suluhnusa.com_“Lima tahun lagi aku akan kembali, setelah itu kita menikah, sepotong pesan yang kusampaikan buat Erlina pada hari ulang tahunnya.”
Ribuan kisah telah datang dan pergi dalam pilihan waktu yang aku hidupi dengan Erlina, kekasihku. Tanpa terasa pilihan waktu itu sudah membenam baris-baris rindu dalam sejarah lima musim. Musim pertama adalah kisah awal kami saling mengetuk relung jiwa dengan sepotong rasa lalu memilih setuju sebagai jawabannya.
Musim ini telah membuat kami berdua berkelana membagi sayang lewat tukar-menukar sajak, dan memang Erlina kekasihku itu seorang pujangga muda. Waktu terus bergantian di setiap ruang-ruang gerak hidup kami. Sering kami harus mengubah rupa rindu kami dengan hilang sesaat dari kabar waktu sebagaimana biasa kami saling berbasa-basi via telephone.
Kendati kisah yang hadir dalam musim ini tak nyata dalam bentuk empat mata, aku terus-menerus memupuk rindu dari kejauhan sebagai bukti cintaku buat Erlina. Awal kisah yang kami rajut di musim pertama bagiku sebuah berkah terindah dalam menyemai benih-benih kesetiaan di balik profesi. Bagiku Erlina adalah sosok wanita yang penuh perhatian lagi tulus. Bahkan sering dia harus menitip kado buatku jika ada moment-moment khusus yang hadir dalam musim ini. Aku percaya sungguh jika kado yang sering ia kirim adalah hasil jerih lelahnya sebab kami masih di titian takdir yang sama sebagai perantau.
Rasa untuk memiliki masih jauh tersembunyi dalam jarak yang hanya kami gadai pada musim-musim yang gelisah. Namun perasaan demikian tidak menyurutkan mata jiwa kami untuk menerawang memeluk kesetian di balik janji musim pertama. “Lima tahun lagi aku akan kembali, setelah itu kita menikah,” sepotong pesan yang kusampaikan buat Erlina pada hari ulang tahunnya.
Aku begitu yakin pesan singkat ini di mata kekasihku mungkin dianggap sebatas angin lalu sebab batas keberadaan di antara kami terus melebar. Meskipun demikian, satu keyakinan awal yang memburu di relung jiwaku sebelum mengirim pesan adalah agar Erlina bisa kuat dan setia menanggung perasaan dan tak jenuh menawarnya kepada musim waktu yang lain. Aku yakin pula bahwa Erlina dapat menemukan dahaga baru setelah menyimak pesan singkat dariku.
Musim pertama ini seolah menghadirkan hanya sebagaian rupa kenangan yang pernah kami lewati di salah satu kota tempat kami hadir sebagai pewaris-pewaris garis tangan orangtua yakni perantau. Kota tempat kami menukar hati lalu memilih setuju sebagai jawabannya.
Musim pertama yang mengukir kisah singkat antara kami berdua pelan-pelan kami lupakan namun dengan satu janji kekal. Kami lalu datang dengan rupa kisah yang sama dan melebur dalam musim kedua. Rentetan kisah singkat yang pernah hadir di musim pertama perlahan mendorong jiwaku untuk kuat berjuang. Berjuang untuk terus-menerus membahagiakan kekasihku walau dari kejauhan pulau. Kerinduan yang selalu muncul di kepala malam kami kini kami arahkan untuk kabar waktu yang cerah. Kabar waktu yang akan merekam jejak-jejak profesi kami.
Sebagai seorang penulis yang masih di garis pemula aku harus berjuang ekstra demi menjamin kepercayaan kepada kantor redaksi yang telah merekrut talentaku sejak awal. Sementara Erlina adalah seorang pujangga muda yang telah banyak berpengalaman dalam dunia tulis-menulis. Musim waktu kedua ini terasa gemanya lebih mengawan di langit jiwa kami sebab banyak kisah kasih kami bagikan hanya demi nasib dan profesi di antara kami.
Dengan rendah hati aku terus-menerus belajar pada kekasih bagaimana cara meramu kata hingga menumpukknya pada alur-alur kalimat yang indah. Sering kami saling bertengkar ide di saat tafsiran kami tak sejalan sistem.
Namun masalah itu hanya secuil kelemahan yang harus datang dalam hidup manusia. Musim kedua yang menyimpan kisah perjuangan itu kami abadikan pada setiap sajak yang kami hasilkan dalam media-media yang telah menjalin kontrak dengan kami. Bahkan jerih lelah itu sering memberi kami sepeser rupiah demi menghidupi nasib sebagai perantau. Kami berdua saling bertukar ide hingga sepakat pada satu janji abadi. Bahwa kami akan tetap berjuang menabur asa sebab tiga musim tersisa itu masih jauh dan belum cukup kami bayar dengan segera.
Akhirnya musim kedua yang datang itu belum sanggup mempersatukan keberadaanku dengan Erlina. Kami terus saling merindukan dari kejauhan sambil teguh memegang janji bahwa pada akhirnya kami berdua harus bisa membayar janji musim kelima. Erlina yang sudah berpengalaman dalam dunia jurnalistik membuatnya begitu puitis meramu kata dalam sajak-sajak. Pernah pada suatu awal bulan, Erlina menulis sepotong sajak buatku saat aku merayakan hari ulang tahunku.
Sajak itu ia tulis demikian.
“Buatmu yang sudah hadir bagai sajak, teruntuk lelaki bermata syair, di pulau jauh.”
Aku ingin sekali meneguk rupa senyumu di cawan malamku
Biar aku kenyang dengan tawa dan tak lagi sedih
Kutahu dua musim akan segera pergi
Namun janji itu adalah kata pertama yang mestinya kita bayar pada musim?”
Pada dinding langit jiwaku seketika luruh ribuan kata dan seolah-olah mati suri. Sebab sajak dari Erlina bagiku adalah sebuah wakil jiwanya yang tak sabar lagi menanggung beban perasaan. Apalagi setelah kusimak secara teliti kutemukan sebuah pertanyaan hatinya yang sungguh-sungguh menyita empatiku.
Sejenak terlintas di kepalaku bahwa aku sudah berutang budi buatnya, yakni utang janji. Musim kedua ini segera pergi diakhiri dengan sepotong sajak yang kuterima dari kekasihku Erlina. Musim kedua segera menggiring rasa suka-duka kami menuju musim ketiga.
Aku mencoba mengawali kisah di awal musim ketiga dengan sebuah pesan balasan buat kekasihku. Setelah melewati beberapa pekan kerjaku di musim ini, aku akhirnya memilih mengirim pesan buat kekasihku namun dalam rupa yang sama, yakni sajak. Yang sedikit berbeda dari pesan kekasihku adalah bahwa pesan dalam bentuk sajak yang akan kukirim kububuhkan dengan tulisan tangan.
Motivasi awal ini lahir dari permenungan diri bahwa lewat lukisan tangan, kekasihku akan lebih terobati rindunya dan semakin mengenal karakter kepribadianku. Sebab aku ingin kami berdua tak mau jadi korban teknologi semata.
Pesan dalam bentuk sajak itu demikian.
“Kupanggilmu dalam sajakku, biar kata hatimu tahu ke mana musim itu segera tiba di kepala kita.Teruntuk wanita behati sajak, di pulau-pulau biru.”
“Aku telah membaca sajak hatimu di musim kedua
Dan yang kutemukan adalah runyam jiwamu dalam penantian panjang
Aku ingin kita kembali kepada janji
Dengan rupa jiwa yang sama menanti musim kelima.”
Itulah sepotong sajak balasan yang kukirim buat Erlina di awal musim ketiga. Berharap ia dengan lapang hati menerima keberadaan kami yang masih setia dikurung oleh jarak. Hampir dalam setiap jeda waktu yang lewat di musim ini diwarnai dengan berbagai pertanyaan dari kekasihku.
Kusimak via telephone bahwa ia begitu gelisah menanti musim sisa itu. Satu kegelisahan terbesar yang muncul dari hatinya adalah takut kehilangan janji yang kemudian mempersatukan kami sebagai penerus Eden tersisa di dunia.
Tak mudah terpengaruh dengan situasi aku berpikir bijaksana untuk meyakinkan hatinya. Dengan segala cara aku mulai membawanya pada sejuta hayalan yang membahagiakan. Kuceritakan bagaimana suasana kehidupan kami kelak jika sudah diikat dalam Nikah suci. Sesekali kedengar Erlina mengeluarkan suara lewat tawa-tawa kecil.
Sejenak kuberpikir bahwa Erlina tak mudah untuk beralih hati. Kami melewati basa-basi via telephone itu dengan menyegarkan kembali tentang ingatan akan janji awal kami. Aku begitu bangga pada kekasihku, sebab ia masih merekam penuh kisah-kisah kecil yang pernah tercecer pada dua musim sebelumnya.
Meski banyak janji yang kami impikan, namun sedikitpun tak menyurutkan jiwa kami untuk melupakan profesi. Sebab bagi kami garis tangan Tuhan yang sejak semula kami terima adalah bukti jawaban hati kami dalam menamakan rupa dunia kami, bahkan orang lain sekalipun. Kami lalu mengambil keputusan untuk merajut janji serius tentang usaha kami. Kami berdua sepakat kalau sedikit penghasilan dari kerja itu kami tabung sebagai persiapan untuk masa depan, khususnya membayar janji pada musim kelima. Akhirnya kami memutuskan untuk mengalihkan duapuluh persen dari gaji kerja kami untuk ditabung.
Kami berdua yakin jika cara demikian berjalan lancar tentu membuahkan rejeki cukup untuk kebahagian kami kelak. Semua kesepakatan ini kelihatan begitu mulia, namun semua itu masih dalam batas benak yang tersembunyi pada pulau-pulau berbeda. Janji mulia yang kami ciptakan di musim ketiga akhirnya pergi juga. Meninggalkan pesan dan kesan yang memotivasi jiwa kami.
Kami lalu merajut kisah menuju musim keempat.
Kebahagiaan seketika merekah di awal musim ini. Musim yang bagi kami adalah jalan terakhir yang akan menuntun langkah kami menginjak tapak-tapak musim kelima. Setiap awal dan akhir pekan adalah jadwal tetap bagi kami dalam membagi perasaan. Jejak langkah kami untuk memutuskan semakin terasa. Sesekali kusimak bagaimana nada suara Erlina begitu riuh di telinga. Ia begitu bahagia sebab lagi semusim kami akan segera membayar waktu itu dengan rindu-rindu yang telah kami simpan pada empat musim sebelumnya.
Melewati musim ini dengan suasana yang lain dari empat musim sebelumnya. Bahkan kami sering bergurau melampaui batas waktu dari sebagian kerja kami. Erlina meminta padaku untuk tidak membebankan perasaan dengan memikirkan tuntutan keluarganya kelak.
Bagi Erlina, hal terpenting adalah hati yang tulus untuk menerima dirinya apa adanya dan tak perlu berkhianat pada janji. Aku begitu terpukau menyimak pernyataan dari kekasihku. Kata-kata musim keempat yang bagiku semacam rubayat yang kutemukan dalam tulisan-tulisan kuno. Tanpa terasa waktu musim keempat akhirnya berlalu singkat. Sesingkat musim kedua yang pernah diisi dengan pesan sajak dari kekasihku. Aku bangga pula bahwa dalam musim ini aku mengerti betapa hati kekasihku sudah mengerti isi hatiku yang kutulis buatnya di musim ketiga. Musim keempat pun berlalu.
Sejuta kisah sedang berlarian mencari muara. Tempat segala janji dan rupa rindu itu menyatu dalam kenyataan . Dan muara itu adalah musim kelima yang menjadi jalan pulang aku dan kekasihku menemukan rindu, janji, bahkan sumpah-serapah jiwa kami berdua. Pada awal musim yang penuh misterius ini kulalui dengan hati yang sabar penuh ketelitian. Agar aku tak mudah terjebak pada keputusan yang salah.
Kuawali musim ini dengan satu pemintaan sederhana buat Erlina. Tuntutan tentu tak menjadi beban baru sebab kami berdua telah memetakannya secara rapih dalam benak. Permintaanku kurangkai dalam sepucuk surat demikian.
“Musim kelima sudah tiba, janji sudah tiba, rindu sudah tiba, aku ingin kita segera pulang. Pulang ke pulau bunga kota tempat kita pernah bersujud syukur dengan baris-baris lilin di jalan-jalan. Aku ingin musim ini kita bayar bertepatan dengan prosesi sakral yang sesaat lagi kita lalui. Agar kita bisa memperoleh berkat dan bukan kutuk. Awal bulan ini aku segera kembali dan aku harap agar setibanya di kota itu aku sudah melihatmu berdiri dengan tangan terbuka menerimaku. Aku yakin animo jiwamu jauh lebih membumi untuk mengikat janji bahkan sumpah. Segeralah kembali, kembali ke kota kita sebab janji sudah tiba, musim telah tiba, dan rindu pun sudah tiba.” Salam sahabatmu..,
Tiga hari berlalu tanpa kabar. Kuyakin kekasihku sedang mempersiapkan segala sesuatu untuk kembali ke kota kami. Tepatnya pada tahun kelima awal bulan yang kelima kami berdua menginjakkan kaki secara bersamaan untuk kembali ke kota itu. Kami akhirnya bertemu dalam suasana yang tak di sangka-sangka. Memang segala nasib hidup itu direncanakan oleh manusia namun ditentukan oleh Tuhan. Spontan kami berpelukan mesra sambil saling menatap tajam.
“Berharap tidak ada noda yang Erlina bawa buatku di musim terakhir ini, gumamku.” Secuil kekuatiran itu hilang seketika. Sementara suasana jiwa hanya dipenuhi dengan rasa suka mengawan langit. Bertepatan di depan Bandara itu tersedia pantai wisata yang indah yang didesain dengan hamparan pasir putih. Kucoba berbisik pada kekasihku dan mengajaknya melepas rasa rindu kami di pelataran pantai itu. Banyak kerinduan terobati seketika.
Laksana romansa dalam balutan rindu, itulah kisah kami saat itu. Sesekali kutatap langit siang dengan senyum kecil-kecil sembari mengucap rasa syukur untuk Tuhan yang telah mempertemukan rupa rinduku dengan kekasihku.
Sementara kekasihku Erlina karena saking bahagianya hampir sukar mengeluarkan kata-kata dalam alur pembicaraan yang panjang. Namun, aku terus-menerus memaksanya untuk bercerita bebas dan mengungkapkan perasaan rindunya. Titik terakhir dari letupan gelombang laut siang membawa kami seolah menuju ke musim pertama, musim di mana aku membuat janji tentang kisah yang sedang nyata kami lalui siang itu.
Kukeluarkan semua persiapan yang kubawa untuk Erlina.
Sebuah payung, selembar kain latar berwarna putih, dan gaun yang juga putih dipoles manik-manik keemasan. Tak sabar kubentangkan latar kain itu pada pasir lalu kuminta Erlina untuk mengenakan gaun bawaanku. Erlina begitu setia menuruti permintaanku hingga payung pun ia sendiri membentangkannya.
Mata hatiku bercahaya layaknya mutiara ditimpah cahaya. Aku bahagia ketika kusaksikan gaun itu telah membuat kekasih berubah rupa layaknya seorang ratu dunia. Dengan segala perasaan yang mendalam ditambah luapan rindu yang menggelora Erlina kemudian menarik tubuhku lalu merebahkannya dengan manja di pangkuannya. Sekarang rupa wajahku digolek mentari dan senyum manis kekasihku.
Aku harus menantang warna langit siang yang cerah. Sesekali kugenggam pasir putih lalu menjatuhkannya sebagai cara untuk menghidupkan suasana. Kemesraan itu kami rajut hingga senja hari, saat dentang lonceng pertama doa malaikat agung di kotaku didaraskan. Kami lalu membuat janji dan mengambil sumpah bahwa dalam tahun kelima ini kami akan menikah.
Saat itu aku tersadar bahwa janjiku di musim pertama akhirnya tuntas terjawab. Kami lalu sepakat untuk kembali sambil menentukan tanggal pernikahan kami. Sambil saling menatap di pertengahan jalan kami saling berujar penuh menamba“ Ingat ! “Janji Di Pasir Putih.”
Awal Maret, 2016
Yandris Tolan.
Penikmat Sastra Tinggal di Paroki Mamsena-
Kecamatan Insana Barat-TTU.