suluhnusa.com – Menulis, untuk guru guru kampung di Flores Timur sudah menjadi sebuah hobi baru, disela rutinitas mengajar dan kegatan sekolah lainnya. Menulis kerap menjadi semacam perlombaan tanpa jedah bagi guru guru di Flotim yang tergabung dalam Agupena dan PGRI Flotim. Sebab, dalam tahun ini saja beberapa guru sudah menerbitkan buku. Bukan saja buku panduan mengajar tetapi juga buku sastra, dan beberapa buku lainnya.
Dan akhir tahun ini, PGRI Solor Barat bersam AGUPENA Flotim akan menerbitkan buku lagi. Judulnya, “PGRI Solor Barat dan Kemanusiaan Yang Terhempas (Keberpihakan Bagi Masyarakat Lamaole).
“Kolaborasi yang baik antara Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Solor Barat dan Asosiasi Guru Penulis Indonesia (Agupena) Cabang Flores Timur mampu menjawab tantangan Bapak Anton Seda dan Pater Elias (Putra Lewotanaole) pada momentum hari Guru Nasional (HGN) dan HUT PGRI ke -71 Tahun 2016, tingkat PGRI cabang Solor Barat di Desa Lewotanaole Kecamatan Solor Barat, Flores Timur,” sebut Maksi Masan Kian, Ketua Agupena Flotim, yang menjadi simpul virus menulis di Flotim saat ini.
Buku ini berisi tulisan kesan dan pengalaman guru guru yang tergabung dalam PGRI Solor Barat selama tiga hari di Lewotanaole. Kami turut menyumbang beberapa tulisan tentang kesulitan warga Lewotanaole terkait akses jalan, akses informasi, listrik dan kebutuhan dasar warga lainnya.
Acara launching Buku “PGRI solor Barat Dan Kemanusiaan Yang Terhempas” sediannya akan terjadi pada Sabtu (25/11/17) di Karawutun, Solor Barat.
Direncanakan akan hadir, Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, Bupati Flotim, Bapak Antonius Gege Hadjon, Pengurus PGRI Flotim, Pengurus Agupena Flotim, Pengurus PGRI Cabang Solor Barat dan seluruh guru tingkat TK, SD, SMP, SMA se-Kecamatan Solor Barat.
Tentang Lewotanaole, weeklyine.net, pernah menulis beberapa catatan tentangnya. Setidaknya ada tiga tulisan.
Pertama dengan judul : Cerita Guru dan Mobil Truck Kayu di Solor Barat.
Dalam tulisan ini, maksimus masan kian menceritakan, Tak mudah yang dibayangkan. Prediksi awal tentang jalan yang dibuka tahun 2014 menghubungkan Desa Lamawalang dan Lewotanaole “meleset”. Keluar dari Lamawalang, rombongan langsung melewati jalan tanjakan terjal. Beberapa truk yang memuat rombongan guru terpaksa harus diturunkan dan memilih berjalan kaki. Puluhan guru yang menggunakan sepeda motor harus merelahkan motornya dititipkan di Desa Lamawalang dan berjalan kaki.
Jika menatap ke atas pada jalur jalan itu, mata kita terus tertuju pada tonjolan –tonjolan batu yang nampak dipermukan jalan, yang semakin menambah ciut guru yang rata –rata berusia diatas 40 tahun. Jalan yang dilewati tidak ada peningkatan apa – apa sejak dibuka. Rusak parah sepanjang jalan.
Hanya dua truk yang berhasil melewati rintangan pertama itu dan seterusnya bisa tiba dengan selamat di Desa Lewotanaole. Karena sopirnya berasal dari Lewotanaole yang sedikitnya telah mengusai jalan. Guru yang menumpang truk hingga tiba di lokasi kegiatan adalah mereka yang berani dan memiliki nyali petualang.
selengkapnya, baca : Cerita Guru dan Mobil Truck Kayu di Solor Barat
Tulisan kedua, berjudul Jalannya Saja Parah apalagi Penerangan PLN ?
Maksimus Masan Kian, Ketua Agupena Flotim juga yang menulis soal ini. Cerita masan tentang Lewotanaole, demikian, Jalan sejauh 7 kilo meter, sejak dibuka, tidak ada peningkatan sama sekali. Gerusan banjir pada badan jalan menimbulkan lubang –lubang besar di bagian tengah dan menyisahkan batu –batu yang berterbaran liar sepanjang jalan.
Alternatif jalan yang dibuka dengan tujuan untuk mempercepat akses trasportasi dalam mendistribusikan komoditi warga Lewotanaole ke pasar belum bisa digunakan secara signifikan. Tak banyak sepeda motor yang berani melewati jalur ini.
Warga mengistilahkan lintasan jalan ini dengan sebutan “jalur merah” karena selain jalan yang menanjak dan terjal, tak ada jalan yang rata. Menanjak dan terus menanjak. Sudah menanjak, beberapa titik membentuk belokan seperti huruf Z.
Sepeda motor saja demikian apalagi mobil. Hanya sopir yang berani dan penumpang yang nekat memilih naik mobil. Warga lebih nyaman dengan berjalan kaki, memikul hasil komoditinya untuk dijual di pasar.
Kondisi sulit yang dialami di wilayah ini, mestinya mendapat respon dari lembaga terkait. Namun jeritan dan keluhan yang disampaikan dari tahun ke tahun belum juga mendapat respon.
Coba Klik dan Baca, : Jalannya Saja Parah apalagi Penerangan PLN ?
Dan tulisan ketiga, masih dari Maksimus Masan Kian. Judulnya, Lewotanaole, Seperti Firdaus Yang Terjepit.
Dia menggambarkan Soal hasil alam apa yang kurang di Lewotanole. Seperti taman firdaus. Subur nian.
Memang Menggapainya sulit. Namun jika sudah sampai, kebahagiaan kita terpenuhi.
Dan juga Baca ini : Lewotanaole, Seperti Firdaus Yang Terjepit
Inilah beberapa catatan tentang Lewotanaole, di Solor Barat sana menjelang peluncuran buku, PGRI solor Barat Dan Kemanusiaan Yang Terhempas. (maksimusmasankian/sandrowangak)