SMS Bapak
Bapak SMS akan datang ke rumahku, mungkin sekitar pukul enam. Biasanya, ia memang begitu, sejak dia punya Hp dan akrab dengan SMS, jari-jemarinya seakan tak pernah berhenti untuk mengirim berita singkat kepada anak-anak, teman-teman dan familinya. “Aneh ya, Nak, kok sekarang Bapak suka sekali mengirim berita melalui benda canggih ini,” katanya suatu hari. Kali ini SMSnya berbunyi, “Bapak sedang diperjalanan, tolong siapkan kopi susu dan nasi goreng!’ begitu bunyinya.
Aku segera menyiapkan perintahnya. Sambil menunggu kedatangan bapakku, kutekan tombol televisi, pagi itu berita yang hangat tentang pembebasan seorang koruptor yang katanya sedang sakit-sakitan. Berita lainnya kisah seorang bapak dengan sembilan anak yang tengah mengais-ngais sisa-sisa makanan buruh pabrik untuk didaur ulang menjadi makanan bagi anak-anaknya. Hhh…berita yang sangat ironis menurutku. Tapi mau bilang apa, itulah kenyataan yang ada di negara kita yang kaya akan hasil alamnya ini. Koruptor dibebaskan, rakyat jelata makin sengsara.
Bapak kemudian muncul dengan baju batik kesukaannya. Ia tampak segar pagi itu. Di usianya yang ketujuh puluh sembilan, ia masih tempak sehat. Satu-satunya yang bapak keluhkan adalah katarak di mata kanannya. Baru-baru ini ia ke RSCM untuk operasi katarak gratis, namun karena pihak rumahsakit minta surat miskin dan persyaratan lainnya, ia jadi malas. Bapak pulang ke rumah dengan keluh kesah yang tiada henti. “Rumah sakit itu menipu saya, katanya gratis, kok saya harus bayar karcis pendaftaran, bayar pemerikasaan kornea, bayar pemeriksaan air seni, bayar ini, bayar itu, setelah ditotal jumlahnya sama saja dengan pergi ke dokter spesialis mata. Dasar!” gerutunya.
Pagi itu sarapan pesanan bapak sudah siap di meja makan. Bapakku tinggal di rumah adikku yang duda. Karena di rumah adikku tidak ada perempuan dewasa yang bisa mengurusnya, bapakku yang tinggal sekamar dengan adik lelakiku yang masih bujangan, praktis harus mengurus dirinya sendiri. Aku dan suami, jika libur baru menengoknya. Jadi, sarapan pagi berupa kopi susu, setangkup roti dan sepiring nasi goreng sosis buatanku, membuat ia sangat bahagia. “Hah…akhirnya pulih kembali harga diri saya.” Katanya sambil menarik dan mengeluarkan nafas panjang.
“Maksudnya?”
“Saat Bapak lapar, sebagai manusia Bapak berada di tiitk nol. Saat lapar segala khayalan yang jahat-jahat berkecamuk di kepala, kita seperti ingin marah, ingin membunuh, ingin memaki, ingin menyumpah serapahi orang, ingin korupsi, dan banyak keinginan lainnya. Otak serasa kosong, insulin drop, rasanya badan lemas. Nah, setelah masuk makanan di tubuh yang lapar ini, barulah harga diri pulih. Di situ kita bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.”
“Ini ngarang atau beneran, Pak?” selidikku. Biasanya, aku suka menyimak dengan serius setiap kisah yang diucapkan bapak, kadang ada yang benar, kadang ada bagian dari cerpen atau kisah fiksi. Bapakku yang berprofesi sebagai penulis ini kerap memasukkan cerpen dan kenyataan pada garis yang sama dari kisah-kisah yang dituturkannya.
“Tidak, ini sungguhan kok. Coba saja kau tidak makan dua hari, apa yang ada di otakmu?” Bapak memakan semua yang kusiapkan hingga tandas. Tak lama ia mulai bercuap-cuap tentang apa saja yang ada di benaknya.
