suluhnusa.com_Kisah ini barangkali terasa lucu, tetapi inilah kenyataan yang terjadi di negeri yang bernama Indonesia ini.
Bukan sebuah dongeng. Pengalaman nyata yang diceritakan oleh seorang
Guru SM3T yang dikirim oleh universitas Nusa Cendana ini mengajar di kampung Gunung Rampah, kecamatan Mook Manaar Bulatn, Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur. Inilah kisahnya.
Entah menurut para pembaca ini bagian dari anekdot atau apalah itu, yang saya tahu bahwa inilah sepenggal dari sekian banyak cerita lain dalam proses pengabdin di daerah 3T. Ini adalah bagian awal dari cerita-cerita lainnya.
Masih ingat jelas tanggal 8 September 2014, 40 peserta SM3T asal LPTK Undana, Kupang diserahterima untuk pihak dinas Pendidikan Kutai Barat.
Usai acara serah terima, masing-masing kepala sekolah menjemput guru SM3T untuk diantar ke tempat pengabdiannya. Saya bersama seorang teman lainnya dijemput oleh ibu kepala sekolah dan langsung diantar ke tempat tugas kami. Dengan catatan, esok harinya sudah bisa langsung ke sekolah untuk bekerja.
Dalam benak saya akan ada acara penjemputan di sekolah atau apalah itu yang dalam tradisi orang NTT masih terjadi. Ternyata saya salah besar, tanggal 9 september 2014 hari pertama ke sekolah disambut dengan pertanyaan : ibu ngajar mapel apa?
Dengan malu-malu meong sebagai orang baru saya menjawab : Bahasa Indonesia. Lalu sahut salah seorang guru dari sekian yang ada di situ katanya : kalau begitu nanti mulai esok Ibu ngajar Bahasa Indonesia di kelas VIII yah.
Bingung saya, jadi hanya membalas pertanyaan tersebut dengan sebuah senyuman yang menurut saya bisa menggambarkan betapa bingungnya saya saat itu. Jadi mari kita lupakan soal acara penyambutan menurut versi orang NTT.
Jadwal langsung dibagikan untuk saya, dan memang tepat sekali, esok saya ada jam ngajar di kelas VIII. Luar biasa, datang langsung bekerja. Benar-benar tak pernah saya bayangkan.
Pagi itu, hari pertama saya masuk kelas VIII. Memperkenalkan diri di hadapan anak yang berjumlah 35 orang. Ada yang welcome, ada yang biasa-biasa saja, dan mungkin juga ada yang tidak mengharapkan kehadiran saya.
Saya bertanya tentang materi terakhir yang disampaikan oleh guru sebelum saya. Namanya Pak Hilarius, guru bahasa Indonesia di kelas itu sebelum saya. Sudah bulan september dan mereka masih saja pada materi awal tentang pengertian teks cerita fabel.
Tugas saya adalah melanjutkan sesuatu yang notaene belum dimulai. Buku pegangan guru hanyalah pupin atau ringkasan materi yang diwajibkan dimiliki oleh masing-masing siswa.
Bukan cara ngajar saya kalau patokan sama buku ringkasan itu. Jadi karena materi tentang cerita fabel sudah saya rangkum maka saya memberikan beberapa catatan yang tidak terdapat dalam buku pupin milik siswa.
Saya mencatat di papan putih dan meminta siswa untuk mencatat sebelum saya memberikan penjelasan. Ketika sedang mencatat di papan putih, ada suara anak laki-laki kedengaran dari belakang, katanya : Ibu, lindung.
Saya bingung, apa maksudnya. Saya bertanya : ada apa nak? Katanya lagi : Ibu lindung.
Yah jelas saya bingung, apa yang dimaksudkan sebenarnya. Saya kembali e meja guru, lalu anak itu kembali berkata : ibu duduk di situ aja, biar gak lindung.
Ingin rasanya saya ketawa sepuas mungkin. Ternyata lindung yang dia maksudkan adalah menghalangi. Guru bahasa Indonesia dibuat bingung pada hari pertama masuk kelas. Dua jempol untuk anak itu. Usai memberikan catatan, saya memberikan penjelasan untuk mereka.
Usai ngajar saya kembali ke ruang guru dan menyampaikan pada guru yang ada di situ, mereka bahkan ketawa ketika mendengar cerita saya. Ternyata kata lindung bukan satu-satunya kata yang membuat saya lucu dengan penggunaan bahasa Indonesia anak-anak di sana.
Ada kata kontak yang juga punya kisah sendiri, serta kata bejagur yang sampai saat ini tak bisa saya lupakan.
Kisah lain tentang kata kontak adalah pada saat mengajar bahasa Indonesia di kelas VIII anak yang saat itu mengucapkan kata lindung kembali membuat tawa dalam hati kecil saya.
Anak itu bernama Joshua. Saya menuliskan beberapa materi penting di papan dan menyuruh mereka mencatat. Ketika saya selesai mencatat, saya kembali ke tempat duduk saya.
Menunggu mereka selesai mencatat dan bersiap untuk memberikan penjelasan. Tiba-tiba anak yang bernama Joshua itu berkata : Ibu Yuz, pulpen saya kontak. Apalagi nih?
Saya hanya berkata : segera catat Josua. Dia kembali berkata: tapi pulpen saya kontak Bu. Saya menghampirinya lalu bertanya : ada masalah apa kamu ? kok gak catat ? Jawabnya : gimana mau catat Bu, pulpen saya kontak. Sambil mencoret-coret bukunya dan menunjukkan bahwa dia tidak bisa mencatat karna pulpennya macet, tidak ada tinta.
Luar biasa, dan saya tersenyum-senyum karna untuk kedua kalinya saya seorang guru Baha Indonesia bingung dengan bahasa anak ini. Sambil memberikan pulpen saya untuk anak tersebut saya masih saja ingin tertawa keras ketika mengetahui bahasa mereka yang aneh itu.
Penggunaan bahasa Indonesia yang aduhai sekali yang juga telah membingungkan saya. Proses belajar yang luar biasa sekali, saya bahkan tidak paham dengan bahasa mereka sebegai orang Indonesia.
Terima kasih SM3T karena menghadirkan saya diantara anak-anak Kalimantan yang lucu itu.
Inilah sebagian dari kisah saya bersama mereka. Saya sangat merindukan mereka.***
Yustina Daniwaen kukun, S.pd.
Peserta SM3T (Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) tahun 2014/2015.