
suluhnusa.com_ Badan Usaha Milik Desa sebaiknya berbentuk koperasi, agar rakyat di pedesaan mendapat ruang partisipasi di dalamnya.
Sebab, Badan Usaha Milik Desa adalah Lembaga Usaha Desa yang dikelolah oleh Masyarakat dan Pemerintah Desa dalam upaya memperkuat perekonomi desa dan di bentuk berdasarkan kebutuhan dan potensi desa.
BUMDes berbeda Lembaga Ekonomi Komersil lainya, karena Badan Usaha ini dimiliki oleh desa dan dikelolah bersama Modal bersumber dari desa sebesar 51% dan dari masyarakat sebesar 49% melalui penyerataan modal (Sahama tau andil) Operasionalisasinya menggunakan falsafah bisnis yang berakar dari budaya local Bidang usaha yang dijalankan berdasarkan pada potensi dan informasi pasar Keuntungan yang di peroleh di tunjukan untuk meningkatkan kesejaktraan anggota (Penyetara Modal) dan masyarakat melalui kebijakan desa.
Difasilitasi oleh Pemerintah Propinisi,Pemerintah Kabupaten dan Pemerintahaan Desa. Operasionalisasi di kontrol secara bersama oleh BPD, Pemerintah Desa dan Anggota) BUMDes sebagai suatu lembaga ekonomi modal usahanya dibangun atas inisiatif masyarakat dan menganut asas mandiri.
Artinya, pemenuhan modal usaha BUMDes harus bersumber dari masyarakat. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan BUMDes dapat mengajukan pinjaman modal kepada pihak luar, seperti dari Pemerintah Desa atau pihak lain, bahkan melalui pihak ketiga.
Inilah yang termaktub peraturan per undang-undangan (UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 213 ayat 3). Penjelasan ini sangat penting untuk mempersiapkan pendirian BUMDes, karena implikasinya akan bersentuhan dengan pengaturannya dalam Peraturan Daerah (Perda) maupun Peraturan Desa (Perdes).
Sesungguhnya, didirikan untuk meningkatkan Perekonomian Desa, meningkatkan pendapatan asli Desa, meningkatkan pengelolaan potensi desa sesuai dengan kebutuhan masyarakat, menjadi tulang punggung pertumbuhan dan pemerataan ekonomi desa.
Oleh karena itu perlu upaya serius untuk menjadikan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa dapat berjalan secara mandiri,efektif,efisien dan profesional.
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang akan dibentuk di semua desa di Indonesia, sebaiknya berbentuk koperasi, agar rakyat di pedesaan mendapat ruang partisipasi di dalamnya. Jangan perseroan karena tidak adaptif dengan budaya gotong royong di desa dan dikuatirkan dapat menguatkan individualisme di pedesaan.
Gubernur Frans Lebu Raya mengusulkan hal itu ketika hadir sebagai pembicara pada Acara Round Table Discussion (RTD) dengan tema Revitalisasi Pengelolaan Peternakan Sapi Nasional Guna Meningkatkan Ketahanan Pangan Dalam Rangka Ketahanan Nasional, Kamis, (6/8) bertempat di ruang Kresna Gedung Astagatra Lt.IV Barat Lemhanas RI.
“Saya sepakat dengan kelembagaan yang disebut koperasi, dan NTT memang dijadikan sebagai provinsi koperasi. Pada kesempatan ini saya menaruh harapan besar kepada Gubernur dan Wakil Gubernur Lemhanas RI agar mendorong BUMDES (Badan Usaha Milik Desa) dalam bentuk koperasi, sehingga saling membantu dan gotong royong tetap terjaga” demikian kata Gubernur Lebu Raya menanggapi sesi diskusi bersama peserta Round Table Discussion (RTD).
Gubernur Lemhanas RI, Prof. Dr.Ir.Budi Susilo Soepandji saat itu mengatakan, Presiden. Joko Widodo menegaskan, ada tiga masalah bangsa yang harus diselesaikan yaitu merosotnya kewibawaan negara, melemahnya sendisendi perekonomian nasional, merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian bangsa.
“Oleh karena itu kajian pada hari ini merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan amanah Presiden RI tersebut, khususnya terkait melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional dari sisi ketahanan pangan, terutama pada sektor pengelolaan peternakan sapi nasional,” kata Budi Susilo Soepandji.
Dia mengatakan, permasalahan sapi kini tidak lagi hanya menjadi isu nasional, namun sudah isu global yang melibatkan berbagai aktor, baik negara maupun non negara, bahkan sapi dapat dijadikan alat politik untuk meningkatkan daya tawar suatu negara.
Susilo Sospandji juga menjelaskan, posisi indonesia dengan jumlah penduduk terbesar ke-empat dunia dan dengan tingkat kesejahteraan maupun pendidikan yang terus meningkat, berdampak pada terus meningkatnya kebutuhan daging maupun susu sapi.
Berkaitan dengan upaya swasembada sapi nasional, Lemhanas RI pada tanggal 10 Juni 2015 yang lalu, telah melakukan serangkaian acara Focus Group Discussion.
Saat itu terungkap fakta bahwa permasalahan yang menghambat upaya perwujudan swasembada sapi sangatlah kompleks dan memerlukan penanganan secara khusus.
Beberapa permasalahan tersebut diantaranya terkait dengan aspek kebijakan; lemahnya infrastruktur dan perangkat pendukung; minimnya ketersediaan data base yang upto date dan valid; adanya unsur “pemain” yang diindikasikan mampu memepermainkan harga; tidak meratanya kualitas dan kuantitas peternakan sapi, mahalnya pakan sapi dan minimnya teknologi. (goristakene)