suluhnusa.com_Tentang kisah di Kampung Gunung Rampah, Kecamatan Mook Manaar Bulatn, Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur.
Review lagi beberapa waktu lalu ketika masih berada di kampung Gunung Rampah, masih seorang peserta SM3T yang bertugas di SMPN 2 Mook Manaar Bulatn dan SMAN 1 Mook Manaar Bulatn.
Masih seputar masalah pendidikan di tempat tugas saya ini. Kali ini sepenggal kisah yang saya tulis berasarkan pengalaman saya selama berada di sana. Tempat ini belum punya gereja katolik.
Alhasil selama saya berada di kampung Gunung Rampah saya hanya berdoa di mess tempat tinggal saya. Selama kurang lebih satu tahun berada di Kutai Barat saya hanya 4 kali mengikuti perayaan Misa, 1 kali di Samarinda pada saat perayaan Natal, 1 kali di gereja paroki Melak pada saat Tahun Baru, 1 kali di sekolah, dan 1 kali lagi di kecamatan Barong.
Tapi itulah peserta SM3T, dihadapkan pada permasalahan yang harus bisa diatasi.
Saya tidak mengatakan bahwa saya paling bisa dalam segala hal, atau apalah pandangan pembaca nantinya tentang tulisan ini. Yang saya alami adalah bahwa pelajaran agama katolik di SMP maupun SMA masih saja menggunakan buku referensi yang masih sangat tertinggal jauh sekali dari kurikulum yang dipakai saat ini. Entah salah siapa, tapi inilah yang terjadi.
Selain itu juga peserta didik belum menguasai pelajaran agama yang menurut saya sudah seharusnya mereka kuasai. Doa-doa dasar juga belum sempurna mereka ketahui. Di penggalan cerita lainnya saya akan bercerita tentang anak-anak itu. Saat ini yang ingin saya ceritakan adalah tentang kisah lain dari pengalaman saya.
Waktu itu, saya diminta oleh guru agama katolik yang bernama Bapak Madang untuk membantunya menyusun soal agama katolik untuk ujian semester ganjil tahun ajaran 2014/ 2015. Saya memang sering berbincang dengan bapak yang satu ini baik tentang masalah sosial, maupun sharing tentang tugas dan kerja kami di sekolahan.
Bapak Madang memang seorang guru yang baik dalam hubungan sosial dengan setiap warga sekolah. Yang paling saya ingat dari bapak ini adalah fisiknya yang kecil, motornya yang menghasilkan suara yang luar biasa keras, musim hujan akan selalu menyulitkan beliau untuk ke sekolah karna tempat tinggalnya di daerah Merayaq sulit diakses.
Itu gambaran yang masih teringat dengan sangat jelas dalam pikiran saya tentang sosok bapak Madang. Ditambah lagi Bapak Madang harus menyusun tugas akhir untuk meraih gelar sarjananya. Beliau adalah guru agama katolik di sekolah kami.
Sering pula saya berbagi ilmu yang saya ketahui bahkan membantu menyusun dan mengetik soal ujian semester untuknya. Saya tidak merasakan itu sebagai beban untuk saya, melainkan saya bahagia setidaknya saya bisa sedikit membantunya.
Yang menjadi masalah dan tanda tanya dalam benak saya bahkan hingga saat ini adalah ketika itu saya diminta untuk menyusun soal ujian agama katolik dengan menggunakan buku pegangan guru yang nota bene sudah tidak layak lagi dipakai.
Bagaimana mungkin, buku agama itu sama persis seperti buku agama katolik yang dipakai oleh guru saya ketika saya masih berada di bangku SMP pada tahun 2003-2006 silam.
Kaget memang ketika mengetahui bahwa buku yang harus saya pakai untuk membantu menyusun soal ujian adalah buku tersebut. Namun, apalah daya tidak ada buku lain yang bisa dipakai. Setelah selesai menyusun soal, saya sempat mencari beberapa referensi tambahan di internet untuk diberikan kepada bapak Madang.
Beberapa kumpulan soal yang saya temukan di internet juga saya copy dan simpan dalam folder tersendiri untuk diberikan padanya. Saya memang sangat prihatin dengan apa yang terjadi. Namun saya bisa apa…? Sebatas kaget dan mencoba membantu semampu saya.
Sering juga Pak Madang meminta bantuan untuk memotretnya saat sedang pelajaran untuk dilampirkan dalam laporan yang sedang beliau garap untuk tugas akhirnya. Saya tidak pernah menolak permintaan dari beliau karna saya pikir tidak ada salahnya jika saya menolong apalagi saya bisa.
Bahkan ketika saya sudah kembali ke NTT juga saya masih saja ditelpon dan di-SMS untuk membantu beliau mencari buku agama katolik SMP dan SMA yang sesuai dengan referensi kurikulum saat ini agar dikirimkan ke sana.
Saya berjanji saya akan mencarikan buku-buku yang diperlukan beliau. Trima kasih sekali lagi untuk program SM3T yang sudah menjadikan saya bagian dari orang-orang di tempat tugas saya dulu.
Saya tidak tahu ini menjadi kesalahan siapa ketika di belahan lain dari Indonesia masih sangat tertinggal dengan segala fasilitas dan kemudahan yang seharusnya sudah dirasakan bersama.
Saya hanya sebatas melihat, mengingat dan berusaha membantu sesuai kemampuan saya seperti kisah saya di atas. Sisanya yah kita serahkan pada pihak yang mengharapkan generasi emas tahun 2020 nanti. ***
Yustina Daniwaen kukun, S.pd.
Peserta SM3T (Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) tahun 2014/2015.