suluhnusa.com_Tanggal 20 Agustus 2015, iya tanggal dimana aku percaya bahwa aku benar-benar akan merindukan suasana di tempat pengabdianku.
Namaku Yustina Kukun, aku salah seorang peserta SM3T ( Sarjana Mendidik di daerah Terluar, Terdepan, Tertinggal ) tahun 2014. Tidak banyak yang tahu tentang SM3T itu.
Lebih tepatnya SM3T adalah program yang diselenggarakan oleh pihak DIKTI bagi para sarjana muda untuk mengabdikan diri sebagai guru di daerah pelosok Indonesia. Ini sepenggal kisahku yang mungkin tak dapat kulupakan.
Pagi itu, aku seperti sedang bermimpi. Memang sebelumnya aku sering menghitung hari untuk segera pulang ke tanah NTT. Namun saat ini, aku hanya ingin menghentikan waktu sebentar agar aku bisa berlama-lama dengan anak didikku, mengajar dan mendidik mereka seperti biasa yang kulakukan.
Melewati setiap lorong di sekolah, iseng-iseng mengganggu teman-teman yang sedang asyik dengan kerjaannya di ruang TU. Dan aku rindu masa-masa itu. Mereka telah mewarnai hari-hariku di sini. Seperti biasa, aku menyiapkan diri untuk ke sekolah, menyempatkan diri meneguk secangkir teh hangat sebelum beranjak ke sekolah. Jaraknya hanya 30-an meter dari tempat tinggalku. Segala persiapan untuk acara perpisahan sudah matang.
Kenang-kenangan untuk staf guru dan pegawai pun sudah mantap, yang belum siap adalah hati ini yang sebentar lagi akan meninggalkan semua yang ada di Kampung Gunung Rampah, Kecamatan Mook Manaar Bulatan, Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur.
Ketika kaki melangkah keluar dari pintu mess, ternyata yang menyambut langkah itu adalah teriakkan siswi-siswi kelas VIII yang sedari tadi sedang menungguku. Mereka memelukku, memohonku untuk tetap tinggal bersama mereka.
Mencoba tetap tegar dan menguatkan mereka.
“Ibu belum pulang kok, masih lama….”
“Ibu bohong, hari ini acara perpisahan, dan ibu akan pergi dan akan melupakan kami.” terdengar suara yang menjawab.
Yah, jawaban itu membuat airmata jatuh berderai tak karuan. Ku coba tuk menahan, namun aku juga manusia biasa, aku juga punya perasaan, aku juga bisa menangis. Sebenarnya apa yang salah? Aku, atau program ini yang hanya menempatkan kami selama setahun?
Perlahan-lahan aku mengajak mereka melangkah ke sekolah, membujuk setiap anak yang datang menangis dalam pelukanku. Bagaimana mungkin aku mampu menipu dan menutupi kesedihanku? Mataku berkaca-kaca, aku tak bisa, aku tak mampu.
Acara perpisahan di sekolah memang benar-benar mengharubirukan. Tetes airmata terus mengalir. membasahi pipi. Menoreh luka dalam hati. Harukah ada perpisahan? Atau salahkah pertemuan diantara kita? Sambutan dari kedua Kepsek ku membuat aku semakin sedih. Ahhhh..aku tak mampu menahan air mata. Meleleh. Jatuh. Berderai.
Sekuat apapun aku menahannya, aku tak bisa menutupi rasa sedih di wajahku. Dari sederetan acara yang telah disiapkan dan ditampilkan, maka tiba di penghujung acara, jabatan tangan dan foto bersama.
Yang menoreh luka dalam hati bahkan hingga saat ini adalah tangisan anak kelas VII yang bernama Rendy Ismail. Seorang siswa kelas VII yang baru kukenal kurang lebih 2 bulan terakhir.
Dalam tangisnya dia berkata “Ibu Yus jangan pergi, nanti siapa yang ngajar kami? Kalo ibu pergi, boleh gak Rendy ikut?” kata-katanya sungguh membuatku semakin sedih, aku harus apa?
Aku hanya mampu berkata : “nanti kita pasti ketemu lagi, jadi Rendy belajar yang rajin yah.” Anak inilah yang selalu punya pertanyaan tentang sesuatu yang konyol dalam kelas.
Masih teringat pertanyaannya : “Bu Yus, kenapa ibu mengajar bahasa Indonesia? Mengapa tidak menjadi pelawak? ” pertanyaan yang membuatku tersenyum simpul saat pertama kali masuk kelas VII dan melihat tingkah anak-anak tersebut seperti masih berada di bangku SD.
Polos, lucu, imut, kecil, itulah mereka. Rendy menangis tersedu-sedu, memelukku erat-erat, memintaku untuk tetap tinggal dan mengajar bahasa Indonesia serta TIK. Aku bisa apa ? Hanya mampu menangis. Tak bisa kupungkiri kedekatanku dengan siswa di sekolah begitu terlihat akrab. Aku menjadikan mereka alasan mengapa aku harus bertahan berada di tempat ini. Sebagian besar siswa dekat denganku. Sama halnya dengan Rendy.
Rendy memang butuh kasih sayang dan perhatian, karena ibunya Rendy bisu. Itu yang membuatku sayang dan dekat dengan anak ini. Aku tahu bahwa aku tak mampu menjadi sempurna, namun satu yang pasti adalah aku menyayangi mereka, aku akan selalu mengenang mereka dalam hari-hariku.
Terima kasih SM3T karena telah membawaku merantau jauh dari rumah, mengenal orang-orang Kalimantan, menikmati setiap musim buah (durian, mangga, langsat, rambutan) langsung dari pohonnya, menyusuri panjangnya sungai Mahakam menuju ibukota Provinsi, menikmati setiap proses yang terjadi di tempat ini yang mendewasakanku dalam berpikir dan bertindak. Aku bahagia.
Karna kalian istimewa di mata Tuhan, dan aku bahagia bisa diterima dalam lingkungan orang dayak.***
Yustina Kukun, S.Pd
Guru SM3T Undana Kupang di Kalimantan