Yang paling kutakuti jika bapak sudah mulai berkisah tentang filsafat. Aku suka nggak mudeng, artinya, jalinan kisah yang dilontarkan bapak tentang pandangan-pandangan para filsuf, kerap membuatku pusing tujuh keliling. Apalagi bapak mantan guru, jadi jika dia sudah mulai ngoceh tentang pemikiran-pemikiran Immanuel Kant, Albert Camus, Kierkegaard, Paul Tillich, Fueurbach, Moses Hess, Karl Marx dan filsuf-filsuf lainnya, aku perlahan-lahan menghindar, sebelum ocehannya melebar, aku memberi alasan harus segera ke kantor atau beragam alasan lainnya. Sebelum pusingku kian bertambah tujuh keliling lagi, sebaiknya aku diam-diam angkat kaki. Bapak tampaknya paham kalau aku belum bisa menjangkau apa yang diutarakannya. Ia hanya berpesan, “Nak, kalau kau serius hendak menjadi penulis, bacalah buku-buku filsafat dan buku bermutu lainnya.”
Tapi ternyata tidak untuk pagi ini. Bapak tahu aku tidak ke kantor dan inilah kesempatan baginya untuk menambah isi otakku dengan ilmu-ilmu filsafat andalannya. “Duduk dulu di situ, Nak. Kau jangan kemana-mana. Ini penting, apa yang Bapak ucapkan, suatu saat akan sangat berguna buatmu, juga buat negara ini!” perintahnya, persis seperti Bapak Guru Umar Bakrie yang ada dalam imajinasi lagu-lagu Iwan fals.
Maka mau tidak mau, aku dengan daster usang kegemaranku yang sudah robek di beberapa bagian, duduk patuh mendengarkan bapakku ‘berkicau’. Saat itu aku merasa seperti Sophie Amundsend gadis remaja yang menjadi tokoh utama dalam novel filsafat Dunia Sophie karangan Jostein Gaarder. Rasanya filsafat praktis yang dikemas menjadi novel itu, lebih bisa kucerna, dan aku membacanya berulang-ulang saking asyiknya. inilah kisah filsafat yang dituturkan bapakku.
Kendala Absurd
Bapak beranggapan kita hidup di dunia ini menghadapi kendala absurd, absurd di sini berarti kontradiktif dan imposible (ketidakmungkinan). Yang absurd di dunia ini beragam dan yang paling mutlak adalah ajal. Manusia itu sebenarnya lebih sengsara dari ayam, seekor ayam akan terus makan dan dia tidak sadar perlahan-lahan akan mati. Tapi manusia, meski dia hidup kemudian beranak cucu, lalu mencari pekerjaan dan mencari kekayaan, di dalam otaknya tetap terbayang akan datangnya ‘ajal’ itu.
Menurut bapak, jika kita menghibur diri dengan mengatakan, nanti anak atau cucu saya akan menjadi orang top, orang terkenal dan sebagainya, hiburan semacam itu secara tidak langsung menyatakan bahwa kita sudah bermain-main dengan waktu dan ajal. Itu adalah beban kehidupan atau tembok (wall). Kita tidak bisa mengerti meski seberapa pun pintarnya otak kita. Kita tidak tahu apa yang terjadi dengan kendala kontradiktif dan kemustahilan itu. Itulah yang disebut abrsurd walls.
Absurd dalam pandangan bapak, misalnya dia berjalan-jalan di kompleks pelacuran, tiba-tiba dia bertemu dengan seorang nenek tengah memberi susu seorang bayi, lalu muncul seekor kucing, si nenek merasa iba pada si kucing, botol susu yang ada di mulut si bayi kemudian diberikan pada si kucing, dan setelah itu botol susu berpindah lagi ke si bayi, begitu seterusnya hingga susu di botol itu habis. Nah, aktivitas memindahkan botol susu dari mulut bayi ke kucing, bagi bapak merupakan pemandangan yang kontradiktif dan mustahil. Namun itu memang terjadi. Seperti yang sudah disinggung bapak, seekor ayam lebih enak hidupnya daripada manusia, karena manusia tidur seranjang dengan ajal. Kemana pun manusia pergi ajal selalu dekat dengannya. Contoh lagi, seorang ayah yang pagi hari sebelum ke kantor dia pamitan pada isteri dan anak-anaknya,, di perjalanan sebuah truk menabrak kendaraan yang ditumpanginya, ayah itu mati mendadak. Kematian yang mendadak itu sama dengan absurd, jadi ajal itu sangat absurd.
