Kue Odo dan Cara Selusin Anak menjaga Huruf di Flores Timur

MEDIA WLN – Ayam telah ramai berkokok, bersahutan menyambut pagi. Sesekali, hembus angin membawa bunyi deru mesin perahu nelayan, yang sayup terdengar dikejauhan.

Di ufuk timur, rona merah matahari belum terlihat, namun cakrawala telah memberi tanda bahwa matahari akan terbit.


Seperti kata David Klawes, guru tua di Kampung Horinara, bahwa untukmu semua Taman Baca, di mana saja. Disaat jam belajar formal terkatung katung oleh berbagai larangan para stakeholder, kalianlah yang menjadi pondok, taman atau komunitas penyelamat.


Sesuai kesepakatan, pagi ini minggu 26 Juli 2020, saya ditemani oleh Mila dan April untuk pergi ke pasar, membeli bahan kebutuhan pokok untuk membuat kue. Berat rasanya menyingkap selimut usang yang sedari malam membalut tubuh, sebab udara pagi ini sangat dingin.

Mau tidak mau, saya harus bangun dan bergegas menjemput April dan Mila sebab, mereka sangat bersemangat untuk pergi ke pasar hari ini. Pasti, mereka telah siap dan menunggu saya. Dan, benar saja. Setelah tiba di depan rumah mereka, kedua kakak beradik itu telah menyiapkan diri. Kami lalu berangkat ke pasar, bertiga mengendarai satu sepeda motor.

Jalan utama, telah ramai oleh lalu lalang kendaraan bermotor. Dinginnya pagi, tidak menyurutkan semangat para pelaku pasar untuk beraktivitas. Di atas motor udara terasa lebih dingin. Oleh karena itu, April yang adalah siswi Sekolah Dasar kelas 5 meminta saya agar memacu kendaraan dengan perlahan sebab ia kedinginan.

Kami tiba di pasar dan rona merah cakrawala telah terukir indah di ufuk timur. Sesaat lagi, matahari akan terbit disana, dan udara dingin perlahan hilang berganti hangat mentari. Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk membeli bahan yang kami butuhkan. Empat liter minyak goreng, dan dua kilogram gula pasir telah ada di dalam keranjang bawaan kami, dan kami bergegas pulang.

Hari masih pagi dan matahari mulai memancarkan sinarnya. Namun tak ada yang berbeda jauh pada jalanan. Lalu lalang kendaraan, dan udara dingin masih saja terasa. Bedanya, sinar matahari yang berwarna merah menambah indah suasana pagi di kampung.

Setelah tiba di rumah, hal berikut yang harus saya lakukan adalah, pergi ke kebun untuk mengambil singkong yang adalah bahan dasar pembuatan kue tradisional yang akan kami buat hari ini. Singkat ceritera, singkong itu berhasil saya pikul dan tiba di rumah saat lonceng gereja berdentang dua kali.

Siapkan diri, lalu ke gereja untuk mengikuti ibadat hari minggu disana. Setelah ibadat, anak-anak Komunitas Pondok Baca Nubun Puhun berkumpul sesaat sebelum kembali ke rumah. Beberapa kesepakatan berhasil kami buat antara lain, masing-masing menyiapkan bekal untuk makan siang bersama di pondok baca, memakai masker selama kegiatan, dan satu orang membawa serta kayu api dua batang.

Jam 9.30 WITA mereka tiba dan membawa serta bekal, kayu api, juga memakai masker. Tidak menunggu lama, aktivitas pembuatan kue tradisional Odo, lalu kami mulai.

Untuk menghemat waktu, kami membentuk beberapa kelompok kecil yang memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing. Ada yang tugasnya memotong singkong menjadi beberapa bagian, ada yang tugasnya mengupas kulit singkong, ada yang tugasnya membelah singkong menjadi dua belahan, dan sebagian lainnya memarut singkong yang sudah bersih.

Untuk menyiapkan lidi yang akan digunakan nanti, adalah tugas laki-laki. Seseorang memanjat kelapa untuk memotong pelepah kelapa, dan yang lainnya bersiap untuk memisahkan daun kelapa tersebut, untuk mengambil lidi.

Setelah singkong selesai di parut, tahapan berikutnya adalah membentuk parutan singkong itu menjadi bulatan-bulatan sedang, yang nantinya akan digoreng. Kelompok lainnya menyiapkan tungku dan menyalakan api, yang lainnya membuat bulatan pada parutan singkong, dan sebagian lainnya menumbuk gula pasir hingga halus, yang nantinya akan digunakan untuk menaburi singkong yang telah digoreng.

