SULUH NUSA, LEMBATA – Indonesia sangat kaya akan sumber daya pangan lokal yang tersebar di masyarakat adat, seyogyanya ketersediaan pangan lokal yang beragam akan mendorong Penganekaragaman Konsumsi Pangan karena pada hakekatnya pangan dan konsumsi pangan merupakan hasil budaya dan dengan kearifan lokal menjadi potensi penguatan kedaulatan pangan nasional.
Membangun kedaulatan pangan mesti menjadi gerakan bersama dimulai dari kedaulatan pikiran karena pangan tidak hanya tentang makanan tetapi sebuah budaya.
Hal ini disampaikan Ahmad Arif, Wartawan Kompas yang menjadi narasumber Training of Trainer Fasilitator Sekolah Lapang Kearifan Lokal tahun 2024, program Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Dirjen Kebudayaan,. kemendikbudristek di Desa Waibao, Kabupaten Flores Timur, 6 Maret 2024.
Arif, Wartawan Kompas yang konsen terhadap isu kedaulatan pangan, perubahan iklim dan gempa bumi ini menjelaskan kegagalan sistem pangan global memberi pengaruh terhadap keberlangsungan pangan lokal di Indonesia.
“Saat ini sedang terjadi kegagalan sistem pangan secara global. Tetapi ada ketimpangan bahwa dilain pihak ada yang kelebihan berat badan karena kelimpahan makanan dan disisi lain ada masyarakat yang sedang stunting dan kekurangan gizi karena kekurangan makanan”, ungkap Arif.
Untuk menjaga kedaulatan pangan lokal secara nasional Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat adat, Dirjen Kebudayaan, Kementrian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, menggelar Sekolah Lapang Kearifan Lokal sejak tahun 2023 di Nusa Tenggara Timur untuk menjawab kecemasan kedaulatan pangan lokal.
“Kecemasan pada kurangnya kedaulan pangan melahirkan program SLKL sejak beberapa tahun terakhir. Tahun 2023 Direktorat Kepercayaan Terhadap TYE dan Masyarakat Adat, memilih NTT menjadi front terakhir kedaulatan pangan lokal”, ungkap Arif.
Menurut Arif, kedaulatan pangan masyarakat adat menjadi penting dalam gerakan budaya pangan ini karena masyarakat adat memiliki hak terhadap kedaulatan pangan.
Sistem pangan yang beragam di masyarakat adat menjadi rusak ada program yang menyamakan konsumsi pangan.
“Impor pangan meningkatkan tetapi gizi menjadi kurang. Sebagian besar masyarakat Indonesia mengkonsumsi gizi tidak seimbang. Pulau kecil terdampak paling parah. NTT konsumsi beras paling tinggi di NTT. Kebijakan pangan beras menyengsarakan pulau pulau kecil. Yang dalam istiralah saya menyebutnya dengan Gastrokolonialisme”, ungkap Arif.
Arif menyoroti juga terkait program Foodestate yang saat ini sedang masif digalakkan oleh Pemerintah, apakah menjadi solusi atau masalah.
Bagi arif, pemerintah Indonesia mestinya tidak boleh menyamakan program penanaman bibit yang sama untuk seluruh wilayah Indonesia.
Untuk itu kegiatan SLKL bertujuan untuk mengajak masyarakat berpikir kritis untuk meningkatkan kedaulatan pangan.
“Mendokumentasikan keberagaman pangan, Memproduksi, mengolah, dan cara menyajikan makanan juga bagian dari budaya. Pangan menjadi bagian penting dari budaya orang Indonesia. Indonesia memiliki keragaman sumber pangan. Dan karena masyarakat adat di pulau pulau kecil dan masyarakat adatnya mampu menjaga keragaman pangan lokal maka NTT menjadi front terakhir dari kedaulatan pangan melalui program SLKL”, ungkap Arif.
Karena itu daulat pangan akan berhasil bermula dari kedaulatan pikiran.
Kegiaatan ToT Fasilitator SLKL 2O24 diikuti puluhan Pandu Budaya dari Kabupaten Sikka, Kabupaten Lembata, Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata. Usai dilatih menjadi Fasilitator, Pandu Budaya ini dikirim 14 Pulau Kecil di Kabupaten Flotim, Kabupaten Alor dan Kabupaten Sikka, dalam program Sekolah Lapang Kearifan Lokal tahun 2024.+++sandro.wangak