suluhnusa.com_Langit Jakarta masih kelabu. Hujan turun deras semalam. Sisa-sisa air terlihat menggelantung di ujung-ujung daun.
Jalan raya yang membentang di sepanjang Gatot Subroto menuju ke Bandara Soekarno-Hatta, basah dan mengilat mirip kaca. Deretan gedung-gedung pencakar langit berdiri beku dan muram, kabut tipis menutupi kaca-kacanya. Pastinya di dalam sana, sepagi ini belum ada karyawan yang datang. Waktu baru menunjukkan pukul enam pagi pagi. Dingin dan sunyi.
Tara memegang ujung selendang pasmina cokelatnya, menariknya lebih erat, menutup tengkuknya yang mulai terasa dingin. Sopir taksi yang ada di kursi kanan depan, bagai mayat beku, memandang lurus ke arah jalan. Tadi ia menjemput Tara pukul lima pagi. Mungkin dini hari dia sudah bangun, matanya sedikit terpejam. Tara sejenak gelisah, berharap sopir taksi langganannya itu tidak terserang kantuk.
“Jangan lupa terminal keberangkatan pesawat Garuda ya, Pak. Saya selalu ndak ingat terminal berapa,” tegur Tara. Berpuluh kali ia terbang dengan berbagai pesawat ke seluruh pulau di Indonesia dan berpuluh kali pula ia mengelana ke luar negeri, selalu saja ia tak ingat di terminal mana saja pesawat-pesawat itu ngetem.
“Baik, Bu. Kalau Ibu mengantuk, tidur saja. Nanti saya bangunkan,” sahutnya.
Tara tersenyum tipis. Kantuk tak pernah berdusta, termasuk mata sang sopir taksi. Penglihatannya sebisa mungkin dipaksakan untuk terus memelototi jalanan yang berwarna abu-abu tua di hadapannya. Ia kembali memeriksa berkas-berkas instrumen yang ada di dalam tas besarnya. Kusioner pertanyaan sesuai dengan catatan kecil yang ada di dalamnya, semua lengkap. Kamera juga lengkap, semalam baterainya sudah dicharge.
Kemarin dia telah menelpon dua kepala sekolah yang akan didatanginya, satu kepala sekolah bersedia menjemputnya, satu sekolah lagi tidak menjawab dering handphonenya. Palangkaraya, kota ini tujuannya. Di kota yang terletak di tengah provinsi Kalimantan Tengah itu baru sekali ini akan dipijaknya. Ia hanya memonitor dua sekolah, dua-duanya menjadi barometer proses Ujian Nasional yang akan diikuti seluruh siswa Sekolah Menengah Atas se Palangkaraya. Tara lega, satu sekolah tampaknya welcome dengan kedatangannya. Itu berarti ia tidak seperti orang bodoh yang tersesat di belantara masyarakat yang benar-benar asing baginya.
Kisah Sampit yang sempat menghebohkan Indonesia, sekelebat melintas di benaknya. Itu sudah lama berlalu, setahunya keadaan sudah kembali normal, tak ada gejolak signifikan yang membuat jantungnya dag dig dug. “Tenanglah Tara. Keadaan sudah aman.” SMS Korrie di Hp-nya sehari sebelum ia berangkat.
Korrie? Ah, Tara tersenyum tipis. Duda beranak dua itu gembira sekali saat tahu Tara hendak ke kampung halamannya. “Nanti kuajak kau makan ikan Jelawat bakar di restoran terapung di atas sungai Kahayan. Malam hari, kau akan kuantar melihat perahu-perahu kecil yang berseliweran dengan lampu-lampunya yang lamat-lamat dari kejauhan mirip kunang-kunang. Itu perahu klutuk, kau pasti suka bila kuajak naik perahu itu. Petualangan menusuri sungai sangat memompa adrenalin Tara, jeram dan derasnya arus kadang tak bisa kita duga. Aku yakin kau pasti suka, seperti fotomu yang kulihat di Facebook saat berarungjeram di sungai Citarik, Bogor, kau tampak sangat menikmatinya,” SMSnya lagi..
Tara tersenyum tipis. Korrie diam-diam tampaknya memonitor apa yang ia lakukan. Doktor Bahasa Indonesia yang mengajar di Universitas Palangkaraya itu, dikenalnya saat ia mengujungi Pusat Dokumentasi Sastra HB. Jassin.
Tara yang memiliki jadwal rutin seminggu sekali kesitu, terkesiap tatkala Korrie tanpa sungkan-sungkan menyapanya dan mengajaknya bercakap-cakap. Penilaian awal, lelaki itu polos, jenaka dan tulus. Tara suka. Selebihnya, ketika percakapan kian melebar, mata Tara yang jeli mulai melihat, lelaki itu bukan hanya menarik, namun pandai dan memiliki mata yang mengingatkannya pada seseorang. Mata Sammy seolah ada di situ, tajam dan kuat. Tara sangat luluh bila berhadapan dengan mata seperti itu. Sangat! Ia terhenyak ketika membaca kartu nama yang diberikan lelaki itu, Dr. Korrie Gunawan. Tak sampai dua jam, waktu yang cukup singkat itu telah membuat debur di dadanya sejenak berdentam-dentam. Selanjutnya, percakapan tak berujung mulai terjalin melalui SMS. Dan Tara secara bertahap merasa dirinya mulai berada di sebuah ‘permainan rasa’ yang ia sendiri tidak tahu akan bermuara di mana.
Di tengah lamunan yang merambah ke berbagai arah, Tara terhenyak sesaat, sopir taksi memicingkan matanya, tapi ah tidak, Tara yakin ia menyetir mobil sambil sesekali memejamkan mata. Taksi mulai berjalan sedikit zig zag.
“Pak, jangan lupa terminalnya!” suara Tara diperkeras.
“Oh, eh…si…siap, Bu!” sang sopir mengerjapkan mata. Taksi kembali berjalan normal, melintas di jalur kiri jalan. Dan Tara menarik nafas sedikit lega. Ingatan tentang Korrie kini beralih, ada kabut tipis mengambang di pelupuk matanya. Pekat dan berair.
***