Menggugat Kelahiran Kembali UN

LARANTUKA, Salah satu wacana yang dilontarkan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Abdul Mu’ti di awal jabatannya adalah meninjau ulang pelaksanaan ujian nasional (UN) yang telah ditiadakan sejak 2021.

Wacana ini kemudian ditindaklanjuti dengan mengundang berbagai pihak untuk mengkaji UN. Hasilnya, UN akan diberlakukan kembali pada tahun 2026. Skema pelaksanaan UN akan diumumkan kemudian (Kompas.id, 04/01/2025).

Wacana melahirkan kembali UN mengundang polemik. Ada pro dan kontra. Pihak pro UN yang kecewa ketika UN ditiadakan di era Nadiem tentu sangat senang. UN bagi pendukungnya, akan memotivasi siswa untuk lebih giat belajar. Semangat belajar anak akan kembali menyala dengan adanya UN.

Sebalikya pihak kontra UN memandang kebijakan ini sebagai sebuah langkah mundur. Tekanan-tekanan yang dirasakan akibat UN kini harus dihadapi lagi oleh siswa dan guru. Dampak negatif tekanan stres dan kecemasan siswa, kecurangan akan muncul lagi.

Gelisah Resah UN

Mari kita lihat kilas balik UN selama ini. Dalam lintasan sejarah pelaksanaannya, nomenklatur UN beberapa kali diganti. Seiring dengan itu fungsi UN pun berubah-ubah. Awalnya UN dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa dan alat seleksi masuk perguruan tinggi. Fungsi ini kemudian diubah sebagai pemetaan mutu pendidikan.

Selama beberapa dekade, UN menjadi momok menakutkan bagi siswa, orang tua, dan guru. UN menjadi ajang penghakiman atas proses pendidikan anak. Keberhasilan atau kegagalan anak dalam belajar hanya ditentukan lewat ujian beberapa mata pelajaran.

Fungsi ini kemudian diubah, namun itu tidak menghilangkan dampak buruk UN. Tuntutan atas prestasi dan prestise menimbulkan kecurangan dalam pelaksanaannya. Dorongan untuk menghentikan UN terus disuarakan. Dan akhirnya, harapan itu diwujudkan di era Nadiem Makarim.

Maka kini ketika UN hendak dihidupkan lagi di era Abdul Mu’ti, wacana ini perlu digugat, terutama mempertimbangkan ekses negatif UN selama ini. Dengan demikian, keresahan – keresahan berikut, yang dirasakan saat UN dulu tidak terulang lagi.

Pertama, UN yang hanya mengukur kemampuan akademik menjadikan proses pembelajaran di sekolah hanya berfokus pada latihan menjawab soal dan mengerjakan ujian. UN membuat pembelajaran lebih berorientasi pada penghafalan materi ujian daripada pengembangan kompetensi siswa.

Pendidikan sebagai upaya mengembangkan kompetensi siswa direduksi dalam usaha menjejalkan pengetahuan semata. Ibaratnya, pendidikan hanya mengajarkan siswa ”tentang” memancing tanpa diajak mempraktekkan ”cara” memancing.

Model pendidikan seperti ini dikritik Rhenald Kasali karena hanya akan menghasilkan siswa bermental penumpang (passenger) dan bukannya sopir (driver). Dalam pendidikan yang menekankan hafalan, manusia yang dihasilkan bermental penumpang karena siswa tidak diajak untuk berpikir kreatif.

Sebagaimana penumpang dalam mobil yang hanya diam dan tenang, dalam pendidikan bergaya hafalan, siswa hanya menerima materi yang diberikan guru sambil melipat tangan dan duduk manis di bangkunya. Sebaliknya, sopir, tidak boleh mengantuk, apalagi tidur. Ia harus cekatan, gesit, berinisiatif dan kreatif. Manusia bermental sopir hanya dilatih dalam pendidikan yang menekankan kreativitas dan mengembangkan inovasi.

Kedua, UN yang hanya menguji mata pelajaran tertentu menjadikan mata pelajaran tertentu lebih penting dan mata pelajaran yang lain tidak penting. Padahal setiap mata pelajaran yang diajarkan tentu dengan pertimbangan bahwa subjek tersebut penting bagi siswa.

