• Motivasi saya untuk sekolah saat itu, tidak untuk mendapatkan pengetahuan membaca, menulis dan berhitung, melainkan sekedar mengejar duduk di bangku Kelas IV Sekolah Dasar agar bisa mendapatkan layanan komuni pertama (Ekaristi Agama Katolik memberi hosti kepada umat yang layak). Sekolah hingga mendapatkan ijazah saat itu belum terpikirkan • Maksimus Masan Kian, Guru Kampung di Kabupaten Flores Timur.
suluhnusa.com-Menulis tentang tema penuntasan buta aksara, membangkitkan memori masa kecil saya dua puluh tahun silam di daerah Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Motivasi saya untuk sekolah saat itu, tidak untuk mendapatkan pengetahuan membaca, menulis dan berhitung, melainkan sekedar mengejar duduk di bangku Kelas IV Sekolah Dasar agar bisa mendapatkan layanan komuni pertama (Ekaristi Agama Katolik memberi hosti kepada umat yang layak). Sekolah hingga mendapatkan ijazah saat itu belum terpikirkan.
Prinsip ini tumbuh di kalangan anak – anak kampung dan menjadi orentasi kurang lebih di atas 80% anak. Sebagian orangtuapun mendukung hal ini.
Suatu Iklim dimana warga belum menempatkan pendidikan sebagai pilar peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM). Sedikit memiliki kemampuan berbicara dalam Bahasa Indonesia, dianggap sudah cukup menjadi modal bersama orang tua merantau memperbaiki ekonomi rumah tangga. Kondisi ini belum terhitung letak geografis sekolah dengan jangkaun tempat tinggal anak. Jarak rumah dengan sekolah yang jauh turut menyumbang faktor penghambat anak tidak mengenyam pendidikan. Ke kebun, ke ladang, ke hutan, ke laut adalah ragam aktivitas yang kemudian dilakoni anak usia sekolah bersama dengan orang tuannya pada jam sekolah.
“Presiden sudah ada, Menteri, Polisi, Guru, Pegawai sudah ada, buat apa ke sekolah?. Ini adalah kata- kata yang secara gamblang diucapkan oleh orang dewasa yang terhadap anak- anak untuk tidak harus menentukan pilihan ke sekolah. Menjadi buruh di perantauan, petani, dan nelayan yang bisa langsung mendapatkan uang, adalah pilihan pekerjaan yang digemari anak – anak usia sekolah saat itu yang didukung oleh orang orang tua. Sekian banyak anak NTT harus putus sekolah atas kondisi tersebut. Hal ini menjadi sumber tingginya angka buta aksara. Pola pikir masyarakat dalam memahami pentingnya pendidikan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat saat itu belum terbentuk baik.
Kondisi demikian maka tidak heran, Data Badan Pusat Statistik (BPS) serta Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud, menempatkan NTT pada urutan ketiga setelah Papua dan NTB dari sebelas propinsi se- Indonesia yang memiliki angka buta hurufnya di atas angka nasional. Secara nasional, angka buta huruf Warga Indonesia masih ada sekitar 2,07 persen atau 3.387.035 jiwa (15-59 tahun) yang buta aksara. NTT masih terdapat sekitar 5,15%.
Lembaran Baru Orentasi Sekolah Anak NTT
Waktu berlalu, informasi dan teknologi berkembang dan pola pikir masyarakat NTT semakin terbentuk baik. Warga perlahan mulai memahami pentingnya pendidikan anak demi masa depan kehidupannya yang lebih baik.
Sudah ada kepedulian dan upaya mencari uang untuk biaya pendidikan anak. Kerja keras orang tuapun mulai dihargai oleh anak. Sudah ada keseriusan untuk sekolah. Anak sudah memilih sekolah dan menentukan jurusan sesuai dengan potensi, bakat dan minat yang dimiliki.
Jika sebelumnya orang tua harus sama- sama dengan anak ke tanah perantauan mencari uang memperbaiki ekonomi keluarga, di atas tahun 2000an kebiasaan ini sudah mulai beralih. Anak ditugaskan terus berproses di sekolah untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, pembentukan karakter dan peningkatakan keterampilan, sementara orang tualah yang merantau mencari uang untuk keberlanjutan pendidikan anak.
Kerja keras orang tua dan ketekunan anak di bangku sekolah membuahkan hasil. Tidak lagi ada perbedaan anak pejabat dengan anak petani, tidak lagi ada sekat antara anak pegawai dan anak nelayan. Semua anak memiliki hak yang sama untuk mengenyam pendidikan dan secara mandiri mampu memilih jurusan menggapai cita- citanya.