Bapak bilang, alam juga absurd. Manusia mengatakan kembali ke alam akan senang, akan tetapi sebenarnya alam itu liar, di dalamnya sangat berbahaya, dan ini kontradiktif sekali dengan gaung yang sekarang terus bergema untuk kembali kepada alam. Selain alam, manusia memiliki ambang batas kebaikan, sekali kita ajak bercanda dia akan senang, namun setelah itu dia akan marah. Jadi di satu sisi manusia memiliki segi-segi kebinatangan, di samping itu ada sisi in human-nya, itu sebabnya dengan manusia kita juga harus berhati-hati.
Waktu juga bisa menjadi absurd, bisa menjadi menjadi teman dan menjadi musuh. Karena di dalam waktu kita sebagai manusia sadar bahwa suatu waktu akan menerima ajal dan akhirnya menjadi mutlak. Inilah kendala-kendala kehidupan.
Loncatan Iman
Tokoh absurd dari filsafat eksistensialisme adalah Albert Camus. Tokoh lainnya Kierkegaard, Pascal dan beberapa lagi. Perbedaan Kierkegaard dan Camus terletak pada pemahaman mereka tentang absurd. Kierkegaard menganggap ajal hanya sementara, manusia setelah mati akan bangkit kembali, namun bagi Camus, itu hanya loncatan iman. Camus mengkritik Kierkegaard ia tidak percaya akan adanya dunia akhirat, para pengikut Kierkegaard atau orang-orang yang agamais, dituduh Camus bunuh diri secara rohani (metafisik). Bagi Camus, loncatan iman itu sendiri adalah bunuh diri. Camus beranggapan, dengan menjadi fanatik dan ingin masuk surga, manusia tidak lagi pusing dengan kehidupan duniawinya, tidak pusing dengan kehidupan sehari-hari, seperti memperhatikan anak-anaknya, isterinya atau rakyatnya. Pekerjaan kita hanya sembahyang terus menerus, meski orang lain miskin atau sengsara kita tidak peduli. Itu salah satu bahaya dari loncatan iman atau berpikir tentang akhirat seperti yang digambarkan Kierkegaard. Masa depan adalah mengorbankan kehidupan sehari-hari. Bapakku menolak gagasan Camus, menurutnya loncatan iman perlu, supaya selama hidup di dunia ini kita bisa optimis. Sebagai manusia bapak percaya adanya Tuhan dan adanya surga.
Fenomena dan Nomena
Bapak menjelaskan, bahwa menurut Immanuel Kant, Tuhan, Keabadian dan Kemerdekaan itu sudah tertanam dalam diri manusia, ini disebut juga postulat di mana segala hal yang hidup di dalam diri kita sudah tidak bisa dibantah lagi. Tiga postulat yaitu, Tuhan, Kemerdekaan dan Keabadian itu, sudah tertanam di dalam diri kita sebagai manusia. Tuhan itu kita tidak mengerti, tetapi sudah tertanam dan tidak bisa lagi dirubah, itu sudah menjadi kenyataan yang apriori, yang artinya sudah ada di dalam diri kita (think it self). Tuhan menurut Kant bukan fenomena, tapi Tuhan itu nomenon. Contohnya jika jika menyebutkan angka satu dia tetap satu dan itu telah terpatri dalam otak kita, tidak bisa dirubah. Akan tetapi jika satu dtambah dengan buah pisang misalnya, itu adalah fenomena atau apostereori. Pengertian satu bisa dibawa ke mana-mana, tapi kalau satu pisang bisa dipegang dan dirasa, itulah yang disebut fenomena. Satu itu apreori sudah terendap di kepala. Satu Tuhan itu tidak ada bendanya, itu bukan fenomena akan tetapi nomena, jadi satu Tuhan, Kemerdekaan, dan Keabadian semuanya sudah merupakan nomena, sudah berada dalam otak seluruh umat manusia. Contohnya, kita percaya kepada satu Tuhan, Tuhan itu maha penyayang dan penuh cinta kasih, dengan demikian dalam diri kita sudah ada semacam ‘kehendak’ untuk berbuat baik, itu disebut nomena dan itu juga disebut moral.
