Keadilan yang ada di tanah NTT tidak pernah terrealisasi, terutama di Lembata. Kebijakan yang dibuat hanya menguntungkan kroni-kroni pejabat sendiri. Oleh karena itu, keadilan harus terus dituntut demi terciptanya keadilan bersama.
suluhnusa.com – Gerakan Mahasiswa Pemuda Lembata (Gempal Jakarta) melakukan festival seni dengan tema Matinya Keadilan di Lembata terhadap berbagai persoalan yang ada di Lembata yang dilakukan di Tugu Proklamasi, Jl. Pegangsaan Timur No 56, Menteng Jakarta Pusat (29/06 04.00-19.50).
Gerakan parade seni ini dilakukan dengan tujuan untuk menuntut keadilan terhadap berbagai bentuk persoalan yang ada di Lembata saat ini mulai dari ambruknya jembatan Wai Ma, Pembangunan Jeti apung di Awololong, kerusakan hutan bakau akibat pembangunan tembanguna tambak udang dan kurangnya ketersediaan BBM yang mengakibatkan antrian panjang di SPBU Lembata yang sampai saat ini belum ada tindkan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan.
Kordinator Lapangan (Korlap) Glen Paokuma mengatakan kegiatan festival ini dilakukan untuk menuntut ketidakadilan yang ada di Lembata sekaligus memberikan penyadaran untuk terus berjuang menuntut keadilan.
“Kegiatan seni yang diadakan ini pada dasarnya adalah untuk menuntut keadilan terhadap berbagai persoalan yang ada di Lembata. Kegiatan ini dilakukan sebagai suatu bentuk penyadaran serta upaya edukatif kepada para pemuda dan mahasiswa yang tidak pernah peduli terhadap semua bentuk pembangunan di Lembata.” Ungkap ketua HMI tersebut.
Ia juga mengajak seluruh mahasiswa asal Lembata yang berada di seluruh Indonesia, mulai dari Kupang, Makasar, Jogja dan Malang untuk terus bersatu dalam menuntut keadilan yang ada di Lembata saat ini, ungkapnya sambil memberikan penghargaan simbolis yang ditujukan kepada bupati Lembata sebagai bupati otoriter, karena menurutnya, segala kebijakan melenceng dari perencanaan yang ada.
Kegiatan Festival seni di diwarnai dengan orasi-orasi yang menuntut keadilan, teatrikal yang menggambarkan keangkuhan bupati Lembata dengan obral janji yang usang, dan pembacaan puisi sebagai bentuk keresahan terhadap ketidak adilan yang ada di Lembata saat.
Hadir juga dalam parade seni Matinya Keadilan di Lembata tersebut adalah perwakilan dari beberapa organda (Organisasi Daerah) asal Indonesia Timur maupun organisasi nasinal, di antaranya: Gesar Manggarai, Hipma Halut (Himpunan Mahasiswa Halmahera Utara), Ende, Batu UBK (Barisan Anak Timur Universitas Bung Karno, dan PMKRI yang juga memberikan orasi dalam festival seni tersebut.
Perwakilan orasi dari Gesar Manggarai, saudara Saverius, dalam orasinya mengatakan turut perhatin dengan kondisi di Lembata, karena pada dasarnya kita (Organda NTT) yang ada di Jakarta mempunyai kritikan yang sama terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang hanya menguntungkan dirinya sendiri.
“Keadilan yang ada di tanah NTT tidak pernah terrealisasi, terutama di Lembata. Kebijakan yang dibuat hanya menguntungkan kroni-kroni pejabat sendiri. Oleh karena itu, keadilan harus terus dituntut demi terciptanya keadilan bersama.”
Dalam orasinya, Saverius juga mengatakan mendukung dan mengapresiasi secara penuh perjuangan GEPAL-Jakarta untuk menuntut keadilan yang ada di Lembata saat ini. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Faldo, ketua umum Maluku Utara dalam orasinya.
Pada tempat yang sama, Asis WN, ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) mengatakan kondisi lembata saat ini sudah sangat kritis. Ia juga mengatakan adanya persekongkolan antara DPRD dan Bupati Lembata sehingga segala proses hukum yang dilakukan untuk menuntut proses hukum pada bupati Lembata masih belum dilakukan.
“Pembangunan yang ada di Lembata saat ini sudah sangat kritis. Begitu banyak pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah lembata tapi toh, semuanya mangkrak. Dan juga ada persekongkolan antara DPRD dan Bupati Lembata sehingga indikasi korupsi sangat nyata.” Ungkapnya. Ia juga berharap agar perjuangan-perjuangan untuk menuntut keadilan akan terus dilakukan agar dalam upaya menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dan dan masyarakat Lembata pada khususnya dapat tercapai.
Untuk diketahui, tiga poin tuntutan dalam festival seni ini adalah 1) Copot bupati Lembata karena tidak mampu mengakomodir kepentingan rakyat; 2) Dewan Perwakilan Rakyat Lembata (DPRD Lembata harus bertanggung jawab atas segala persoalan yang terjadi di Lembata sebagai representasi dari wakil rakyat; dan 3) stop intimidasi dan mengintervensi kebebasan berpendapat karena bertentangan dengan legitimasi-legitimasi hukum.
Ketika poin tersebut dibacakan pada akhir kegiatan parade seni sebagai pernyataan sikap terhadap gerakan yang mereka lakukan untuk menuntut keadilan terhadap persoalan yang ada di Lembata saat ini.*** (Ama Kewaman)