Keasikan tiap kelompok yang berlomba menyelesaikan tugas dan tanggungjawabnya, kami dikagetkan dengan bunyi lonceng gereja pada pukul 12.00 WITA. Waktunya makan siang. Masing-masing dari mereka menyiapkan makanan lalu menghidangkannya di atas tikar untuk di nikmati bersama.

Orong, salah satu anggota komunitas yang lantang memprotes doa makan siang yang dibawakan oleh April anak calon komuni pertama itu, kehilangan lauk makan siang. S

ambil melihat April yang pada posisi berdiri, Orong tidak mengetahui bahwa kucing piaraan saya, sedang mengincar telur dadar yang ia letakan tepat di atas tumpukan nasi di dalam piringnya.

Ia terus saja berbicara. Saat tangannya perlahan mencoba meraba piring nasinya, ia merasakan ada bulu halus yang tersentuh oleh tangan. Ia lalu mengarahkan pandangannya pada apa yang ia sentuh. Dan, kucing sedang menikmati lezatnya telur dadar miliknya. Sungguh sial nasib si Orong. Mila, seorang teman lainnya lalu membagi sebagian lauknya untuk Orong.

Setelah makan siang, parutan singkong yang telah dibentuk menjadi bulatan itu, lalu digoreng. Ada kelompok yang tugasnya menaburi gula, sedang kelompok lainnya menggunakan lidi yang telah disiapkan itu menusuk gorengan yang telah ditaburi gula sebanyak empat buah untuk satu lidi.



Nubun Puhun, salah satu komunitas taman baca di kampung Honihama Adonara. Diasuh oleh Oktavianus Bali Adonara yang memilih mengundurkan diri dari guru honor di salah satu sekolah dan berkonsentrasi mengasuh Pondok Baca Nubun Puhun sembari sehari hari me menjadi penulis di media online suluhnusa.com (Media WLN), video creator dan fotogpraher.  Bersama selusin anak Pondok baca Nubun Puhun Oktav Bali teguh menjaga semangat belajar.


Jam 02.00 sore hari, kami sudah siap untuk melayani pelanggan yang telah memesan sebelumnya. Untuk mengantar pesanan, saya tidak bisa sendirian. Oleh karena itu, salah satu anggota komunitas harus menemani saya. Dan keduabelas anak tak ada satu pun yang ingin tinggal. Semua sepakat untuk ikut.

Bagaimana bisa, satu kendaraan roda dua dinaiki dua belas orang ? Akhirnya saya memutuskan untuk membuat satu pertanyaan. Jika seorang bisa menjawabnya dengan cepat dan tepat, maka dialah yang akan pergi bersama saya. Semuanya sepakat lalu menenangkan diri dengan harapan bisa menjawab dengan benar.

Pertanyaan pertama. “Pada tanggal berapakah, hari lahir Pancasila dirayakan ?” Serempak mereka semua menjawab, “Satu Juni, Pak.” Karena hanya mencari satu pemenang, saya lalu melontarkan pertanyaan ke dua dengan harapan hanya seorang saja yang berhasil menjawab dengan benar.

Pertanyaan kedua. “Sebutkan bunyi pancasila, sila ke tiga.” Semua mengangkat tangan dengan cepat, namun tak ada satu pun yang mengeluarkan suara. Mereka saling menatap satu sama lain, sambil bergumam. Baru beberapa detik kemudian semua menjawab, “Persatuan Indonesia.” Pertanyaan kedua pun belum menemukan pemenang. Saya lalu melanjutkan ke pertanyaan ke tiga.

Pertanyaan ketiga. “Siapakah Presiden pertama,… “Saya pak.” Orong mengacungkan tangan dengan sangat cepat, bahkan sebelum pertanyaan itu selesai saya lontarkan. Ia menjawab, ” Ir. Soekarno, pak.” Setelah saya memberitahu bahwa jawaban itu benar, Orong lompat kegirangan, sementara teman-teman lainnya terlihat kecewa.

Ini seperti kado yang istimewa bagi Orong, yang makan siang tadi lauk telur dadarnya diculik kucing. Ia menemani saya mengantar pesanan kue tradisional Odo, bahkan sampai ke Kecamatan Adonara. Sebuah perjalanan yang belum ia lakukan sebelumnya.

Oh ya, ini adalah kisah kami, duabelas anak-anak Komunitas Pondok Baca Nubun Puhun, Honihama Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur, NTT yang seharian berkumpul membuat kue tradisional Odo, lalu menjualnya. ***

oktavianus bali adonara

One comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *