MEDIA WLN – Dosakah yang dia kerjakan / /Sucikah mereka yang datang // Kadang dia tersenyum dalam tangis // Kadang dia menangis di dalam senyuman.
Sudarwati, yang populer dengan nama Titiek Puspa, mencipta dan menyanyikan lagu berjudul ‘Kupu-kupu Malam’ itu pada tahun 1976. Membahas isu ini hingga kini masih dan akan selalu aktual.
Sampai dengan masa pandemic Covid 19, tahun 2020 ini pun masih aktual.
Dunia itu (seks komersial) memang ada. Kita tidak bisa pungkiri. Hanya saja kita memang enggan untuk membicarakan dan bahkan seakan tidak mau tahu. Bahkan tetangga disekitar lokasi pun enggan untuk bersahabat. Mereka dipandang najis. Hina dan dina. Ibarat sampah, mereka seolah tak pantas untuk disapa. Termajinalkan. Terpinggirkan.
“Bukankah mereka itu manusia sama dengan kita,”? Pertanyaan ini disampaikan John Batafor, Aktivis Taman Daun
Hari itu, Senin, 18 Mei 2020. Sejarah tentu mencatat tentang masa sulit saat pandemic covid 19 melanda. Dampakpun terasa. Bukan hanya para penjual ikan. Tukang ojek. Petani. tetapi juga para Wanita Tuna Susila yang saban hari hanya bisa menjajahkan tubuh kepada para lelaki hidung belangpun ikut merasakan dampak.
Mereka sepih pelanggan. Bahkan saking takutnya akan Corona, ada beberapa pelanggan yang datang pun mereka tolak.
Aktivis Taman Daun dan Jurnalis Lembata, Senin menjelang petang menyambangi dua lokasi para wanita tuna susila di dua lokasi berbeda di dalam Kota Lewoleba.
Theresia Wilda, Aktivis Taman Daun, saat memperkenalkan diri sembari memberitahu maksud kedatangannya, nyaris tak mampu. Serak. Gemetar. Suara tertahan di tenggorokan. Menahan haru ketika mendengarkan kisah Wiwik-bukan nama sebenarnya, yang mengisahkan dirinya sudah dua bulan belakangan tidak menerima tamu. Mereka hanya bisa bertahan hidup apa adanya. Makan pun seadanya. Belum lagi biaya untuk kedua anaknya yang sekolah di pulau Jawa tak bisa dipenuhi. Semua karena corona.
“Ada juga beberapa tamu, yang datang beberapa kali tetapi kami menolak. Kami masih mau hidup,” ungkap wiwik, wanita paruh baya yang sudah sekian tahun memilih menjadi WTS di Kota Lewoleba bersama delapan orang temannya.
Mirisnya, saat komunitas ini menyampaikan saumbangan kepada para WTS itu, ada yang mencibir, seolah memprotes kenapa mereka diberi bantuan.
Bantuan berupa sembako yang diberikan pun tidak seberapa. Hanya beberapa karung beras dan telur ayam beberapa papan. Itupun bukan untuk perorangan tetapi untuk semua mereka yang berada dalam lokasi itu. Satu lokasi berjumlah delapan orang dan lokasi lain berjumlah sekitar 15 orang. Ada orang Jawa dan Sulawesi. Ambon dan Timor. Ada orang Flores dan Alor. Bahkan orang Lembata pun ada disana. Mereka juga manusia bukan ?
Pada lokasi yang WTS-nya berjumlah sekitar 15 orang ini, Induk semangnya sudah terlalu rentah. Sudah tua. Beberapa kamar sempit jejer berkain kumal dengan dinding tak layak disebut sebuah kamar. Hanya seonggok kasur lusuh diatas bentangan karpet. Disanalah para WTS itu menjajakan tubuh bagi para lekaki yang membutuhkan. Miris memang. Tetapi inilah hidup.
Mereka pun tak segan bercerita kepada beberapa orang yang datang mewakili tiga komunitas itu.
