dgn saya yang membuat SK Mutasi semua pns yang  pindah ke Rote Ndao sebagai Kabupaten Baru sampai Tahun 2003.

Pak Rudy saya lihat bersama dengan beberpa orang anak muda yang  umurnya kira-kira sekitar 17 sampai 21 Tahun. Beliau diapit oleh mereka. Pak Rudy sama sekali tidak mau mengenakan pelampung dan seakan2 pasrah dengan keadaan.

Saya berjalan ke depan dan melihat seorang anak kecil mengenakan pelampung dewasa, saya ambilkan pelampung khusus anak-anak dan meminta ke orang tuanya supaya diganti. Anak ini berumur sekitar 5 Tahun dan selamat tetapi semua orangtuanya menjadi Korban.

Saya bersandar di dekat TV menghadap ke penumpang, semakin lama kapal semakin miring ke kiri sehingga saya menyuruh penumpang yang  ada di deretan kiri pindah ke kanan supaya kapal jangan berat ke kiri. Saya sengaja menggunakan logat Jawa supaya penumpang mengira bahwa saya adalah awak kapal karena selama kejadian ini berlangsung tidak seorangpun awak kapal yang  kelihatan batang hidungnya.

Saat penumpang semuanya terdiam, saya memutar lagu Yesus Malole- Yesus Baik (Talita Doodoh) dari handphne Sony Erickson yang  nyaring kemudian meminta ke semua penumpang untuk ikut menyanyi. Serentak serentak lagu ini bagaikan paduan suara yang  sangat terharu mendengarnya dan banyak di antara penumpang yang  menyanyi sambil menangis dengan deraian air mata.

Lagu ini berulang-ulang kami nyanyikan dan tiba-tiba lampu kapal padam. Tangisan dan teriakan bercampur menjadi satu. Saya seperti mau melompat dari kapal mendengar tangisan histeris ini. Sampai saat ini saya masih trauma kalau mendengar anak-anak histeris karena suara histeris melengking saat itu paling banyak dari anak-anak. Bersambung- ditulis kembali oleh korban yang selamat, Pasamboan Pangloli

Pasamboan Pangloli

 

 

 

 

One comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *