
Suara sepeda motor memasuki pekarangan. Aku segera menghentikan kegiatanku menjahit yang semenjak siang menyita perhatianku. Aku sedang membuatkan kebaya untuk anakku satu satunya. Kualihkan pandangan kearah halaman dari jendela yang terbuka. Seorang pemuda turun dari motornya. Rani, anakku keluar dari kamarnya.
“Siapa nak ?” tanyanya. “oh.. itu Beni ma, yang sering aku certain ke mama” lanjutnya lagi sebelum aku sempat menjawab pertanyaannya. Oh.. jadi itu Beni, yang sering dia cerita. Anakku cukup terbuka denganku soal teman temannya bahkan teman dekatnya. Dan Beni sudah cukup lama dekat dengan Rani, hanya saja, Beni bekerja di kota Singaraja, sedangkan kami tinggal di Denpasar, jadi mereka jarang ketemu. Kalau tidak salah mereka sudah kenal selama setahun. Ini kali pertama Beni datang ke rumah.
“Ayo masuk Ben, itu mamaku” Rani mengajak Beni masuk dan memperkenalkannya padaku. Wajahnya manis, khas orang timur, begitu biasa kami, orang Bali menyebut mereka yang berasal dari Nusa Tenggara Timur dan sekitarnya. Perawakannya juga bagus. Kulitnya sawo matang tapi bersih.
“Selamat sore tante” sapanya dengan suara khas. Duh… hatiku terkesiap. Suara itu seperti suara yang sering menyapaku bertahun tahun lalu.
“Ya.. sore nak..” jawabku setelah berhasil kembali dari terkejutku.“Silakan duduk dulu Nak. Rani, suruh dong temennya duduk trus buatkan minum. Nak Beni mau minum apa ?” keramahan seperti biasa sebagai tuan rumah. Ternyata anakku sudah dewasa kini, dia sudah punya pacar, lalu..? ada tanya dalam hatiku, atau tepatnya sebuah ketakutan, ketakutan terhadap kesendirian.
Rani anakku satu satunya, tempat harapan kugantungkan. Kini dia sudah dewasa, kuliahnya bahkan hampir rampung. Tinggal menunggu wisuda. Seminggu yang lalu sudah yudisium dengan prestasi yang membuatku bangga, cum laude. Dia sudah membuatku bahagia, sekarang, sudah waktunya bagi dia untuk membina masa depannya sendiri. Lalu aku ? aku akan duduk sendiri menunggu usia menua dan ajal menjemputku. Ah ketakutan yang kerap menghantui datang lagi.
“Apa saja Tante, air putih juga boleh, heheee…” jawab Beni berseloroh mengumpulkan kembali pikiranku yang tadi menerawang.
“Masa jauh jauh dari Singaraja, cuma disuguhin air putih,” jawabku sambil tersenyum.
Sementara Rani membuat minuman, aku menemani Beni di ruang tamu.
“Nak Beni sudah lama kerja di Singaraja ?” tanyaku
“Sudah hampir setahun Tante,”
“Kerja dimana ?”
“Saya wartawan Singaraja”
“Oh.. wartawan tv toh” degup jantungku bertambah cepat dari biasanya. Bukan karena usiaku yang sudah mendekati pensiun tapi ada sesuatu yang tiba tiba saja berkelebat di depan mataku setelah mendengar jawabanya. Begitu juga saat mata pemuda itu beradu pandang denganku. Mata yang teduh.
Untung Rani segera datang dan aku bisa segera menyingkir, membiarkan mereka berdua ngobrol dengan bebas.
Aku merebahkan tubuhku di atas pembaringan. Punggungku agak terasa sakit mungkin karena seharian duduk menyelesaikan kebaya anakku Rani. Sejak kecil aku terbiasa membuatkan baju terutama kebaya sendiri untuk anakku itu. Selain karena hobi, aku merasa puas saat melihat tubuhnya yang ramping memakai hasil karyaku. Dengan rambut yang ikal mayang, hidung mancung , dia terlihat manis dengan kulit sedikit gelap. Dulu dia sering kesal dengan warna kulitnya itu. Saat jaman SMP, dimana teman sebayanya mendewakan kulit putih. Tapi kunasehati dia, bahwa apa yang diberikan Tuhan itulah yang terbaik, karena kukatakan dia mirip ayahnya. Dan untuk meyakinkan dia, serta menyenangkan hatinya, kuberikan dia sebuah gelang peninggalan ayahnya yang biasa kupakai. “ pakailah Nak, ini peninggalan ayahmu. Kemanapun engkau pergi, dia akan menemanimu.”
Rani tidak pernah mengenal ayahnya atau suamiku. Suamiku sudah meninggal saat dia masih kecil. Masih dalam gendongan. Kayun, suamiku adalah lelaki yang baik. Bahkan sangat baik. Mungkin karenanya ia cepat dipanggil Tuhan, seperti orang bilang. Dia menerimaku apa adanya. Tak peduli dengan keadaanku yang sedang hamil tiga bulan. Dia menganggap Rani sebagai anaknya sendiri. Dan tidak pernah berusaha untuk tahu siapa ayah Rani sebenarnya.
Setelah kami menikah, suamiku berhasil membeli sebuah rumah kecil, yang kini aku tempati. Usahanya sebagai seorang tukang jahit lumayan memberi keuntungan. Akupun membantunya bekerja sebagai tenaga honor di sebuah rumah sakit. Tapi sayang kebahagiaan kami tidak berlangsung lama. Suamiku meninggal kecelakaan saat pergi mencari bahan untuk pesanan pakaian. Nyawanya tidak tertolong. Semenjak itu aku kembali hidup berdua dengan Rani. Yang kupikirkan hanya membesarkan dia tanpa keinginan untuk menikah lagi
“Ma.. Beni mau pulang” suara Rani di depan pintu kamarku, mengejutkanku.
“Ya Nak, sebentar” aku bangun dari tempat tidur dan mendapati mereka berdua di ruang tamu.
“Kok buru buru sekali Nak ? apa harus kembali ke Singaraja hari ini ?”
“Saya kembali besok Tante. Saya akan menjemput Bapa di bandara. Beliau ada urusan di Bali”
“Oh.. begitu, ya sudah hati hati ya Nak..”
“Trimakasih Tante.. “ Beni berpamitan , Rani mengantar sampai di gerbang halaman rumah kami.
Aku memandang mereka dari jauh. Ada rasa bahagia tapi juga rasa sedih.
“gimana ma ?” tanya Rani setelah Beni berlalu
“gimana apanya ?” tanyaku pura pura tidak mengerti.
“Ah.. mama.. bagaimana menurut mama, Beni itu ? Aku kan sudah sering cerita ke mama”
Aku tertawa kecil melihat wajahnya merengut manja, “ Kamu cinta ya sama dia ?”
“Aduh mama… ya lah.. kalau tidak cinta masa aku mau jadi pacarnya .. gimana ma ? serius ma.. bagaimana menurut mama ?”
“ehmmm…anak itu kelihatan baik. Pekerjaan juga ada.. Cuma..” ucapanku menggantung.
“Cuma apa ma ? karena dia beda keyakinan dengan kita ? itu ma ? bukankah kita sudah pernah membahas ini sebelumnya ?”
Benar, sahutku dalam hati. Suka atau tidak , perbedaan keyakinan tetap menjadi sesuatu yang mengganjal dalam sebuah hubungan, bagaimanapun kita berusaha untuk menerima bahwa agama itu sama, sama sama menyembah Tuhan, tapi rasa tetap tidak sama.
“mama ? mama kenapa diam ? mama masih keberatan karena dia Katolik dan kita Hindu ?”
Aku menarik nafas panjang. Berat bagiku menjawab pertanyaan anakku. “Apa kamu yakin Nak? Apa kamu yakin dengan pilihanmu ? Benar mama selalu mengajarkan padamu semenjak kecil, bahwa kita hidup dalam kebhinekaan, dan bagi mama semua agama mengajarkan yang baik, karena itu bagi mama semua agama sama, walaupun menyembah Tuhan dengan nama yang berbeda. Mungkin bagi orang lain prinsip ini salah. “
“Lalu ..?”
“Tapi bagaimanapun, keyakinan memiliki konsekwensi adat dan budaya yang berbeda. Adat dan budaya kita berbeda dengan mereka, apa kamu siap Nak ? Karena seorang perempuan akan mengikuti agama suaminya setelah mereka menikah. Benar , ada yang tetap memilih pada keyakinannya masing masing. Tapi lebih baik untuk hanya ada satu nahkoda dalam satu perahu” aku menatap tepat di bola matanya. Mencoba mencari jawab tentang kesungguhan hatinya.
“mama… untuk apa aku kuliah dan mendapat predikat sangat memuaskan, kalau aku tidak bisa belajar untuk memahami hal itu ? Manusia selalu mampu beradaptasi kalau dia mau belajar ma.”
Dan sekali lagi perdebatan tentang keyakinan malam itu dimenangkan lagi olehnya. Akhirnya aku memang harus menyetujui hubungan mereka. Aku mengakui, dia, anakku jauh lebih berani dari pada aku dulu saat seusia dia. Dan sesuatu yang mengejutkan diungkapkan anakku, bahwa kedatangan ayah Beni adalah hendak melamar putriku satu satunya itu. Ya Tuhan apakah secepat itu aku harus kehilangan anakku ?