Pesan Dari Punggung Gunung Ile Boleng

suluhnusa.com – Kegiatan LKTD hari ke-2, 18 November 2017 yang diselenggarakan kaum muda desa Tuwagoetobi, Honihama, Kecamatn Witihama, Adonara, Flotim disertai gerimis dan hujan.

Narasumber pertama, Kakak Daniel Ama Nuen saat membawakan materi diselingi rintik. Kakak Alex Ofong dan Kakak Silvester Hurit, dua pemateri berikut dibimbing gerimis dan hujan dari pelabuhan penyeberangan Tanah Merah menuju Desa Tuwagoetobi. Beberapa kali Kakak Silvester Hurit harus menumpang ganti beberapa sepeda motor karena ban sepeda motor yang ditumpangi Kakak Sil sempat bocor.

Hingga gerimis mempertemukan saya dan Kaak Sil di pertigaan Desa Hinga, Kecamatan Kelubagolit. Dua kali mesti memilih berteduh lantaran gerimis kian ramai. Selepas berbagi dan usai santap siang bersama kaum muda Desa Tuwagoetobi, kedua sosok pemilik semangat muda ini meninggalkan Desa Tuwagoetobi dan kembali ke Tanah Merah. Kaka Aleks Ofong mesti langsung kembali ke Kupang hari itu pula. Kakak Sil Hurit harus kembali menjumpai keluarganya di Desa Bantala/Lewohala setelah malam sebelumnya bersama Kakak Alex di Kupang hingga pagi ke Adonara.

Kedua orang pemilik nyali berbagi ini dikawani Ama Masan Kian setelah sehari sebelumnya berbagi bersama saudara-saudari di kampung ketubannya.

Kedua pemateri terakhir, Ama Ola Mangu Kanisus dan Ama Kasmir Kopong yang pagi tadi dari Kupang pula terjebak hujan dari Waiwadan menuju tempat kegiatan. Karena ulah hujanlah, kedua pemateri ini mengganti kendaraan dan baju sebelum ke Desa Tuwagoetobi. Kebersamaan kaum muda ini berlanjut pada hari kedua ini tetap hangat hingga pada sesi Koplat (Kopi Plating) dan Bolplat (Bolu Plating) di penghujung pemaparan materi.

Ada aroma jiwa muda yang kental dijumpai pada wajah beberapa orang tua Tuwagoetobi yang setia mendampingi kaum muda. Sebut mereka, Kepala Desa Tuwagoetobi, Sekertaris Desa Tuwagoetobi, Ketua BPD Tuwagoetobi dan beberapa orang tua lain.

Masih betah pula orang kampung satu ini, Ama Sandro Balawangak. Orang kampung Ile Ape, Lembata ini turut berbagi dengan kaum muda di punggung gunung Ile Boleng pada hari pertama. Dan sore harinya, Ama Sandro mesti kembali ke Ile Ape dengan penyeberangan Waiwurin. Kakak Daniel Ama Nuen pun pamit kembali ke Desa Woka Belolon menjelang malam usai meneguk Koplat dan Bolplat.

Bersanding dengan Kakak Guru Azam Putra Lewokeda, moderator yang tak pernah kendor semangat sejak hari pertama ini kami menutaskan Koplat sebelum Adzan Maghrib mengajak kami pulang.

Pada seruputan Koplat ini, saya memergoki wajah dua pemateri hari pertama pada genang tenang cangkir kopiku. Ama Pion Ratuloly, anak muda Lamahala yang menyisipkan waktu berbagi dengan kaum muda Tuwagoetobi ditengah tumpukan acara Milad Pondok Baca Wathan Lamahala. Ama Ary Toekan, pemuda energik dari Wewit mesti mengasup vitamin yang lebih dari perawat pribadi agar tampil bugar di tengah Keropong dan Kebarek Tuwagoetobi pada hari sebelumnya.

Segenap aura positif dari berbagai penjuru yang bersua di Desa Tuwagoetobi sebagai cemeti sakti melecut kekuatan sekaligus tantangan bagi kaum muda Honihama dan kawula muda Flotim lainnya.

Bahwa perjumpaan jiwa-jiwa muda ini sebagai ajang menggali potensi, saling menginspirasi dalam upaya meningkatkan kapasitas diri sembari melatih kepekaan dan mengelolah perbedaan menjadi sebuah kekuatan sekaligus tantangan bersama meracik citarasa perubahan bersama pula.

Suasana LKTD Desa Tuwagoetobi, sambil menikmati kopi panas diiringi puisi dari Pion Ratuloly

Di tepian coretan ini, bila sudi mari kita belajar pada ritual Ore Ana tentang semangat juang warisan leluhur.

Ritual Ore Ana di Adonara. Penyematan nama kampung pada anak Adonara.
Saat Bapak menyuap kepala ayam kepada anak, beliau berpesan,” Kotem de taa, krurham de memet maa ibe muren’.

Saat menyuapi anak dengan jantung dan hati ayam, Sang Bapak berpesan, “Onem peweka, puhom de mege maan neka liwo melan senaren.

Katika sang Bapak memberi makan anaknya deng empuk dada ayam, dia berpesan,”Obakem peweka, korokem pelaga maan uku gahin melan senaren, senobhang belibakeng.
Ketika Sang Bapak menyuapi sayap ayam(diumpakan tangan ayam), dia berwasiat,” Limam beretep maan kelekat kewayang gemohe pohe.

Dan saat Sang Bapak menyuapi anaknya dengan kaki ayam, dia berpesan,“Leim de kelea maan lei raran.

Sementara saat sang Bapak menyuapi anak dengan buntut ayam, dia bertitah, “Uwem ake kerobang, pana ae nai tenang mureng, maa liko melan senaren-mengutip David Klawes.

Amber Kebelen

Horinara, 19 November 2017

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *