suluhnusa.com – Secara nasional Nusa Tenggara Timur masuk dalam wilayah rawan bencana alam. Sebab, Secara Georgafis, Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng benua Asia, lempeng benua Australia, lempeng samudra Hindia, dan lempeng samudra Pasifik.
Lembata sebagai salah satu pulau di NTT, termasuk daerah rawan bencana. Pada bagian selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik yang memanjang dari pulau Sumatera-Jawa-Nusa tenggara- Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan daratan rendah yang sebagian di dominasi oleh rawa-rawa. Kondisi tersebut sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor.
Gempa bumi yang di sebabkan oleh interaksi lempeng tektonik dapat menimbulkan gelombang pasang apabila terjadi di samudra. Dengan wilayah yang sangat di pengaruhi oleh penggerak lempeng tektonik ini, Indonesia sering mengalami Tsunami.
Tsunami yang terjadi di Indonesia sebagian besar di sebabkan oleh gempa-gempa tektonik di sepanjang daerah subduksi dan daerah seismic aktif lainnya. Wilayah pantai di Indonesia merupakan wilayah yang rawan terjadi bencana tsunami terutama pantai barat Sumatra, pantai selat pulau jawa, pantai selat dan utara pulau-pulau Nusa tenggara, pulau-pulau di Maluku, pantai utara Irian jaya dan hamper seluruh pantai di Sulawesi. Daerah Maluku adalah daerah yang rawan bencana Tsunami.
Kebanyakan gempa bumi disebabkan dari pelepasan energi yang dihasilkan oleh tekanan yang dilakukan oleh lempengan yang bergerak. Semakin lama tekanan itu kian membesar dan akhirnya mencapai pada keadaan dimana tekanan tersebut tidak dapat ditahan lagi oleh pinggiran lempengan. Pada saat itulah gempa bumi akan terjadi. Gempa bumi biasanya terjadi di perbatasan lempengan-lepengan tersebut. Gempa bumi yang paling parah biasanya terjadi di perbatasan lempengan.
Beberapa gempa bumi lain juga dapat terjadi karena pergerakan magma magma di dalam gunung berapi. Gempa bumi seperti itu dapat menjadi gejala akan terjadinya letusan gunung berapi.
Hal ini disampaikan Muhammad Thamrin, Progam Area Manager Plan International Indonesia PA Lembata melalui press reales program Resilent Island besutan Plan Internasional kepada media ini, 9 Agustus 2017.
Thamrin dalam realese yang disampaikan Communication Specialist Plan Internasiona Area Lembata, Tari Pujiwati, sejarah di Pulau Lembata sendiri juga telah membuktikan bahwa telah terjadi tsunami pada tahun 1979 yang lalu di Desa Waiteba dan sekitarnya, yang menelan korban jiwa sedikitnya 500 orang, kerugian harta benda serta sumber-sumber penghidupan masyarakat.
Untuk itu, Plan Internasional Program Area lembata sejak beberapa tahun terakhir melaksanakan program ketangguhan pulau dan pengurangan resiko bencana (resillent island) di Kabupaten Lembata.
Hal ini terterah dalam dokumen rencana kontijensi desa dan kegiatan simulasi kesiap-siagaan bencana yang dilakukan sepanjang Bulan Agustus hingga September 2017 oleh seluruh masyarakat desa dengan pilot project sebanyak 10 desa dari dari 89 desa di Lembata yang terletak di pesisir pantai. Sekedar, jumlah keseluruhan desa di Lembata sebanyak 147 desa.
Sepuluh desa pesisir di Lembata yang menjadi pilot project adalah Desa Lamagute, Lamawolo, Jontona (Kecamatan Ile Ape Timur), Napasabok, Amakaka (Kecamatan Ile Ape), Hadakewa (Kecamatan Lebatukan), Mampir, Leuwohung, Bareng (Kecamatan Buyasuri) dan Desa Wailolong (Kecamatan Omesuri) menyatakan diri sebagai desa yang siap menghadapi bencana.
Dengan kondisi 89 desa/kelurahan dari 147 desa/kelurahan yang terletak di pesisir pantai dan berada dekat dengan gunung berapi yang masih aktif yakni Ile Lewotolok, Ile Werun (Gripe), Ile Hobal (Tengah laut) dan Ile Batutara, Kabupaten Lembata menjadi kabupaten yang rawan bencana gempa bumi vulkanik dan tsunami.
“Melalui kegiatan simulasi kesiap-siagaan ini, masyarakat akan menyadari, mempersiapkan diri dan memaksimalkan kapasitas yang ada pada mereka, untuk meningkatkan kesiap-siagaan masyarakat dalam menghadapi bencana sehingga dapat mengurangi risiko kehilangan nyawa dan harta benda,” kata Muhammad Thamrin.
Menurut Thamrin, Tim Siaga Bencana desa pada khususnya dan masyarakat pada umumnya harus juga memiliki pemahaman dan pengetahuan dalam memanfaatkan material keselamatan saat situasi kedaruratan seperti jalur evakuasi dan titik kumpul serta memiliki fasilitas pendukung seperti tenda kompi yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat perlindungan.
Ini akan dilakukan dalam kegiatan simulasi kesiap-siagaan di desa. Kegiatan simulasi kesiap-siagaan ini melibatkan Tim Siaga Bencana (TSB) Desa, TSB Sekolah, dan masyarakat desa, dengan dibantu oleh YBS, BPBD Kabupaten Lembata, Forum Pengurangan Risiko Bencana Lembata, dan TNI sebagai fasilitator.
Kegiatan ini bertujuan untuk Menguji coba rencana kontijensi yang sudah disusun bersama di tingkat desa, termasuk skenario keadaan darurat desa dan menguji coba peran Tim Siaga Bencana di desa, sesuai dengan regu-regu yang sudah dibentuk dan dilatih. Selain itu juga untuk melatih masyarakat mengetahui tata cara penyelamatan diri pada saat kejadian bencana gempa bumi dan tsunami yang terjadi di desa.
Pada kesempatan ini pula, Plan International Indonesia menyerahkan bantuan peralatan kesiapsiagaan yang sangat penting fungsinya bila bencana terjadi termasuk tenda keselamatan sebagai asset Tim Siaga Bencana di desa. ***
[sandrowangak]