Kerjasama Puslitjak Kemendikbud RI dan Suluhnusa.com (weeklyline media network)
Suluh Nusa, Jakarta – Era disrupsi industri 4.0 merupakan puncak dari lahirnya teknologi digital dengan perkembanganya yang sangat pesat, mempengaruhi hampir semua lini kehidupan manusia. Segala rutinitas aktivitas sehari-hari tidak pernah lepas atau jauh dari sesuatu yang sifatnya teknologi digital. Perubahan itu semakin nyata ketika pandemi covid-19 melanda dunia, segala aktivitas itu berubah dan beralih. Biasanya dilakukan diluar rumah, karena pandemik beralih semua dilakukan dari dalam rumah masing-masing, berkomunikasi jarak jauh dengan memanfaatkan fasilitas internet melalui berbagai aplikasi di perangkat masing-masing.
Salah satu perubahan itu terjadi pada dunia Pendidikan kita, yang mana sebelum pandemi pembelajaran dilakukan di dalam kelas masing-masing sekolah bertatap muka langsung dengan para guru dan teman-teman. Namun harus beralih ke pembelajaran jarak jauh dengan memanfaatkan ketersediaan fasilitas perangkat dan jaringan internet.
Berangkat pada hasil survei yang dilakukan oleh Microsoft di Asia pasifik yang mengatakan, bahwa tingkat Digital Civility Index Indonesia rendah. Hasil survei tersebut tentu semakin krusial karena saat ini pembelajaran jarak jauh sedang berlangsung. Jelas ini menjadi tantang bagi dunia pendidikan Indonesia di tengah sedang gencar-gencarnya menggalakkan Pendidikan karakter. Kita juga tidak ingin bila bangsa tertinggal dari sisi kemajuan teknologi dan informasi dengan negara-negara lain di dunia.
Salah satu yang menjadi alat ukur, bahwa satu negara itu dikatakan maju adalah bagaimana kemampuan sumber dayanya dalam menguasai teknologi dan informasi. Sangatlah tidak realistis bila dengan hasil survei tersebut harus kita berhenti dan meninggalkan media digital atau media baru ini. Untuk menjawab kekhawatiran itu Pusat Penelitian Kebijakan (Puslitjak), Balitbang dan Perbukuan, Kemdikbud pada hari Rabu, tanggal 31 Maret 2021 menyelenggarakan sebuah webinar diskusi tematik terkait isu hangat tersebut dengan tema “Krisis Kesantunan dan Pemanfaatan Media Digital pada Pelajar dan Mahasiswa”.
Webinar tersebut menghadirkan paket kolaborasi narasumber yang lengkap dan mumpuni di bidangnya, yakni Ferdi Widiputera dari Pusat Penelitian Kebijakan, Benny Kesuma dari Education Lead Microsoft Indonesia, Laras Sekarasih dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, dan Wijaya Kusumah dari SMP Labschool Jakarta.
Isu kesantunan dan isu karakter merupakan bagian dari disrupsi teknologi yang fundamental dan permanen. Isu ini sangat penting menjadi bagian dari program Pendidikan Indonesia. Strategi Pendidikan di Indonesia adalah menumbuhkembangkan nilai ke-Indonesiaan, agar generasi bangsa Indonesia mampu dan kuat untuk menghadapi disrupsi media digital. Ibarat api, di zamannya merupakan salah satu teknologi hasil penemuan manusia. Dengan api manusia dapat memasak makanan, menjadi hidangan yang sehat, dan higienis. Api bisa menjadi sumber kebaikan bagi kehidupan manusia, dan bila disalah gunakan, api juga bisa menjadi alat kejahatan yang merugikan manusia.
Plt. Kepala Balitbang dan Perbukuan, Bapak Totok Suprayitno, Ph.d dalam sambutannya mengatakan analogi api tersebut sebagai suatu perumpamaan dari disrupsi teknologi media digital saat ini. Kunci dari Pendidikan adalah karakter. Untuk itu perubahan presepsi tentang sistem nilai sopan dan tidak sopan, baik dan tidak baik yang berpijak kuat pada nilai-nilai budaya bangsa, yakni Pancasila, dan norma agama perlu mendapatkan perhatian khusus. Dengan demikian perlu disikapi bagaimana agar pelajar dan mahasiswa tidak terbawa oleh arus negative nilai globalisasi, namun tetap adab terhadap nilai-nilai budaya bangsa. Jadi edukasi pemanfaatan media digital ini sangat penting.