Munculah profesi sebagai guru, pegawai, polisi, dokter, politisi, pengusaha, teknisi dan lain- lain, yang semakin menyuburkan iklim ilmiah di lingkungan masyarakat. Generasi muda tidak sulit untuk dimotivasi mengenyam pendidikan di sekolah. Cukup melihat keberhasilan teman- temanya, ia terdorong untuk juga siap melewati jalan yang sama.
Adanya upaya serius dari pemerintah menghadirkan sekolah hingga ke pelosok mulai dari tingkat TK/SD, SMP/MTs, SMA/MA semakin mendekatkan layanan pendidikan. Fenomena minimnya jumlah anak untuk sekolah yang diakibatkan oleh jarak rumah dengan sekolah yang jauh bisa teratasi. Tidak hanya itu, perbaikan fasilitas sekolah dari tahun ke tahun, pemberian beasiswa, pemasangan jaringan internet menjadi hal positif dalam mendukung pendidikan anak di daerah. Siswa semakin giat bersekolah dan lahirlah kreativitas dan inovasi, hingga mampu meningkatkan angka lulusan sekolah, menurunkan angka buta huruf dan tingkat lulusan pada Perguruan Tinggi (PT) semakin baik. Anak memiliki mental berkompetisi dan lahirlah sarjana- sarjana yang kompoten dibidangnya masing- masing. Mereka menjadi sarjana – sarjana muda yang siap bekerja untuk kemajuan daerahnya.
Merawat Iklim Ilmiah
Perjuangan penuntasan angka buta huruf cukup serius dilakukan pemerintah. UNESCO dalam konferensi para menteri pendidikan tentang Pemberantasan Buta Huruf, di Teheran, Iran, pada 8 sampai 19 September 1965 sampai saat ini oleh Kemendikbud masih tetap menjaga komitemen itu. Pemerintah dari tahun ke tahun terus mengajak seluruh masyarakat untuk peduli terhadap penuntasan buta aksara. Hari Aksara Internasional yang telah digagas bersama itu, hingga kini masih terus dirawat dan diperingati.
Keseriusan memperbaiki kekurangan dalam dunia pendidikan, akan membentuk iklim ilmiah di tengah masyarakat. Hal ini berkorelasi positif dalam peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil Indeks Pembangunan Manusia (IPM) selama peiode 2010-2018 menunjukkan adanya peningkatan IPM. Itu artinya, terjadi peningkatan pada kualitas hidup orang Indonesia. Tentu, ini didukung oleh adanya peningkatan kualitas pendidikan. IPM Indonesia meningkat dari 66,53 pada tahun 2010 menjadi 71,39 pada tahun 2018. Selama periode tersebut, IPM Indonesia rata-rata tumbuh sebesar 0,88 persen per tahun dan meningkat dari level sedang menjadi tinggi mulai tahun 2016. Pada periode 2017-2018, IPM Indonesia tumbuh 0,82 persen. Ini menunjukan bahwa adanya upaya serius seganap pihak dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Semua proses ini secara tidak langsung mampu menuntaskan angka buta huruf.
Melek huruf menjadi hak fundametal dari setiap warga. Maka, upaya untuk menggapainya perlu dilakukan secara serius. Kerja sama lintas komponen terkait akan sangat strategis dalam mendukung kesuksesan dari setiap rencana dan program penutasan angka buta huruf.
Pendidikan warga yang baik membuka peluang seseorang bisa mengalami kemudahan dalam bidang kehidupan lainnya. Pendidikan baik, secara otomatis ekonomi akan mengalami perbaikan, kesehatan terpenuhi dan jaminan akan masa depan hingga masa tua semakin cerah.
Semakin baik penanganan penuntasan buta aksara akan menekan angka putus sekolah, menurunkan angka kematian bayi dan ibu, adanya peningkatan gisi anak, berhasilnya program Keluarga Berencana (KB), hingga mampu meningkatkan partisipasi warga dalam mendukung pembangunan.
Kondisi hari ini terus menunjukan hal positif. Partisipasi masyarakat yang bekerja sama dengan pemerintah dalam menuntaskan buta aksara semakin terbuka. Warga terdorong untuk mendidikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarat (PKBM), pendirian Taman Bacaan Masyarat (TBM), pembentukan komunitas literasi, forum relawan literasi, memberi tanda baik peran warga mengambil bagian dalam menuntaskan angka buta huruf. Kerja sama menjadi kuncinya. Keterbatasan jangkauan pemerintah hingga ke pelosok, terbantu dengan berdirinya PKBM di desa- desa yang memberikan layanan pendidikan Paket A (untuk SD) Paket B (untuk SMP) dan Paket C (Untuk SMA). Kurangnya aparatur pemerintah dalam pendampingan anak untuk membaca dan menulis sedikitnya, dibantu oleh relawan di TBM yang tersebar hingga ke pelosok.
Iklim literasi walau berjalan pelan, kini mulai tumbuh. Kondisi yang ada membutuhkan kerelaan segenap komponen terkait untuk merawat dan melestarikannya. Beberapa pikiran yang dapat penulis sampaikan sebagai bagian dari upaya penuntasan buta aksara diantaranya; Pertama, Gerakan Satu Rumah Satu Sarjana. Gerakan ini mesti perlu dicanangkan sebagai bagian penting dalam upaya bersama memberantas kebodohan, mengentas kemiskinan, dan melahirkan manusia – manusia perubahan yang mampu mengubah dirinya, keluarganya hingga daerah ke arah yang lebih baik. Seorang anak setelah mendapatkan gelar sarjana, kemudian mendapatkan pekerjaan, secara ekonomi keluarga mengalami perbaikan. Mulai ada perbaikan rumah tempat tinggal, suport anggota keluarga untuk sekolah, hingga penyisihan aset dan jaminan masa tua lewat menabung. Pendidikan telah meformat pola pikir warga untuk bergerak ke arah perubahan. Singkatnya, program Gerakan Satu Rumah Satu Sarjana, menjamin adanya peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Kedua ,Gerakan Satu Desa Satu Taman Bacaan Masyarakat. Tidak menyebutkan di semua daerah, tetapi pada daerah – daerah tertentu, misalnya di Kabupaten Flores Timur, Propinsi NTT, kondisi perpustakaan daerah masih jauh dari harapan. Hingga kini, keberadaan gudang ilmu itu belum memberikan pelayanan maksimal. Kondisi gedung yang tidak layak huni, tidak ada tempat baca yang menarik di perpustakaan, jumlah buku yang terbatas, sosialisasi gerakan literasi yang sangat minim menjadi ragam warna tidak berminatnya anak untuk datang membaca di perpustakaan daerah. Solosi alternatif yang bisa ditempuh untuk mendekatkan layanan baca dan membuka ruang bermain dan belajar untuk anak adalah pendirian Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Satu Desa Satu TBM bukanlah hal yang mustahil. Ini hanya membutuhkan kemauan yang keras dan kerelaan untuk memulai. Pemerintah desa dengan ketersediaan anggaran desa yang ada sangat mampu untuk sama- sama mengagas dan menghidupkan TBM di desa. Keberadaan tempat ini menjadi ruang terbuka untuk anak bermain, belajar dan mengahasilkan karya. Ada relawan yang setia mendampingi anak, melahirkan karya dan keterampilan mereka. Dari tempat ini pula lahir prestasi anak, menjadi arena penumbuhan kreativitas dan inovasi serta ladang penyemaian prestasi anak bangsa. Orang tua dan masyarakat pada umumnya turut dilibatkan dalam menyukseskan program membaca dan menulis di TBM. Ada kegiatan rutin yang dijadwalkan, ada relawan yang memiliki latar belakang berbeda, secara sukarela membagikan ilmu dan pengalamannya untuk anak. Bahkan, TBM mampu menjadi tempat untuk meningkatkan perekonomian warga melalui pendampingan menghasilkan karya – karya produktif.
Ketiga, Apresiasi Terhadap Pelaku Penuntasan Buta Aksara. Apresiasi sesungguhnya adalah bentuk penghormatan terhadap karya seseorang. Ini penting selain sebagai upaya menambah energi pada orang untuk terus berkarya, tetapi juga menjadi motivasi bagi para pihak terkait untuk bisa bergerak dan mengambil peran pelayanan pada program yang sama. Semua manusia tentu memiliki talenta dan potensi yang berbeda, olehnya butuh kerja sama, saling mendukung, menguatkan dan menginspirasi melalui karya. Keberhasilan penuntasan buta aksara di suatu wilayah bisa menjadi pembelajaran di daerah lain. Pemberian apresiasi bisa dilakukan pada sebuah forum yang melibatkan perwakilan pelaku literasi se – nusantara, dan terkhususnya lagi pada wilayah –wilayah yang angka buta hurufnya masih diatas angka buta huruf nasional.
Membangun gerakan dalam penuntasan buta aksara membutuhkan kerja sama dan aksi kongkrit di lapangan. Hal ini membutuhkan komitmen dan kerelaan untuk berbagi. Penuntasan buta aksara di Indonesia masih menempuh jalan yang panjang. Mari saling bergandengan tangan, bersama berliterasi untuk hidup yang lebih baik. ***
Maksimus Masan Kian
(Ketua Asosiasi Guru Penulis Indonesia / AGUPENA Cabang Flores Timur)