Imperatif Kategori
Sedangkan fenomena korupsi yang terjadi di berbagai belahan bumi, menurut bapak datangnya dari kecenderungan binatang pada manusia atau hawa nafsu, yaitu hawa nafsu kekuasaan, hawa nafsu seks, hawa nafsu kerakusan dan hawa nafsu lainnya. Naluri-naluri kebinatangan manusia bisa ditantang dengan perintah moral dalam diri manusia yang disebut imperatif kategori. Sebenarnya filsafat itu berpikir tentang pikiran manusia. Dalam sejarah bangsa barat, mereka percaya yang terpenting dalam manusia itu ditentukan oleh pengalamannya. Manusia seperti kertas putih, lalu diisi oleh pengalaman, jiwanya ditulisi pengalaman dan ini yang disebut empiris. Salah satu filsuf empris bernama John Locke, setuju bahwa pengalaman dalam manusia itu penting. Sedangkan Descartes menyanggah pernyataan John Locke, ia menganggap apa yang diucapkan John Locke tidak benar. Menurutnya, saya berpikir maka barulah saya ada, ide-ide pikirian seperti inilah yang penting.
Kaum empiris di Eropa pengaruhnya luas, mereka menentukan pekerjaan dan sebagainya, lalu datang filsuf idealis seperti Descartes, dia tidak memerhatikan empiri, yang dia tekankan hanya ide (berpikirnya) saja. Namun menurt Kant, ide saja tidak lengkap, berpikir harus juga disertai dengan pengalaman. Jadi pengalaman dan pikiran dikawinkan oleh Kant. Dari pengalaman dan pikiran masuk ke ide apriori, lalu bergabung menjadi satu dengan apostereori.
Jadi, menurut bapak, kalau kita mengerti tentang pisang saja, namun lupa akan pemikiran tentang angka satu, berarti orang itu lumpuh. Tapi kalau pikiran saja tidak ada pengalaman orang itu buta, angka satu saja tidak ada pisang berarti dia tidak melihat apa-apa. Tapi Kant mengatakan, kalau angka satu dan pisang digabung, itu baru sesuai. Semua itu berada dalam akal budi teoritis. Di dalam akal budi manusia ada dua bagian, yaitu akal budi teoritis dengan pengertian angka satu dan pengalaman satu pisang. Satunya akal budi praktis, di sini manusia tidak memiliki pengalaman. Bendanya tidak ada dan Tuhan pun tidak ada, yang dipraktekkan. Di situ yang ada hanya moral. Contohnya seperti kita punya kemauan untuk menolong orang, itulah moral.
Alienasi
Menghadapi keadaan di Indonesia, yang gawat bagi bapak adalah, masalah urbanisasi. Urbanisasi itu sama dengan alienasi atau keterasingan dari Firdaus. Alienasi di negara kita sangat ironis. Manusia Indonesia terasing dari bumi subur laut kaya, datang ke kota yang penuh dengan bangunan batu-batu saja, sehingga terjadi pengangguran, kalau di desa, hidup bisa diperoleh dari padi dan sawah. Namun di desa pun saat ini petani mulai terasing dari sawah-sawahnya, karena tanah mereka banyak yang dikuasai oleh tuan tanah, sehingga lambat laun para petani lari ke kota, mencari pekerjaan dan berhadapan dengan batu-batu saja. Mereka akhirnya terasing dari bumi subur dan laut kaya.
Masalah alienasi menurut Marx sumbernya berasal dari kekuasaan kapitalis yang tanpa batas. Kaum kapitalis memeras tenaga buruh untuk kepentingan mereka. Kapitalis memeras tenaga para buruh sehingga mereka tidak memiliki sisa tenaga lagi. Tenaga para buruh sudah teralienasi dari diri mereka sendiri. Marx ingin kapitalis dibunuh saja, dan idenya ini menyebabkan revolusi berdarah di Rusia. Dengan ide-idenya Marx ingin semuanya sama rata, sama rasa dan adil. Manusia yang teralienasi lainnya adalah pelacur. Seorang filsuf bernama Thomas Hess menganalisi bahwa pelacur memiliki seks, seks itu ada di dalam firdaus dirinya. Tapi dengan menjadi pelacur, seksnya terasing ke uang. Jadi dia manusia terasing, orang seperti ini bisa menjadi neurotik dan psikofrenia.
Sedang manusia modern, mereka terasing setelah datang ke kota, mereka hidup dengan setan kota yang namanya urbanisasi. Padahal, jika mau tinggal di desa, seperti di Papua, misalnya, mau makan apa saja sudah tersedia. Hanya saja jika kita menjadi manusia desa, manusia Papua, kita teralienasi oleh otak kita sendiri. Kita tidak memiliki ilmu pengetahuan dan sains. Tugas para ilmuwan di situ adalah memberikan manusia-manusia yang teralienasi dari otaknya itu dengan teknologi dan ilmu pengetahuan. Agar hidup manusia desa, manusia Papua bisa lebih bergizi dan lebih pandai.
Transmigrasi Modern
Solusi untuk terlepas dari alienasi, dalam pandangan bapak, adalah melalui program pemerintah yaitu transmigrasi modern. Transmigrasi model ini harus punya perhitungan, para cendekiawan dikumpulkan untuk dimintai ide-ide mereka, ahli-ahli matematika harus membuat perhitungan kebutuhan maksimal seorang individu itu berapa, hal ini erat kaitannya dengan revolusi moral dan iman. Menurut Paul Tillich, iman itu adalah cinta, cinta itu adalah kerja, dan kita harus punya tujuan dari pekerjaan kita. Tujuan hidup kita adalah kebutuhan maksimal seorang manusia. Jadi untuk bertransmighrasi kita harus membuat perhitungan yang jelas, seperti GNP di sebuah perusahaan umum. Jangan seperti sekarang, kebutuhan maksimal seorang transmigran hanya diberi ikan asin, minyak tanah dua liter dan beras dua puluh liter sudah cukup. Itu tidak relevan. Kalau mau melakukan transmigrasi, buat dulu kebutuhan maksimal, setelah itu baru dilihat kebutuhan lainnya, di buat secara bertingkat. Kerjakan apa yang ada dulu, dengan demikian kita tidak menjadi mahluk yang mengemis-ngemis. Fuerbach bilang, you are what you eat, kau adalah manusia dari apa yang kau makan.
Selain transmigrasi, bapak menyarankan untuk membuat sebuah kelompok peer group, di mana di sana berkumpul teman-teman se ide, sebaya yang saling memberikan masukan dengan berdiskusi dan belajar. Melalui kelompok ini akan tercipta sebuah kampung modern, yang berasal dari beragam ide. Ide itu erat kaitannya dengan industri informasi. Di situ ada event organizer, ada panggung teater, ada kursus menulis, ada pelatihan tari, ada penyuluhan pertanian, ada IT yang bisa mengakses seluruh informasi yang ada di dunia ini. Melalui peer group teman sebaya dan sebakat, kita saling belajar, itulah yang dinamakan pendidikan modern. Sebelumnya pendidikan modern ini sudah diprakarsai oleh Ivan Illich, pendidikan itu dikenal dengan nama deschooling society (pendidikan luar sekolah), jadi kita belajar dari murid dan murid belajar pada kita. “Nah, paham kau Nak dengan apa yang Bapak jelaskan?”
Aku menganggukkan kepala. Hasil obrolan pagi itu, kini bisa kalian baca.
Depok, Agustus 2010