Bersadarkan survey yang dilakukan oleh APJII pada tahun 2020, bahwa animo masyarakat Indonesia sangat besar dalam menggunakan aplikasi-aplikasi yang terkoneksi ke jaringan internet 73,7% dari jumlah populasi di Indonesia, 59% aktif di sosial media, 94% masyarakat Indonesia menggunakan berbagai aplikasi tersebut di smartphone, dan 96% penggunaanya untuk social networking atau chating. Untuk membantu pengembangan kebijakan berbasis bukti dan mendorong penggunaan teknologi digital bagi anak-anak yang aman, efektif dan bertanggungjawab, Indonesia ikut ambil dalam penelitian Digital Kids Asia-Pasifik yang diinisiasi oleh UNESCO pada tahun 2020.
Indonesia dilihat dari sisi pelajar dan mahasiswa dengan menggunakan 5 (lima) domain, yakni 1) literasi digital, 2) keamanan dan ketahanan digital, 3) partisipasi agensi digital, 4) kecerdasan emosional digital, 5) kreativitas dan inovasi digital. Kemampuan TIK tinggi, tetapi tidak diimbangi dengan inovasi dan kreativitas. Terdapat kesenjangan yang sangat signifikan antara kompetensi literasi dan kreativitas pada siswa laki-laki dan perempuan. Siswa perempuan cenderung memiliki kompetensi digital lebih tinggi dibandingkan siswa laki-laki. Sebagian besar siswa di Indonesia telah menggunakan perangkat digital lebih dari 5 (lima) tahun dan melakukan aktivitas online selama 7 (tujuh) jam lebih setiap harinya. Dari 7 jam tersebut 1-2 jam untuk keperluan pribadi. Smartphone menjadi tumpuan anak usia 15 hingga 16 tahun di Indonesia.
Sebagian besar dari mereka lebih mandiri dalam mengakses internet baik sebagai sumber belajar maupun informasi lainnya. Secara keseluruhan anak-anak di Indonesia mendapat skor “baik” di semua kompetensi digital, kecuali inovasi dan kreativitas yang hanya mendapat skor “cukup”. Tidak ada kesenjangan kompetensi siswa yang berada di pulau jawa maupun di luar pulau jawa dan gender, tetapi masih ada sedikit kesenjangan antara status sosial ekonomi. Anak-anak di Jawa cenderung menjadi pengguna internet yang lebih aktif dibandingkan dengan mereka yang tinggal di luar pulau berkat akses dan konekvitas yang lebih baik. Ini merupakan penjelasan Bapak Ferdi Widiputra, dalam paparannya “Profil Kompetensi Digital Siswa di Indonesia”.
Microsoft melakukan survei “civility, safety, interaction online survey” sudah dimulai dari lima tahun yang lalu. Sejak saat itu setiap tahun survei ini dilakukan. Tahun 2016 survei tersebut dilakukan di 14 negara dan di tahun 2020 sudah terlaksana di 32 negara di seluruh dunia. Dengan total interview dilakukan terhadap responden sebanyak 58.000 selama lima tahun. Berdasarkan hasil survei untuk Asia-Pasifik terdapat dua negara yang menyumbang negapa paling aman secara online, paling santun netizen (para pengguna internet), yaitu Singapura dan Taiwan.
Dalam paparannya Benny Kusuma menjelaskan, bahwa terkadang kata-kata yang tersebar di media online itu luar biasa eksplisitnya, sedangkan sebenarnya mereka sedang tidak sadar bahwa banyak hal-hal yang mereka langgar baik dari sisi norma kesopanan, maupun dari sisi norma hukum. Menarik ketika data dari hasil survei yang dilakukan oleh Microsoft menunjukkan bahwa 4 dari 10, jadi 40% dari responden pernah terlibat dari insiden perundungan atau sama dengan 4 dari 10 orang yang mengakses media digital pernah sebagai pelaku perundungan ataupun ikut menyatakan pendapat tanpa memikirkan dampak bagi orang lain.
Kemudian para anak-anak usia antara 13-17 tahun memimpin atau lebih memberikan kontribusi untuk membuat dunia online menjadi baik. Ternyata usia yang dianggap masih anak-anak itu, ternyata lebih baik dari golongan usia dewasa. Dari total jumlah seluruh negara yang di survey, Indonesia berada pada posisi keempat terakhir, dan untuk Asia-Pasifik Indonesia berada pada posisi terakhir. Hasil survei ini membuktikan, bahwa tingkat literasi para pengguna media digital di Indonesia masih rendah. Tentu hasil survei ini merupakan jawaban dari apa yang kita amati dari berbagai media digital, bagaimana para netizen ataupun pengguna internet membanjiri kolom komentar sosial media ataupun berkomentar tanpa mereka mengerti konteks, tanpa mencari tahu konteksnya, tapi sudah berani membuat atau memberi suatu kesimpulan dan berkomentar.
Setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan media digital, diantaranya adalah 1) menerapkan aturan terlebih dahulu sebelum merespon secara online, terlebih dahulu bertanya kepada diri sendiri apakah kita akan merespon secara empaty, atau apakah kita akan melakukan confession, atau akan melakukan kebaikan, menghormati atau menghargai orang tersebut, serta bagaimana kita menghargai suatu perbedaan. 2) menghormati perbedaan, di dunia ini tidak ada yang 100% sama baik dari sisi kebudayaan, keyakinan, cara hidup, dan lainnya. Bagaimana kita mengekspresikan diri, ketika kita tidak setuju namun tidak menghakimi. 3) sebelum merespon secara online, marilah berhenti sejenak untuk memahami konteksnya, jangan sampai dengan cara kita merespon justru mencederai, ada yang terluka, atau malah merusak reputasinya atau malah justru kita sedang membuat keselamatan orang lain secara digital juga diri kita sendiri. 4) bagaimana kita membela diri kita sendiri juga orang lain pada saat melihat ada perlakukan yang tidak adil atau tidak benar, apakah kita berani melakukan pembelaan, atau apakah kita berani membela diri kita sendiri. Sikap para netizen di media digital selama ini ternyata satu penyakit yang harus diperbaiki. Jejak digital, tentang apa yang telah dituliskan di dunia internet atau dunia maya tidak pernah bisa di hapus, jadi harus berhati-hati.
Manusia tidak akan pernah bisa lepas dari media. Psikologi sosial dan perkembangan media merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan manusia. Dalam Bronfenbrenner’s Ecological System Theoy, untuk melihat perkembangan manusia tidak hanya dari tahap perkembangannya, tapi fokusnya adalah bagaimana manusia itu berkembang dalam suatu ekologi. Dalam lingkaran yang terbentuk dari teori ini manusia atau individu berada di tengah lingkaran, sedangkan media berada pada posisi bagian lingkaran sedikit luar, namanya lingkaran Exosystem. Bagian lingkaran ini media dipengaruhi secara global, politik nasional, politik dunia dan juga mempengaruhi apa yang terjadi di ekosistem atau sistem yang lebih micro, yaitu “individual”.
Hasil survei Digital Civility Index Microsoft 2020, bahwa sebenarnya yang memiliki krisis keadaban digital civility itu bukan remaja, justru orang dewasa. Sementara orang dewasa dalam psikologi media dengan istillah free question perception, tapi ketika ada effek media yang dianggap negative, cenderung ada anggapan bahwa orang lain akan rentan terhadap effek negative tersebut dibandingkan dirinya sendiri. Dari sisi psikolog kesantunan dan kesahihan juga menjadi isu yang sangat penting.
Sebuah pesan bisa saja disampaikan secara santun tapi isinya tidak sahih. Santun bicara tentang cara penyampaiannya (halus atau tidak dalam menyampaikan), sedangkan shahih bicara tentang isi atau substansi dari yang disampaikan tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Diketahui banyak pesan disampaikan dengan santun, tapi isinya hoak. Laras Sekarasih menegaskan, bahwa santun dan sahih tidak boleh menjadi trade-off. Kesantunan penting, tapi tidak dapat menggantikan kesahihan. Santun itu sangat penting, tapi isi dan substansinya juga harus vailid.
