suluhnusa.com – Tubululin, Mamit, dan Lewotolok. Tiga kampung kecil ini berjauhan jarak. Berada di pulau sekaligus provinsi berbeda meski sama-sama di wilayah timur Indonesia, negeri yang kaya raya dalam urusan sumber daya alam dan manusianya. Punya keunikan berbeda terutama adat-istiadat dan topografi. Dulu tentu tiga kampung ini pernah mengalami masa tidak mengenakkan tatklala geliat pembangunan di negeri yang sudah 74 tahun merdeka belum menyasar ketiganya. Tapi kondisi kala itu tak menyurutkan semangat orang-orang kampung mendorong anak-anaknya merantau, bertaruh dengan waktu guna meraih masa depan di berbagai bidang.
Tubululin, Kecamatan Semau Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur tak lain adalah kampung asal Viktor Bungtilu Laiskodat. Semau adalah pulau kecil di beranda Pelabuhan Tenau, Kupang, kota Provonsi Nusa Tenggara Timur. Di situ Viktor Laiskodat pernah merasakan bagaimana hidup beralaskan tikar dari anyaman lontar dengan kedua orangtua: Lazarus Laiskodat dan Orpa Kase dan kakak serta adiknya sebelum keluarga ini bergeser ke bibir pantai Oenesu, Sulamu, Pulau Timor, mengais rejeki demi masa depan anak-anaknya. Remaja Viktor pun tak pasrah dengan kondisi orangtua. Masuk SMA dan tinggal dengan saudari sulung Viktor pun tak kehilangan akal. Ia menjadi buruh kasar, menggali lubang untuk ditanam tiang listrik sekadar mencari uang jajan. Pun pernah bertani, menanam bawang sekadar menambah asap dapur Nomensen, kakak ipar yang tinggal di Oepura, tak jauh dari terminal. Kehidupan yang keras kala itu memaksa Viktor merantau ke Jakarta kemudian hidup di jalanan Ibu Kota, menggelandang menjadi tukang dorong gerobak sampah demi eksis di markas Macan Kemayoran dan The Jackmania dan kelak membuatnya jadi orang.
Lain Tubululin lain pula Mamit. Mamit adalah kampung di wilayah Distrik Kombu, berjarak puluhan kilometer dari Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua. Mamit adalah kampung kelahiran Lukas Enembe. Lukas lahir pada 22 Juli 1967. Lahir sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara, Lukas pun tumbuh dalam situasi yang serba minim. Ia tumbuh dalam keluarga sederhana. Masa kecil keluarga besar Lukas lebih banyak berbalut duka. Lima saudara kandung Lukas kembali ke rumah-Nya. Menghadap Tete Manis, Tuhan. Mereka berpulang dalam usia sangat muda. Tersisa Lukas dan seorang kakak perempuannya.
Meski hidup berdua, Lukas tak lempar handu, tak patah arang. Semangat Lukas, anak gunung dari hutan belantara tanah Melanesia untuk maju setara teman-temannya tetap menggunung. Ia setia mengelola duka yang membelit keluarga melalui peristiwa kematian enam saudara dan saudarinya. Ia memacu semangat dalam dirinya meraih cita-cita seperti kebanyakan anak koteka lainnya. Lukas kecil tergolong anak yang menonjol di kelas. Jiwa kepemimpinan mulai terlihat dalam dirinya. Ketika berburu di hutan, bermain bola di lapangan bahkan di sekolah ia selalu tampil di depan memimpin teman-temannya. “Dulu saat sekolah di SD YPPG Mamit di kampung Kembu, saya harus berjalan kaki jauh bersama teman-teman. Pendidikan sangat berguna bagi masa depan kami. Sebelum berangkat sekolah kami berburu di hutan untuk mendapatkan makanan yang bisa kami makan. Waktu SD selalu juara satu. Ini juga sudah jadi tekad saya. Tekad ini mengantar saya hingga masuk SMP 1 Sentani,” kata Lukas seperti ia sampaikan dalam Papua Antara Uang dan Kewenangan, otobiografinya.
