
“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” (Matius 11:28)
suluhnusa.com – Injil pertama kali dikabarkan di Pulau Pantar dipusatkan di tiga Wilayah yaitu; Kabir, Latuna dan Tamalabang.
Pada tahun 1911, para Misioneer dan serdadu Belanda hadir bersamaan di Baranusa dengan dua misi yang berbeda, yaitu: Para Misioneer hadir untuk menyampaikan Kabar Keselamatan bagi umat Manusia, sedangkan Serdadu Belanda menjalankan misi penjajahan.
Dalam menjalankan misi, para Misioneer lebih dulu menjalankan misinya. namun sebelum menjalankan misi Penyebaran Injil secara terbuka, terlebih dahulu para Misioneer membuka Sekolah, lalu menempatkan Guru Injil/guru jemaat di sekolah-sekolah untuk mengabarkan Injil di wilayah sekitarnya.
Pada Tahun itu, untuk pertama menjalankan misi, para Missioneer mendirikan sebuah Sekolah di Baranusa dengan nama SD GMIT Blangmerang I (Sekarang ada di Desa Leer, Kec. Pantar Barat). Setelah mendirikan SD GMIT Blangmerang I, Para Misioneer melakukan Pekabaran Injil untuk pertama kalinya di Latuna, Wilayah Kerajaan Kulligang, karena pada masa itu penduduk Kerajaan Kulligang masih menganut kepercayaan Alam, sedangkan penduduk Baranusa sudah menganut Agama.
Pada waktu itu, Kabar tentang kedatangan Yesus Kristus diberitakan secara terbuka di Pasar kali Latuna, kemudian selanjutnya dilakukan di rumah-rumah warga, di pondok-pondok, di bawa pohon, di Kebun dan di padang-padang bahkan di jalan-jalan, karena memang tidak ada tempat penyembahan bagi Tuhan Yesus pada masa itu.
Kerajaan Kulligang merupakan Jemaat pertama yang menerima Kabar Keselamatan tentang kedatangan Tuhan Yesus Kristus mempunyai suku-suku antara lain: Suku Kawaly, suku Darang, suku Kalondama, suku Bonglammasali, suku Alingbong, suku Kallungeka, suku Tewang, suku Wabang, suku Beung, suku Ribu, suku Leer, suku Lupang, suku Kala, suku Koby, (Sekarang Kecamatan Pantar Barat dan Pantar Barat Laut).
Dua tahun setelah Injil diberitakan yaitu sejak tahun 1911, pada tahun 1913 Para serdadu Belanda mulai menjalankan misi klonialnya dengan melakukan kerja paksa/kerja rodi serta merampas/melucuti senjata lokal milik warga, sehingga mengakibatkan ketersinggungan para raja-raja di Pantar dan akhirnya timbul perlawanan dari rakyat.
Lamma Blegur seorang seorang kepala suku di Kerajaan Kulligang, berbicara atas nama Raja Kulligang, melakukan perundingan bersama Raja Mauta, Raja Tubbal dan raja De’ing dan bersepakat dan menyatakan perang melawan serdadu Belanda.
Sambil mempersiapkan waktu yang tepat untuk berperang, para pemimpin Wilayah ini memantau dan mempersiapkan beberapa medan yang tepat sebagai tempat untuk menghalau dan bertempur melawan serdadu Belanda, dan dua tempat yang disepakati adalah; Mo Kassi Ang sali (Wilayah Kerajaan Mauta) dan Pubila alas gaiti (Wilayah Lamma Blegur) dengan kesepakatan sebagai berikut: “hubbas maume haing waddang i’sidda si sing biring h’tang nauwa ha’ai na taggung gra pi ye’u. he kauwa aing naing waddang i’sidda si sing biring n’tang ma na’ai taggung gra pi ye’u”.
Artinya: “Jika senapan bunyi pertama di Pubila, saya akan kesana, kita bergabung dan bertempur bersama melawan mereka”, dan sebalikaya, Jika senapan pertama bunyi di Wilayah Mauta yaitu Mo Kassi ang sali, datanglah kesini, kita harus bergabung dan bertempur disini”.
Dari hasil pantauan dan perundingan itu, akhirnya disepakati agar perang dilaksanakan di Wilayah Kerajaan Kulligang yaitu Pubila me alas gaiti me, dengan pertimbangan bahwa medan di Pubila adalah perbukitan dan berbatuan, sehingga dipastikan akan mempersulit pergerakkan tentara Belanda sehingga dengan muda para pasukan Lamma Blegur bisa membunuh mereka dengan busur panah.
Dengan strategi sederhana yang di tawarkan saat perundingan itu, akhirnya Lamma Begur diangkat dan dipercaya sebagai Pemimpin/komandan Perang untuk memimpin Pasukan melawan Belanda oleh seluruh Raja yang menantang Perang Melawan Belanda.
Pada masa perang waktu itu, para serdadu Belanda semakin kejam dengan semena-mena memperbudak rakyat Pulau Pantar, tetapi para Missioneerpun berusaha membangkitkan mereka dengan terus menyampaikan Kabar Keselamatan tentang kedatangan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat bagi umat manusia di seluruh Dunia ini.
Pemberitaan Injil terus dilakukan hingga jauh ke seluruh Wilayah Jajahan di Pulau Pantar oleh Misioneer di tengah-tengah perbudakan yang dilakukan oleh Hindia Belanda, dan pada akhirnya pekabaran Injil oleh Misioneer itu mampu membentuk karakter orang Pantar yang memiliki moral dan nilai religius yang dapat mengontrol perilaku dalam menjalani hidup dan kehidupan sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna di dunia ini, sekalipun mereka ada di tengah-tengah penindasan dan perbudakan kolonial Hindia Belanda.
Pemberitaan Injil pada masa perang saat itu dilakukan tidak pada satu tempat, tetapi dilakukan secara berpindah-pindah, akhirnya pada Tahun 1922, para Misionaris mendirikan sebuah bangunan Gereja di Latuna sebagai tempat perlindungan bagi jemaat Tuhan dalam melaksanakan kegiatan ibadah dan kegiatan-kegiatan gerejawi lainnya, dengan nama gereja “GMIT Latuna” dan pada tahun itu juga para Misioneer juga membangun sebuah Sekolah Dasar yaitu SD GMIT Latuna (sekarang SD GMIT Kalondama I). Dan Misioneer menempatkan seorang Pendeta pertama bernama Pendeta Christian berasal dari Ambon untuk memimpin GMIT Latuna sebagai satu-satunya Gereja yang didirikan oleh Misionaris kepada Masyarakat di Pulau Pantar.
Kemudian pada Tahun 1937 para Guru Injil dari GMIT Latuna membuka beberapa gereja di wilayah lain yaitu: Gereja Alalau (GMIT Airmama), Gereja Deing (GMIT Maliang), Gereja Tubbal (GMIT Puntaru), Geraja Darang dan Gereja Sar Tolang.
Setelah sekian Tahun INJIL dikabarkan di Latuna, pada Tahun 1938, gereja Latuna dipindahkan ke Kai Haulung (nama kampung lama) dengan nama GMIT Latuna di Kai Haulung. Sampai pada 1957 GMIT Latuna di Kai Haulung pecah menjadi dua Jemaat yaitu; GMIT Latuna di Bia’ang Bunni dan GMIT Latuna di Kaihaulung, hal ini tidak terpikirkan bahwa apa yang dilakukan waktu itu akan menjadi sebuah sejarah bagi anak dan cucu hari ini dan masa yang akan datang.
Sekalipun GMIT Latuna sudah pecah, namun kedua pecahan Gereja itu masih memakai nama GMIT Latuna dan masing-masing tetap mempertahannya karena hanya nama GMIT Latuna yang terdaftar sebagai gereja di Sinode GMIT pada saat itu. Setelah Gereja terpecah, Jemaat Kai Hauling melakukan Ibadah di Rumah Warga sedangkan GMIT Latuna di Bi’ang Bunni membangun sebuah bangunan baru, karena Jemaat sudah merasakan bahwa gereja merupakan sebuah muara yang menjadi tempat melepaskan semua beban dan kepenatan hidup jemaat yang secara manusiawi sudah tidak mampu lagi diatasinya.
Sehingga apa yang dilakukan oleh jemaat merupakan perwujudan ajakan agung yang penuh ketulusan dari Tuhan Yesus Kristus dalam Injil Matius 11:28 “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.”
Akhir dari perjalanan panjang ini, Pada Tahun 1962 Jemaat Gereja Latuna di Bi’ang Bunni dipindahkan kembali ke Latuna tempat semula seiring berpindahnya seluruh penduduk kerajaan Kulligang, masing-masing mencari tempat untuk berkumpul dalam satu permukiman baru. Pada mulanya warga jemaat tinggal bermukim dalam satu Wilayah Kulligang, namun pada Tahun 1962 masing-masing suku memilih untuk menempatkan diri.
Sebagian suku Kawaly bersama suku Alingbong, suku Kallungeka, suku Tewang, suku Wabang, suku Ginni tetap menjadi Jemaat Latuna dan sebagian suku Kwaly menjadi Jemaat Allumang, suku Darang menjadi jemaat Darang, suku Kalondama menjadi jemaat Kalondama, suku Bonglammasali, suku Beung, suku Koby, suku Ribu menjadi jemaat Bolomasali, suku Leer, suku Lupang, suku Kala menjadi Jemaat Abarim Allung dan Jemaat Eklesia Subarang dan Jemaat Leer.
Akhirnya dibawa pimpinan kepala Suku Doling Lamma Blegur (Anak dari Lamma Blegur) dan Bailang Mauta Sely (kepala suku Kallungeka), maka Sebagian suku Kawaly bersama suku Alingbong, suku Kallungeka, suku Tewang, suku Wabang, suku Ginni tetap menjadi Jemaat Latuna, mereka berkumpul dan mendirikan sebuah permukiman yang Besar di Latuna setelah Gereja Latuna kembali ke tempat semula pada Tahun 1962. Dan pada Tahun 1965, untuk pertama kalinya Injil diberitakan secara besar-besaran di Pulau Pantar oleh Tim Penginjilan yang di Pimpin Oleh Pdt. Domni Adang dan Ratu Walu yang di pusatkan di dua Lokasi yaitu; Jemaat Muna Seli dan GMIT Latuna yang melibatkan seluruh masyarakat dan jemaat di Pulau Pantar, dari Timur, dari Barat dari Utara dari selatan, semuanya berbondong-bondong, berjalan kaki menuju Latuna untuk menerima Kasih dan penyertaan Yesus Kristus, mereka berkemah selama 7 hari dan tujuh malam selama pekabaran Injil berlangsung di GMIT Latuna.
Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1966, Jemaat GMIT Latuna membangun sebuah rumah ibadah semi permanen yang peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Pdt. Molina, dan Gedung tersebut sampai saat ini masih dipakai sebagai gedung kebaktian utama, dengan identitas Gereja waktu itu sebagai berikut:
Nama : Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Anggota PGI Klasis Pantar – GMIT Latuna
Alamat : Latuna – Desa Kalondama Kecamatan Pantar Barat, Kabupaten Alor – NTT
Nama Pendeta : Pdt. Simon Boling
Sebagai Jemaat mula-mula, GMIT Latuna menjadi jemaat induk dari 14 (Empat Belas) Mata Jemaat yang ada di Wilayah Pelayanan (WIPA) Latuna, Pdt. B. E. Illuko sebagai Ketua Wipa Latuna yang pertama. Sampai tahun 1995 WIPA Latuna dimekarkan menjadi 4 (empat) Wilayah Pelayanan di Klasis Pantar Barat, dan nama GMIT LATUNA dirubah menjadi “GMIT Imanuel Latuna”.
Dan GMIT Latuna masih menjadi Jemaat Wilayah bersama Mata Jemaat GMIT Ebenhaezer Lau’uki sampai tahun 2016 barulah Jemaat Ebenhaeser Lauukki dinyatakan menjadi Jemaat Mandiri.
Wilayah Pelayanan (WIPA) Latuna waktu itu sebagai berikut: Mata Jemaat Abarim Allung, Mata Jemaat Eklesia Subarang, Mata Jemaat Batu Putih, Mata Jemaat Beangonong, Mata Jemaat Lamma, Mata Jemaat Darang, Mata Jemaat Allumang, Mata Jemaat Bolomasali, Mata Jemaat Imanuel Kalondama, Mata Jemaat Imanuel Puntaru, Mata Jemaat Koliabang, Mata Mata Jemaat Alimake, Mata Mata Jemaat Ebenhaezer Lauuki, Mata Jemaat Calvari Baranusa.
Mula-mula Injil diberitakan pertama kali kepada ratusan Orang Pantar yang tidak percaya kepada Tuhan Yesus Kristus sejak Tahun 1911, namun sampai pada saat ini sudah lebih dari 50.000 ribu Orang Pantar yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat.
Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa! (Filipi 2:9-11). ***
Penulis : Jemy Koli
Narasumber:
Bapak Nathaniel Chr. Koly (Almarhum)
Bapak Welem B. Blegur
Siapa penerjemah dari Bahaha Indonesia ke Bahasa Lokal (Bahasa Masyarakat setempat)??