Dalam Bronfenbrenner’s Ecological System Theoy tersebut, peran orang dewasa terdapat pada lingkaran microsystem, yakni di sana terdapat keluarga, dan sekolah. kedua Lembaga ini (keluarga dan sekolah) memegang peranan penting dalam penggunaan media bagi anak-anak dan remaja. Teknologi digital mobile, literasi teknis orang tua, berkurangnya pengaruh orang tua terhadap anak kian berkurang seiring dengan bertambahnya usia anak menjadi tantangan tersendiri dalam dunia media digital. Keluarga memiliki pengaruh langsung terhadap anak. Baiknya orang tua atau orang dewasa tetap membangun mediasi berbasis dialog dengan anak.
Wijaya Kusuma (Om Jay) sebagai praktisi guru membagikan pengalaman pribadinya bagaimana “Menanamkan Kesantunan Dalam Pemanfaatan Media Gigital”. Sebagai umat yang bekeyakinan teguh pada ajaran agamanya, Om Jay meteladan sifat-sifat Nabi Muhammad SAW, (Sidiq, Tabligh, Amanah, fathonah). Tentu hal yang sama juga diajar oleh agama lainnya, namun mungkin dengan istilah atau penamaan yang berbeda.
Agar anak-anak tetap santun dalam pemanfaatan media digital dijelaskan melalui sebuah qouts, yakni “Filosofi Pendidikan anak adalah mereka akan mencontoh orang dewasa”, dan “jangan beri tahu mereka bagaimana melakukannya. Tunjukkan kepada mereka bagaimana melakukannya dan jangan mengucapkan sepatah kata pun. Jika anda memberi memberi tahu mereka, mereka hanya akan melihat gerak bibir anda. Jika anda menunjukkannya, mereka pasti ingin melakukannya sendiri” ~ Dr. M Montessori.
Sebagai guru dan blogger, Om Jay mengatakan “melakukan apa yang tuliskan, dan tuliskan apa yang kamu lakukan”. Semuanya itu ditularkannya kepada anak didiknya. Kesantunan anak-anak di media digital senantiasa tidak terlepas dari peran serta orang tua para peserta didik. Untuk mengajarkan kesantunan dalam pemanfaatan media digital Om Jay memulainya dengan mengajak anak-anak membuat blog. Pastinya sebelum mengajarkan anak-anak membuat blog, Om Jay terlebih dahulu membuat blognya sendiri dan melanjutkan diskusi dengan anak-anak didik di sana.
Semua tersimpan dengan baik di blog. Untuk menjaga karakter dan jati diri budaya bangsa, di tempat Om Jay mengabdi mengajarkan pohon Pendidikan kepada anak didiknya, yakni 1) berakar pada moral dan agama, 2) berbatang ilmu pengetahuan, 3) beranting amal perbuatan, 4) berdaun tali silaturahmi, 5) berdaun kebahagiaan.
Sebagai closing dalam webinar ini, Plt. Kepala Pusat Penelitian Kebijakan, Kemdikbud, Bapak Irsyard zamjani Ph.D, mengatakan sebagai kabar baik dengan melihat usia sebenarnya kesantunan digital anak-anak muda yang relative lebih baik dibandingkan seniornya, merupakan kabar baik bagi media digital di Indonesia. Setidaknya digital native korelasi dengan digital wisdom.
Jika literasi digital seseorang itu baik, maka mereka juga akan semakin memahami batasan kesantunan dalam proses interaksi di dunia digital. Edukasi untuk menjadi lebih santun, lebih littered dalam digital, perlu secara terus-menerus dilakukan, baik melalui pendidikan di sekolah-sekolah maupun melalui komunitas masayarakat melalui berbagai macam media. Harapan civility atau keadaban di media digital semakin membaik, dan kesantunan tidak boleh mengalahkan kesasihan.
Materi webinar dan informasi lainnya, dapat diakses melalui https://puslitjakdikbud.kemdikbud.go.id atau tayangan ulang Webinar ini dapat mengunjungi akun Youtube Balitbang Kemdikbud.