Saya bertemu Lukas saat ia masih menjabat Bupati Puncak Jaya. Rekan Carolus Kia Kelen Boli mengenalkan Lukas dengan saya dalam sebuah pertemuan di Jakarta International Expo (JIExpo) atau arena Pekan Raya Jakarta, Kemayoran Jakarta. Karolus, begitu Lukas menyapanya, adalah sahabat Lukas yang kuliah di Manado. Mereka berteman akrab. Lukas bangga dengan Karolus, anak asal Adonara, Flores Timur, yang semasa kuliah ia nyambi sebagai tukang pel lante dan security kampus. “Sa pu teman ini rajin sampe….. Dia kuliah tapi masih minta pihak kampus tuk dia jaga dan kasi bersih lante di kampus. De pu uang tara banyak yadi laki-laki minta kasi bersi itu lante. Dia pu pace mace (bapa mama) dorang kirim uang tapi tara banyak. Sa juga bangga anak Timor dorang kerja rajin cari uang tambahan biar dorang punya orang tua tara pusing juga,” kata Lukas kepada saya. Ia bangga dengan Karolus, sahabatnya. Jiwa kerja yang tertanam ini mengantar Karolus menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).
Lukas kecil juga tergolong anak yang kutu buku, suka membaca. Julukan pun melekat: “Si Kutu Buku” karena setiap kali ia menemukan sobekan kertas di jalan ia akan memungut dan membacanya sampai tuntas. Ia juga gemar masuk keluar hutan, mendaki gunung, menuruni ngarai terjal di belantara tanah Papua dan tekad meneruskan sekolah adalah kebutuhan. Jalan terbuka bagi Lukas menjadi anak kampung yang berguna tak hanya untuk Kabupaten Puncak sebagai bupati, tapi lebih dari itu. Meniatkan diri menjadi Gubernur Papua dan mentok di jalan bukan akhir bagi Lukas. Ia setia meniatkan diri sehingga periode 2013-2018, ia didamping Klemen Tinal, sesana anak kampung suku Amnungme dari lereng gunung Nemangkawi dipercaya sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Lalu pada periode kedua, Lukas dan Klemen Tinal melanjutkan mengemban tugas yang sama.
Begitu juga Lewotolok. Kampung ini berada di wilayah Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Lewotolok adalah kampung asal H. Suleman Lesu Hamza. Lewotolok adalah kampung kecil di kaki Ile Lewotolok, gunung aktif di Lembata yang kerap mengeluarkan asap tebal. Lewotolok adalah desa kering kerontang. Tempo doeloe warga Ile Ape mengkonsumsi air yang berkadar belerang. Di sini Suleman Hamza tumbuh dan menghabiskan masa kecilnya. Meski serba kekurangan, semangat belajar anak-anak Gunung Api menggunung. Saat masih kecil Suleman masuk sekolah di SD Don Bosko Lewotolok. Sekolah ini tak hanya diisi anak-anak di lereng Gunung Api (Ile Ape) namun juga anak-anak gurung yang mengabdi di sana. Berikut orang-orang dari pulau seberang seperti Adonara, Solor atau Flores. Salah satunya, Dr. H. Ali Taher Perasong, bekas Ketua Komisi VIII (Sosial Keagamaan) DPR RI Daerah Pemilihan Banten. Bapa Haji Ali Taher berasal dari Lamakera, Pulau Solor, Flores Timur.
Jiwa petualangan anak muda Suleman Hamza kala itu untuk “melarat”, merantau muncul dalam hati. Usai menyelesaikan sekolahnya di SMP Ampera Waipukang, Ile Ape, ia menuju Papua sebagai medan perantauan sekaligus pengabdian. Keluar masuk hutan dan gunung adalah pengalaman Suleman Hamza kala itu. Ia pun merampungkan sekolahnya di SMA di tanah Papua. Saat berlibur ke kampung dan bertemu dengan orang-orang kampung atau kerabat lainnya ia selalu menghindar menyebut gelar akademiknya. “Saya ini bergelar S-3. Gelar ini bukan berarti Doktor tapi saya mengantongi tiga ijazah yaitu SD, SMP, dan SMA. Jadi S-nya ada 3 atau S-3,” kata magun Suleman Hamza suatu waktu saat ngobrol bareng Jeri Sabaleku, ponakan beliau di ruang kerjanya.
