suluhnusa.com_Dulu ketika usia saya 10-13 thn sekitar tahun 70-an di rumah saya di Denpasar, Bali, sering datang penulis2 top untuk berdiskusi dgn Ayah saya, Gerson Poyk. Di antaranya Pak Umar Khayam, Pak Leon Agusta, Pak Satyagraha Hoerip, Pak Darmanto Yatman, Pak Sardono W. Kusumo, Pak Selamat Sukirnanto, Ibu pelukis Maria Tjui, Pak Agus Vrisaba, Pak Eric Dajoh, Pak Cok Raka Pemayun, Pak Ami Priyono dll, keluarga kami memang lebih banyak berkecimpung di dunia seni, adik saya Ateng bahkan di tahun 1974 pernah ikut Mas Don (Sardono W. Kusumo) bersama Badung dan Rina, Mbak Retno Maruti, Pak Wayan Dibya, Mas Sentot dll keliling Eropa mempertunjukan tari Bali konteporer yang saat itu cukup menghentak yaitu Dongeng dari Dirah.
Ibu saya juga pernah tergabung dalam kumpulan pelukis Citra di Bali, tiap Minggu para pelukis perempuan itu dipimpin Ibu Kartika Affandi dan Tante Maria Tjui, Ibu Jek (Zakaria adik pelukis realis S. Sudjojono) berdemonstrasi melukis beramai-ramai di tepi Pantai Sanur.
Saya menjadi pengikut dan ikut kemana ke luarga saya pergi dan saya juga menjadi pendengar setia obrolan para seniman besar (yang kala itu saya tidak tahu siapa mereka khususnya kiprah mereka di dunia seni dan sastra Indonesia).
Beberapa penulis akrab dengan saya, mereka menyayangi saya sepertii anak sendiri. Pak Umar Khayam misalnya, jika beliau ke rumah saya dan tidak bertemu dengan Bapak, ia akan berteriak dari motor Jawanya yang besar, memanggil saya dan adik-adik, lalu mengonceng kita semua dan mengajak kita makan di rumah makan Padang di pusat kota Denpasar.
Pak Sardono dan Mbak Amna, kerap mengajak kami keliling alun-alun Puputan, kemudian mengajak kami ke Puri Kerambitan untuk melihat grupnya latihan menari (termasuk adik saya), di sana ada Mbak sukmawati Sukarno, jika malam tiba dan kami tidak bisa balik ke Denpasar, saya ikut bermalam di sana dan tidur bersama Mbak Sukma. Bahkan ketika di antara salah satu penulis ada yg jatuh cinta dengan anak pelukis terkenal Bali, saya yg membawakan suratnya, sang penulis mengupahi saya uang lima perak hehe (saat itu jumlahnya lumayan besar). Di rumah saya juga pernah datang penulis dari Amerika (Hawaii) ia mengontrak rumah di samping rumah kami bersama penulis Pak Darmanto Yatman. Tiap hari saya diajarkan Tai Chi olehnya, dan saya tentunya tidak mengerti kegunaan olahraga yang saya anggap kala itu terlalu ‘lemot’.
Ketika itu mereka bersatu dan penuh persahabatan, malah melebihi hubungan famili sedarah. Dan persahabatan mereka terus langgeng hingga mereka tiada.Bahkan ketika kami tak ada uang utk makan, om Oyik (Satyagraha Hoerip) meminjamkan honornya utk kami dan diganti oleh honor Bapak ketika cerpennya dimuat.
Ibu Titie Said, La Rose, dll adalah penolong setia jika salah satu seniman dalam kesusahan, Bu Titie Said bahkan membayar lebih dahulu honor ayah saya sebelum cerpennya dimuat. Saya melihat kala itu siapa yang lebih dalam hal materi membantu seniman yang susah dengan ketulusan tanpa meminta imbalan balik. Saya selalu mengenang ketika umur 9 tahun tidur beralaskan koran di Balai Budaya bersama Om Nashar (pelukis) ketika dititipkan Bapak.
Om K Usman, Pak Korrie Layun Rampan, Mas Adri Darmadji Woko, hingga kelompok Sanggar Bambu seperti Pak Danarto, Pak Rendra dll mereka saling tahu kehidupan keluarga masing-masing bahkan ketika saya main ke markas om Teguh Karya, beliau menanyakan khabar Bapak dan Ibu saya. saat itu saya terkejut, ternyata Pak Teguh juga tahu tentang kehidupan orangtua saya yang cukup nyentrik ha…
Begitu erat dan langgengnya persahabatan itu, tidak hanya mereka yang tinggal di Jakarta saja, Di Bali pun begitu. Saya kerap datang ke sanggar teater Pak Abu Bakar, di sana saya sering bertemu dengan Pak Ikranagara, Putu Suartama (mantan wartawan Sinar Harapan era 80-an) dan teman-teman teater yang lain, saya memang tidak masuk dalam grup teater itu karena lafal “R” saya yang cadel dan saya ingat Pak Ikra pernah melatih sekejap untuk mengucapkan huruf “R” itu (mungkin beliau sudah lupa), jika saya lapar, tante Mini sang isteri langsung menyuruh saya makan karena ia tahu sepulang sekolah saya pasti kelaparan dan di situ saya biasa meminjam seragam sekolah adik Tante Mini, Minah, jika seragam saya belum dicuci hehe.
Di sini saya gambarkan bahwa yg terjadi di masa itu berbeda sekali dgn sekarang.
Mungkin saya salah hanya melihatnya dari satu sisi, tapi yang mau saya sampaikan bahwa kenangan itu tidak lagi saya temukan saat ini, manusia telah terjajah oleh situasi, politisasi, dan alam yang berkembang dengan cepat (teknologi), sehingga nurani yang semula mereka miliki telah terganti oleh tuntutan hidup, ide-ide dan segala hal yang semuanya manghapus esensi awal dari kehidupan itu sendiri, yaitu persatuan dan kesatuan.
Jika saya salah maafkan, saya juga bukan sok tahu untuk menuliskan ini, ini kisah nyata yang saya jalani hari lepas hari di masa ketika kami tinggal di Bali, status ini juga bukan untuk menunjukkan bahwa saya arogan karena pernah mengenal mereka, namun sebaliknya, saya sangat bahagia dilahirkan sebagai anak seorang seniman yang hidup dalam kesederhanaan dan sampai sekarang seniman itu yaitu ayah saya, masih tetap menganggap unsur ‘kasih’ harus terus dipelihara agar negeri ini tidak porak poranda.
“Ambilah jalan tengah!” itu yang selalu diucapkan ayah saya…salam damai di bumi
(Fanny J. Poyk)