suluhnusa.com – Yang penting kamu kuliah yang rajin, bisa jaga diri, jangan nakal, menurutlah kepada orangtua, jangan berani dengan orangtua karena itu dosa besar. Sudah, permintaan ibu hanya itu. Kalau ingin jadi orang pintar dan sukses harus semangat! Jangan menyerah! Ok? Pasti ibu kerja kan demi kamu biar pintar di sekolah. Makanya harus semangat sekolahnya. Jadi ibu yang kerja banting tulang tidak sia-sia kamu jadi orang pintar.” Demikian kata ibuku, Lisa Namanya. Nasehat ini disampaikan ibu, saat saya dan adik hendak pergi Kuliah di Makasar.
Saya adalah bukan saya jika tanpa kasih sayang kedua orangtuaku. Mereka sangat berpengaruh besar dalam setiap proses hidupku dan dalam setiap pencapaianku. Mereka selalu berusaha membuat damai kehidupanku.
Ibu, perempuan mulia yang tidak pernah mengeluh walau peluh. Setiap pagi selalu membuat sarapan terbaik sebagai pemacu semangatku untuk menggapai ilmu. Aku meninggalkan ibu di rumah sendirian hingga waktunya aku pulang dari sekolah, selalu begitu.
Kisah tentang peluh ibu yang sudah sedini jatuh di dini hari juga dilakoni oleh sekelompok ibu ibu di Desa Pajinian. Mereka adalah Ibu Rosa, Ibu Lisa (Ibuku), Ibu Kris, Ibu Maria Ese, Ibu Teresi dan Ibu Barek
Mereka sudah berpeluh sebelum kokok Ayam menyibak selimut malam. Mereka bangun berkemas. Memasak sembari menyiapkan barang-barang jualan. Biasanya sebagian barang jualan sudah di bawah lebih dahulu ke pantai Kenariblolong pada sore hari. Gerobak roda dua adalah alat yang digunakan untuk mengangkutnya.
Di bibir pantai penuh bebatuan itu, mereka menunggu kedatangan perahu-motor dari Kampung Baru, Larantuka, milik salah satu Nelayan yang juga sudah sejak lama beroprasi.
Om Sulaiman, begitu ia disapa. Ada kalanya Om Sulaiman, lebih dahulu menanti dengan tabahnya, kendati pun tak ada tambatan perahu di sana. Ongkos Mengantar dan menjemput sebesar Rp.25.000 per penumpang.
Deruh debur gelombang tak menyurutkan perjuangan. Melintasi selat Gonsalu yang sangat ekstrim, tak biasa meredupkan harapan untuk bisa sampai ke Pasar Baru Larantuka (Pasar Inpres). Waktu tempuh kurang-lebih dua jam lamanya. Di sana juga tak ada dermaga atau tambatan perahu. Memprihatinkan memang.
Bukan hanya itu. Di sekitar pantai tempat berlabuh, sangat menjijikan. Bagaimana tidak, jika kotoran manusia dan bangkai hewan sering terlihat mengapung. Jika sedang surut, tidak ada alasan lain selain menahan sengatan bauh busuk. Banyak saluran pembuangan limbah rumah tangga, dan MCK warga, menjorok ke arah laut.
Di Pasar, mereka menjajakan barang-barang jualan. Rela menjujung mentari yang menyeringai terik. Tiada atap menutup ubun-ubun. Keringat bercucuran bak aliran geletser. Membasahi sekujur tubuh pemilik dada-dada lusuh berpeluh itu.
Mereka duduk berhamburan. Bergabung dengan penjual lain. Banyak dari desa-desa pesisir, seperti Desa Hurung, Kimakamak, Bugaliman, Wureh, Beliko, juga Ibu-Ibu dari desa-desa pedalaman Adonara Barat. Ada pula dari pulau solor, dari Tanjung Bunga, dan daerah lainnya.
Kadang mereka harus berjibaku mencari tempat untuk menjajakan barang jualan mereka di lokasi pasar yang sempit itu. Bila sudah padat lebih banyak ibu-ibu memilih di luar lokasi pasar. Tetap membayar pengutan retribusi dari pemerintah. Sedangkan di luar areal pasar juga dikenakan tarif oleh pemilik lahan.
Ketika musim-musim pemilu; musim kampanye, kondisi ini sering digunakan oleh para politisi sebagai komoditas politiknya untuk mendulang suara. Naman sejauh ini masih tetap sama. Sama juga seperti para nelayan yang konon katanya dijanjikan perahu fiber. Hasilnya hanya omong kosong bin bualan semata. Lucunya, orang yang sering bohong beberapa kali dipilih. Semacam terlanjur cinta. Memprihatinkan memang.
Kata orang, hidup adalah perjuangan. Dan mereka adalah pejuang kehidupan paling tangguh. Bermodal nekat dan nyali, mereka mengarungi ekstrimnya lautan. Semua itu demi sesuap nasi. Demi keluarganya yang kadang cemas menanti di rumah. Demi anak-anaknya, agar tetap sekolah. Banyak Sarjana Kampung Kenariblolong lahir dari hasil jualan.
Sebut saja, Ibu Rosa berhasil menyekolahkan anaknya Yeris Rinto menjadi sarjana tamatan Ende. Ibu Lisa, bahkan menghasilkan dua anak menjadi sarjana, Natalia Watowuan dan Tino Watowuan, lulusan Makasar.
Yulis Beda Naen meraih sarjana di Makasar berkat peluh Iu Kris. Ivan Tukan juga berhasil meraih Sarjana di Kota Kupang lantaran Ibu Lisa yang rela bangun sedini hari agar tidak ketimggalan motor Om Sulaiman. Pun Ibu Maria Ese, keringatnya berbuah bahagia lantaran Rian Tukan menamatkan Sarjana di Kota Kupang.
Juga Ibu Teresi menghasilkan Ina Badamakin yang meraih sarjana. Demikian juga ibu Lusia dan ibu Barek. Mereka sungguh sungguh bahagia karena anaknya masing masing Linda Waiwuring dan Bertos Paun di Makasar.
Memang benar. Ibu selalu lantunkan doa agar kesuksesan anaknya tercapai melalui pendidikan yang lebih tinggi. Harapan ibu adalah kelak anaknya bisa mendapatkan pekerjaan yang layak serta mulia, bisa mengangkat derajat orang tua dan bisa mengubah nasib keluarga ke arah yang lebih baik.
Dan kami bangga memiliki Ibu seperti mereka. Terima kasih seribu untuk pejuang kehidupan.
watowuan tino