suluhnusa.com_Wanita Pekerja Seks, (WTS) adalah juga manusia. Sebab mereka hidup dan bernafkah. Karena bernafkah inilah mereka mesti bekerja. Bekerja sebagai WTS adalahpekerjaan menjajakan tubuh diri sendiri demi uang. Itu adalah hak, hak seseorang yang telah terpuruk dan tidak tahu harus menjual apa lagi selain tubuhnya sendiri untuk sekadar bisa makan. Tidak tahu harus berbuat apalagi untuk menyambung hidup. Ketika kita mengutuk para pelacur, kita tidak berpikir untuk membebaskan mereka, malah semakin dalam mengubur mereka.
Menjajakan tubuh adalah juga kewajiban. Kewajiban dari suami mereka yang pengangguran. Kewajiban dari diri sendiri untuk menyelenggarakan kehidupan. Kewajiban untuk hidup. Untuk hidup. Ketika urusan hidup tidak bisa ditawar, maka mereka merasa wajib untuk mencari jalan keluar hidup merek-mencari uang. Ini adalah klasik tetapi nyata terjadi.
Saat ini, beberapa lokalisasi di Denpasar, Sanur dan Padanggalak meruakan lokasi terbesar di Kota Denpasar. Soal kesehatan WTS-nya dikontrol dengan baik oleh LSM Penanggulangan HIV/AIDS. Yang sulit dikontrol bila tejadi sistem barter (tukar barang dengan barang) WTS antarlokalisasi. ”Biasa kan pelanggannya pasti nyari barang (PSK) baru. Untuk menyiasati kondisi ini, para germo kerja sama dan saling tukar PSK,” ujarnya.
Salah satu germo di Sanur berinisial OW, Jumat, 11 Oktober 2013. Belasan tahun dia jadi germo, lokalisasinya terus dipantau dan diawasi salah satu yayasan penanggulangan HIV/AIDS. Jadwalnya rutin setiap dua minggu sekali. Semua WTS diperiksa dan diberi obat, tambah OW, didampingi rekannya, AF.
Menurut OW, akhir-akhir ini bisnis haramnya ini mulai sepi. Selain banyak saingan, WTS-nya tidak disiplin. Kadang-kadang nyambi di lokalisasi lainnya.
”Yang bikin repot banyak WTS yang menghidupi pacarnya. Itu kan perlu uang banyak, makanya mereka cenderung ke lokalisasi yang ramai,”ujarnya.
Sedangkan menurut AF, pemeriksaan kesehatan memang rutin dilakukan di lokalisasi wilayah Sanur. Hal itu dilakukan untuk mengindari PSK kena HIV. ”Kalau satu kena, kan bisa menyebar. Bisa-bisa semua WTS di Sanur kena. Ini yang diantisipasi pemilik lokalisasi. Pemeriksaan itu kan gratis, jadi tidak ada masalah,” tegas AF.
Bagaimana dengan sistem barter? AK mengakui adanya sistem tersebut. Sistem itu dilakukan supaya pendapatan bertambah karena WTS-nya terus ganti. ”Yang kami tidak tahu, apakah WTS di tempat lain diperiksa juga? Ini yang jadi masalah. Apalagi barter itu terjadi setiap saat. Misalnya di kompleks A banyak tamu tapi WTS sedikit, maka WTS di kompleks B didrop ke sana. Barter ini sering terjadi,” ujarnya.
Bagaimana dengan indikasi WTS wilayah Jatim masuk Bali? ”Saya belum tahu informasi itu. Ya, kalau mereka mau masuk ke lokalisasi yang sudah ada, tidak masalah. Tapi kalau mereka berkeliaran di mana-mana, itu masalah besar karena tidak bisa dikontrol,” kata OW.
Ini soal, Laras, 25 tahun, (bukan nama sebenarnya) seorang PSK, asal Banyuwangi Jawa Timur biasa mangkal di jalan Danau Tempe, Sanur, mengungkapkan dirinya datang ke Sanur, di Jalan Danau Tempe, pada siang hari. Bekerja menjajakan tubuh semalam suntuk, dan pagi hari pulang kembali ke Banyuwangi.
Ongkos pun murah. Tidak sampai 100 ribu. Bahkan kadang dirinya menggunakan sepeda motor. Menurut pengakuan Laras, bukan hanya dirinya saja yang berlaku demikian ada beberapa teman-temannya juga. “Kami sekitar 20-an orang,” ungkapnya.
Memang, Wanita Tuna Susila (WTS) dari Jawa saat ini menyerbu Bali. Patut diwaspadai. Tetapi kewaspadaan ini luput sebab sistem pengamanan di pintu masuk Pelabuhan Gilimanuk, ibarat patuh di muka, putar di belakang. (sandro wangak)