“Kami tidak menerima tamu. Tidak ada penghasilan. Kami kadang makan bubur karena beras tidak cukup untuk masak nasi. Kami bakar pisang. Kami makan bersama rame rame,” ungkap salah satu WTS di lokasi lain yang dikunjungi. Sebut saja namanya Melati-tentu bukan nama sebenarnya.
Kata apa yang pantas untuk mejawab kesulitan mereka, selain hanya bisa memberikan bantuan sembako berupa beras beberapa karung dan telur beberapa papan.
Pemilik rumah yang sudah rentah itupun hanya bisa menarik napas panjang. Benar benar tanpa kata sampai komunitas ini menyerahkan bantuan dan berpamitan pulang ke Markas Taman Daun.
Benar. Ditengah pandemic covid 19, siapa yang peduli dengan WTS ? Mereka, ‘Kupu Kupu Malam’ yang hanya hinggap sejenak di taman daun atas dasar kemanusiaan. Manusia harus peduli dengan manusia yang lain agar martabat kemanusiaan dapat diselamatkan.
“Mereka, lazim disebit Kupu Kupu malam atau kerap menyandang status sebagai Pelacur atau PSK atau WTS juga manusia. Kita mesti peduli,” tutur John Batafor.
Sekedar sebagai pengetahuan tak diketahui pasti siapa yang menciptakan istilah ‘Kupu-kupu Malam’ dan kapan istilah itu pertama kali dicetuskan. Hanya, menurut sastrawan Yapi Panda Abdiel Tambayong atau Remy Sylado, istilah itu merupakan sebuah perumpamaan.
Selain ‘Kupu-kupu Malam’ yang terasa puitis, istilah paling umum yang digunakan untuk menyebut perempuan yang biasa menjajakan diri adalah pelacur. Dalam ‘Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)’, kata dasar ‘pelacur’ adalah ‘lacur’, yang berarti malang, celaka, sial. Atau merujuk pada perilaku yang buruk.
Mungkin karena dirasa terlalu vulgar di masa era Orde Baru tahun 1996 dibuatkan istilah menjadi wanita tuna susila. Eufemisme ini diresmikan dalam bentuk Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 23/HUK/96, dan pemerintah lebih mengakui wanita tuna susila (WTS).
Menurut Kuncoro dan Sugihastuti, dalam artikel mereka di ‘Humaniora UGM’, 1999, “Pelacur, Wanita Tuna Susila, Pekerja Seks, dan ‘Apa Lagi’: Stigmatisasi Istilah”, eufemisme itu sempat menuai kritik dari sejumlah kalangan. Sebab, dalam kenyataannya, yang menjadi pelacur bukan cuma kaum perempuan, tapi juga laki-laki yang dikenal dengan istilah ‘gigolo’.
Bagi segelintir kalangan, istilah WTS pun sepertinya dirasa masih kurang atau tidak pas. Karena itu, dalam waktu hampir bersamaan, muncul istilah ‘pekerja seks komersial (PSK)’. Penggantian istilah ‘pelacur’ menjadi ‘pekerja seks’, menurut Kuncoro dan Sugihastuti, berakar dari terminologi sex worker, yang diajukan oleh para penulis radikal. “Dalam banyak literatur, istilah sex worker dalam referensi Barat, sebenarnya baru muncul pada awal 1990-an.
Dalam kesimpulannya, dosen psikologi dan sastra di UGM itu menyatakan istilah ‘pelacur’ sebetulnya lebih pas ketimbang WTS dan PSK. Sebab, pelacur sejatinya tak membedakan jenis kelamin lelaki atau perempuan.
“Secara denotatif dan konotatif, istilah pelacur itu lebih lengkap dan spesifik.” Terlepas dari istilah dan pemaknaan akan apa yang mereka kerjakan, satu hal yang pasti mereka adalah manusia yang memiliki sisi kemanusiaan. Mari tetap peduli. ***
sandrowangak