suluhnusa.com_Tanah adalah salah satu obyek yang sering menjadi rebutan dan perdebatan. Ini sering disebut konflik agraria. Konflik agraria ini masih saja merambah Nusantara. Di televisi, di radio dan di koran-koran terus saja menjadi berita utama. Tidak jarang berkembang menjadi pertikaian yang tak berkesudahan.
Mewujudkan rasa keadilan dalam sektor agraria atau kebumian sudah menjadi keharusan semua pihak, baik dalam azas ketegasan hukum Negara maupun azas kepatutan Masyarakat Adat.
Hampir di seluruh daerah di Indonesia masalah tanah (sengketa tanah) tren terjadi dan sering berujung konflik, apabila tidak diantisipasi sejak dini dari semua yang berkompeten.
Terkadang, meskipun tanah telah memiliki legalitas atau sertifikat sah dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), tetapi bisa saja dilakukan upaya hukum dari pihak lain untuk menggugatnya. Demikian pendapat Jhon Tuba Helan salah satu dosen Pasca sarjana Universitas Nusa Cendana (UNDANA) Kupang Nusa Tenggara Timur.
“Kita bisa lihat hampir di seluruh Indonesia masalah tanah terkadang berujung dengan konflik, bahkan menimbulkan korban jiwa dan materi yang tidak terbilang, kalau masing-masing kita tidak mau menerima kondisi yang sudah terjadi, bahkan tanah yang sudah bersertifikatpun terkadang dipersoalkan pihak lain,”tandas Tuba Helan.
Pakar hukum UNDANA itu mengharapkan setiap warga yang memiliki tanah, untuk bersabar diri guna menyelesaikan persoalan yang terkait dengan pikiran yang dingin. Ia menjelaskan hal ini, ketika menjawab pertanyaan salah satu peserta sosialisasi hukum, yang digelar Forum Bello Mandiri (FBM) binaan PIAR NTT bekerjasama dengan Fakultas Hukum UNDANA.
Koordinator Forum Bello Mandiri (FBM), Goe Takene dalam kesempatan itu kepada suluhnusa.com mengatakan, sosialisasi hukum ini dilakukan pihaknya karena akhir-akhir ini masalah sengketa lahan banyak terjadi di Kelurahan Bello.
Bahkan menurut Ketua RW 03 kelurahan Bello itu, berdasarkan catatan yang ada pada pihaknya selaku RW maupun koordinator Forum, sejak 2012 hingga akhir 2013 ini tercatat telah terjadi delapan (8) kasus sengketa lahan di wilayah hukum kelurahan Bello. Dari delapan kasus yang terjadi belum satupun diselesaikan sampai tingkat hukum. Namun baru sebatas penyelesaian pada tingkat lingkungan dan kelurahan.
“Acara ini kami gelar karena akhir-akhir ini di kelurahan kami banyak terjadi sengketa lahan sehingga dengan acara ini paling tidak ada nilai tambah bagi kami masyarakat terutama para pemilik lahan yang bersengketa, agar ada solusi penyelesaian,” harap Takene.
Ia juga sebagai Ketua RW menyatakan rasa hormatnya kepada semua pihak yang bersengketa, karena meskipun jumlah kasus sengketa banyak tetapi tidak sampai terjadi kekerasan fisik.
Takene juga berharap agar PIAR NTT yang telah banyak mendampingi forum di lingkungan masyarakat kedepan tetap memberikan dampingan agar pengawasan layanan publik bisa diawasi warga masyarakat. Kegiatan itu berlangsung Sabtu 16 November 2013 di aula Kantor Lurah Bello kecamatan Maulafa Kota Kupang.
Sudah sepatutnya permasalahan agraria dapat mengantarkan kita pada pendalaman dan pemahaman tentang relasi antara manusia dan Tuhan. Dengan demikian manusia dalam hakekat hidup bersama di atas tanah atau bumi, dapat menuju dan meyakini kembali sebagai mahkluk yang berketuhanan.
Sektor agraria telah banyak diatur dalam Konstitusi Negara kita. Negara dimandatkan oleh rakyat untuk mengelola bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Cita-cita mulia tersebut semestinya mencegah adanya pertikaian antara Negara dan Rakyat. “Tanah-tanah di Nusantara ini semestinya dibebaskan dari dominasi kerakusan pemodal atau kekuasaan semata”.
Spirit berketuhanan dalam pengelolaan agraria masih banyak kita jumpai di berbagai komunitas adat di berbagai wilayah Nusantara. Masyarakat adat mengelolanya berdasarkan kearifan. Semua aktifitas di atas bumi dilakukan atas restu, petunjuk dan hasilnya dipersembahkan lagi kepada Sang Pencipta bumi Tuhan.
Bahkan dalam kearifan lokal masyarakat adat, tanah tidak boleh dimiliki atau menjadi kepemilikan tunggal. Warga Adat pun meyakini, untuk bisa hidup dan dihidupi oleh alam berarti banyak pula kewajiban yang harus dilakukan di atas tanah muka bumi ini.
Berdasarkan pengalaman dan kewajiban hidup yang demikian, maka pola hidup komunal masyarakat adat bukanlah persoalan kebetulan, tetapi sebaliknya sudah menjadi kebutuhan bersama (kepemilikan komunal).
Dalam keyakinan Masyarakat Adat lainnya, hasil bumi boleh dan akan dikonsumsi setelah dipersembahkan sebagai bentuk penghormatan dan permohonan ijin dari Tuhan Sang Pencipta. Setelah itu hasil bumi baru bisa dikonsumsi untuk hidup dan menghidupi sepantasnya.
Pola dan cara-cara hidup demikian lama-kelamaan terangkum mejadi sebuah tradisi, fungsi dan tatanan kehidupan masyarakat adat yang mengedepankan kesantunan hidup bersama alam, sebagai contoh aktivitas Subak di Bali, atau sebutan lain di tempat lain. Karena merusak alam diyakini akan merusak diri sendiri, merusak alam sama saja merusak negara sendiri.
Lalu bagaimana halnya dengan maraknya konflik agraria di berbagai wilayah? Perlu kita cermati akar permasalahannya berdasarkaan konsepsi di atas. Apakah tanah-tanah tersebut sudah dikelola berdasarkan prinsip “berketuhanan” tadi? Baik yang dilakukan oleh komunitas adat, maupun oleh negara.
Jika warga di wilayah adat tidak lagi mengelola tanah dan bumi “secara adat” bisa dikatakan warga sedang mengalami “persoalan” karena tidak mampu lagi mengelola bumi secara beketuhanan. Dengan demikian negara berhak mengambil alih pengelolan tanah tersebut atas mandat konstitusi.
Lebih jauh bagaimana halnya jika Negara tidak mampu lagi melaksanakan mandat konstitusi dalam pengelolaan tanah tadi? Tentu sama saja, “Negara bisa juga dikatakan lalai atau tidak melaksanakan prinsip-pirinsip pengelolaan tanah secara berketuhanan, karena hasil bumi tidak lagi mampu digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Malah di beberapa tempat, dan negara melakukan pembiaran tanah tersebut menjadi “Tanah Tuan-Tuan”, atau milik segelintir “Para Tuan Tanah”.
Jika negara dan rakyat sudah tidak lagi mampu mengelola tanah secara berketuhanan, maka sangat wajar jika tanah tersebut tidak akan menciptakan kesejahteraan, tapi sebaliknya menimbulkan kesengsaraan. “Jadi, kedua pihak Rakyat atau Negara bisa saja melakukan kelalaian”. (Goris Takene)