Apakah pelajaran Agama dan PKn, misalnya, yang mengajarkan tentang karakter dan moral tidak lebih baik dari pelajaran Matematika dan IPA? Sehingga anak yang karakternya baik, tidak layak lulus hanya karena nilai Matematikanya rendah? Apa landasannya sehingga sebuah subjek layak diujikan, dan yang tidak layak?

Diskriminasi terhadap subjek ajar ini berdampak pada proses pembelajaran di kelas. Ketika mendekati UN, guru mata pelajaran yang tidak diuji dalam UN harus rela jam pembelajarannya dipotong dan atau ditiadakan demi menambah jam mata pelajaran yang di-UN-kan.

Ketiga, tuntutan akan prestasi dan prestise melalui UN mendorong berbagai pihak melakukan kecurangan. UN, sebagai pemetaan mutu pendidikan, adalah ajang pertaruhan nama baik sekolah. Sekolah akan berlomba menjadi yang terbaik dalam capaian UN. Dalam kondisi timpang, sulit untuk menjadi yang terbaik. Karena itu segala cara dihalalkan. Sekolah akan berusaha menjaga prestise walau itu dengan menggadaikan integritas.

Anak pun akan berupaya untuk mendapatkan nilai tinggi dalam UN sebagai sebuah prestasi. Prestasi ini adalah tiket emas menuju perguruan tinggi.

Demi prestasi dan prestise ini, segala cara dilakukan. Sayang, upaya tersebut dilakukan dengan cara-cara haram. Kebocoran soal dan jual beli kunci jawaban, menyontek adalah fenomen jamak yang menghiasi pelaksanaan UN.

Kecurangan dan pelanggaran ini, oleh Anita Li disebut sebagai daya rusak UN sesungguhnya karena menafikan tujuan pendidikan itu sendiri. Suatu tindakan yang bertentangan dengan nilai dasar pendidikan.

Pendidikan Holistik

Pendidikan merupakan upaya untuk mengembangkan potensi diri siswa secara holistik. Sebagaimana tergambar dalam filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara yaitu menciptakan keseimbangan antara olah pikir (kognitif), olah hati (afeksi), olah rasa (estetika), dan olah raga (fisik). Ki Hajar Dewantara menekankan pendidikan tidak hanya menghasilkan manusia yang pinta otaknya tetapi juga memiliki kepekaan hati, jiwa yang halus dan raga yang sehat.

Pendidikan tidak hanya membangun generasi yang cerdas secara akademik, tetapi juga berbudi pekerti luhur dan bersikap baik. Karena itu pendidikan tidak hanya berfokus mempertajam pengetahuan semata, tetapi juga harus mengasah kemampuan emosional, moral, dan spiritual anak.

Sebagai medium pengembangan diri siswa, pendidikan harus berfokus pada kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik anak. Sebagai konsekuensinya, evaluasi pendidikan harus mengakomodir berbagai kompetensi diri siswa ini, bukan hanya berfokus pada kompetensi akademis saja.

Inilah yang mendorong Kemdikbudristek menghapus UN saat itu, agar pendidikan lebih fokus mengembangkan kemampuan siswa secara holistik tanpa terbebani tekanan kemampuan akademis secara berlebihan. Asesmen nasional (AN), sebagai pengganti UN, yang meliputi asesmen kompetensi minium (AKM), survei karakter, dan survei lingkungan belajar telah mengakomodir tuntutan ini.

Evaluasi pendidikan dalam bentuk AN dimaksud untuk mengubah paradigma pembelajaran dari sebelumnya hanya berfokus pada hafalan mata pelajaran tertentu menjadi fokus pada pengembangan kompetensi dasar siswa dan pengembangan literasi, numerasi, dan karakter peserta didik.

Di atas semuanya itu, penghapusan UN sesungguhnya menunjukkan bahwa pemerintah ingin mengembalikan kewenangan mengevaluasi pendidikan anak kepada sekolah dan guru. Sekolah dan guru yang paling tahu kemampuan setiap anak karena mereka yang membersamai anak dalam proses pendidikan.

Apakah sekarang, dengan menghidupkan kembali UN, pemerintah mau menarik kembali kepercayaan (trust) yang telah diberikan kepada guru untuk mengevaluasi pendidikan anak? +++

Geradus Kuma Apeutung, Guru SMPN 3 Wulanggitang, Hewa, Flores Timur.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *