SULUHNUSA, CERPEN.
Aku menikah di usia 31 tahun, usia yang cukup matang untuk membentuk sebuah rumah tangga.
Sayangnya, memasuki tahun ke 5, pernikahanku tak berhasil kupertahankan. Gagal membangun rumah tangga. Tahun 2019, aku memutuskan untuk berpisah setelah mengalami penganiayaan hebat oleh suami yang disaksikan oleh semua warga kompleks rumah.
Empat tahun aku berjuang mempertahankan rumah tanggaku karena alasan anak, walau penuh dengan aroma kekerasan verbal dan fisik. Sejak suami kabur ke kota lain dan tidak pernah menafkahi anak, aku sadar bahwa aku memang harus kuat menjalani kehidupan dan menafkahi anakku, Carissa.
Saat itu, aku berkerja sebagai guru honorer di sebuah sekolah menengah dengan gaji jauh dari layak. Angka yang memaksa kami harus hidup pas-pasan. Tetapi saat itu, aku mendapat pinjaman uang dari orang tuaku untuk membangun rumah sederhana karena kami tak punya rumah.
Dengan susah payah dan kekurangan yang harus aku tambal sulam, akhirnya rumah berhasil dibangun dan kami tempati sekarang.
Saat itu, usia Carissa 4 tahun. Di suatu momen, aku mendapat informasi seleksi Program Pendidikan Guru Penggerak dari Kemdikbudristek RI.
Ini adalah kesempatan baik untuk berjuang sampai di titik aman, setidaknya aku harus menjadi guru ASN agar Carissa mendapat kehidupan yang lebih layak dan aku tidak kesulitan soal biaya pendidikannya nanti.
Memang tidak ada hubungan antara guru penggerak dan ASN tapi saat itu aku berniat penuh untuk menjalani apa yang ada di depan mata. Dengan segala daya yang ada, aku berjuang mendaftarkan diri persis di hari terakhir dan ternyata aku harus melengkapi semua berkas dan menulis sekian banyak essay sesuai ketentuan seleksi.
Jika diingat kembali momen itu, rasanya tidak semua guru sanggup menyelesaikan semuanya hanya dalam setengah hari. Waktu yang aku punya hanya beberapa jam. Hampir menyerah karena terlalu berat, sampai mata berkunang-kunang di depan laptop dan penyakit lambungku kumat. Tanpa ku duga, aku lolos seleksi 2 tahap.
Sedikit ada rasa bangga, bahwa seorang guru honorer sepertiku ternyata mampu lolos dalam seleksi tingkat nasional.
Sesuai aturan, aku dan rekan-rekan yang lolos harus menjalani masa pendidikan selama 9 bulan.
Aku panik karena bisa kubayangkan bagaimana sibuknya aku menjalani masa pendidikan, mengajar di sekolah, dan mengurus Carissa anakku. Berat sekali rasanya harus menjalani semua ini sendirian. Tetapi setelah mempertimbangkan segala hal dari semua sisi, aku akhirnya mengambil keputusan akhir, menitipkan Carissa ke orang tua ku yang berdomisili di pulau seberang.
Artinya, aku harus rela berpisah dengan anakku selama beberapa waktu. Aku sangat sering menangis awalnya, tidak tega, tak kuat menerima kenyataan bahwa aku tak bisa melihat tumbuh kembang anakku di usia dimana seharusnya aku selalu ada bersamanya. Tapi di sisi lain, ini jalan terbaik untuk saat ini, memulai perjuangan dari titik 0 kembali. Carissa akhirnya tinggal bersama orang tua ku. Malam-malam yang terasa sangat berat tanpa Carissa.
Setiap hari Sabtu, dengan sepeda motor aku wajib nyebrang ke rumah orang tua untuk menjenguk Carissa, sesibuk apapun karena harus tidur bersama, mendengar ceritanya dan mendongengkan dia. Pada setiap pertemuan kami, aku tak pernah alpa menjelaskan kenapa kami harus bisa melewati semua ini.
Aku memintanya mendoakanku agar semua perjuanganku membuahkan hasil baik. Aku tak pernah akan berangkat jika Carissa belum melepas kepergianku dengan tenang. Kadang aku sampai kemalaman di jalan yang harus kutempuh 3 jam, hanya untuk menenangkannya agar rela membiarkanku kembali ke tempat tugas.
Sering aku menangis di atas sepeda motor bututku, mengapa di usia sekecil ini, Carissa harus melewati hidup, tumbuh dan berkembang tanpa bapak juga ibu. Itu menyakitkan. Waktu berlalu dan kami terbiasa walau lelah jiwa dan raga. Sialnya, pandemi Covid 19 melanda dan kami tak bisa bertemu sekian lama. Hancur sekali rasanya, tapi siapa yang peduli? Semua orang hanya melihat diriku yang selalu riang dan tertawa, tanpa tahu apalagi paham akan semua gejolak batin yang terus mendekap.
Carissa akhirnya harus sekolah TKK di tempat orang tuaku. Setelah menyelesaikan masa pendidikan guru penggerak, perjuangan kembali dilanjutkan karena diundang menempuh pendidikan profesi guru. Walaupun masih berstatus honorer, setidaknya bisa terbantu dengan sertifikasi untuk menopang kehidupan kami.
Berkat Tuhan benar-benar aku rasakan dalam setiap jengkal perjuanganku saat itu. Aku kembali mengikuti seleksi School Leadership Workshop, program pendidikan kerja sama Kemdikbudristek RI dan NIE Singapura, bersama para guru penggerak se Indonesia dan aku lolos mewakili propinsi NTT ke Jakarta. Setelah kembali, aku lulus seleksi dan menjalani peran sebagai pengajar praktik selama 6 bulan.
Setelah menyandang predikat guru penggerak, guru tersertifikasi, dan pengajar praktik, di tahun 2023 lalu, aku akhirnya berhasil lolos menjadi guru ASN PPPK. Di sana letak titik aman kami. Tuhan tidak hanya memberi secukupnya, Ia bahkan memberi lebih banyak dari yang aku minta. Juli 2023 aku mengurus semua berkas sekolah Carissa dan kembali menetap bersamaku.
Saat ini kami berdua hidup bersama di rumah yang aku bangun dengan keringat dan cucuran air mata dalam kesendirian. Banyak hal yang hilang pada masa kecil Carissa hingga berdampak pada mental dan keberanian untuk mengekspresikan dirinya. Ini menjadi tugas utama bagiku saat ini akibat keputusan besar yang terpaksa aku ambil beberapa tahun lalu.
Perlahan tapi pasti, di tangan dan dalam dekapanku, rasa percaya diri Carissa mulai nampak. Aku sadar sepenuhnya, sebanyak apapun kelemahan dan kekurangan pribadiku, anakku sungguh membutuhkan aku dan kehadiranku yang utuh dan nyata. Saatnya aku membayar semua utang budi atas segala bentuk doa, penguatan dan kesabaran Carissa untukku selama 3 tahun berpisah dan berjuang bersama. Walaupun aku sadar, tantangan hidup masih terus ada ke depannya untuk kami, namun aku percaya kami mampu melewati gerimis karena pernah mengalahkan badai. Carissa anakku yang hebat telah berhasil membuatku setangguh ini.+++