Sejak kemarin, tiga anak kampung baik Viktor Laiskodat, Lukas Enembe, dan Suleman Hamza, tentu bertemu di Jayapura, Papua. Viktor hadir dalam kapasitas sebagai Gubernur Nusa Tenggara Timur. Kemudian Lukas Eneme adalah Gubernur Papua sekaligus “kepala suku besar” Papua. Sedang Suleman Hamza adalah Anggota DPR RI Daerah Pemilihan Papua sekaligus Ketua Kerukunan Keluarga Besar Flobamora Papua. Sebelumnya, Suleman Hamza adalah Ketua Kerukunan Flobamora Provinsi Papua dan Papua Barat. Akibat medan pengabdian yang luas maka Suleman Hamza bersama para kepala tungku Flobamora setiap kabupaten dan kota memutuskan “memekarkan” menjadi dua bagian. “Kepala tunggu dan warga Flomabora Papua dari seluruh wilayah mengangkat Pak Clinton Tallo sebagai Ketua Masyarakat Flobamora Papua Barat. Dengan demikian kita lebih mudah koordinasi agar warga Flobamora Papua dan Papua Barat berperan aktif dalam ikut memajukan Papua dan Papua Barat bersama pemerintah dan masyarakat tanah Papua,” kata Suleman, yang saat ini anggota DPR RI periode kedua.
Kehadiran Gubernur NTT Viktor Laiskodat dalam rangkaian Perayaan Syukur Memasuki Tahun 2020 disambut Gubernur Lukas Enembe dan Ketua Kerukunan Keluarga Flobamora Papua tentu memiliki arti penting. Selain menyapa warga NTT diaspora di tanah Papua, menemui dan berdialog langsung tentu menjadi kebahagiaan bagi warga asal tanah Flobamora di rantau agar tetap menjalin tali silaturahmi, bersahabat baik dengan warga lokal dalam semangat persaudaraan sebagai sesama orang kampung dari timur. Namun, lebih dari itu setia mengambil bagian dalam berbagai program pembangunan di tanah Papua. Dengan demikian maju tidaknya Papua bukan hanya ditentukan oleh pemerintah tetapi juga peran serta masyarakat, termasuk masyarakat NTT diaspora yang memilih hidup di honai dan mencari rejeki di tanah Papua, surga kecil yang jatuh ke bumi.
Banyak putra-putri NTT yang memilih tinggal dan hidup di atas tanah Papua pun leluasa mengambil bagian dalam berbagai lingkup kerja baik swasta maupun kantor-kantor pemerintahan dan pendidikan. Banyak pula dipercaya mengemban tugas maha berat. Sekretaris Daerah (Sekda) Papua Herry Dosinaen adalah seorang putera NTT kelahiran Adonara, Flores Timur yang mengabdikan ilmu dan tenaganya sebagai ASN sejak berrugas di Kabupaten Puncak Jaya. Begitu pula magun Boli, yang pernah dipercaya sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten Asmat. Di lingkup Gereja juga sangat banyak baik yang berkarya di pelosok-pelosok tanah Papua sebagai imam namun juga banyak yang mengabdi sebagai guru. Uskup Jayapura Mgr Dr Leo Laba Ladjar OFM adalah uskup kelahiran Atadei, Lembata. Kemarin sore, Kepala Biro Humas dan Protokol Setda NTT Dr Jelamu Ardu Marius M.Sc mengabarkan ia tengah menuju Bandara Sentani menjemput Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat bersama rombongan yang akan mendarat di Bandara Sentani. Rombongan akan diterima Gubernur Papua Lukas Enembe dan Suleman Hamza, Ketua Kerukunan Masyarakat Flobamora Papua. Tiga pejabat ini adalah orang-orang yang berasal dari kampung. Pak Viktor Laiskodat, anak kampung Tubululin. Begitu juga Pak Lukas Enembe, anak kampung dari Mamit. Sedang Pak Suleman Hamza, anak kampung dari Lewotolok.***
Ansel Deri
Pernah tugas di Jayapura & Timika;
Orang kampung lahir di hutan di Lembata