SULUH NUSA, LEMBATA – Lembata, pulau yang kaya akan budaya dan keindahan alam, saat ini tengah menghadapi tantangan yang cukup berat.
Krisis pangan yang melanda wilayah ini telah menjadi ancaman serius bagi kesejahteraan masyarakat. Perubahan iklim yang semakin ekstrim telah mengganggu siklus pertanian, menyebabkan gagal panen dan berkurangnya ketersediaan pangan. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada ekonomi masyarakat, tetapi juga mengancam kesehatan dan gizi, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia.
Salah satu desa di kabupaten Lembata yang terkena dampak krisis pangan adalah Desa Tapobali.
Desa TapobalI saat ini tengah mengalami krisis pangan yang disebabkan oleh perubahan iklim yang signifikan. Krisis ini terjadi karena tanaman padi, jagung, dan sumber pangan utama lainnya gagal panen akibat kondisi cuaca yang tidak stabil.
Kondisi ini telah mendorong masyarakat setempat untuk mencari alternatif sumber pangan, seperti menanam sorgum, guna mengatasi ketidakpastian hasil panen.
Perubahan curah hujan yang tidak teratur mendorong petani di Desa Tapobali untuk menyesuaikan jadwal tanam mereka. Para petani selalu berharap-harap cemas sambil meminta restu pada semesta untuk memberi berkat lewat anugerah hujan. Barangkali, hujan bulan Juli kemarin akan membawa pertanda baik. Namun, apalah daya, semesta tak bersabda demikian.
Awalnya, musim tanam pada bulan Oktober bergeser karena perubahan pola hujan yang tidak menentu. Biasanya, pada hari raya Natal tahun-tahun sebelumnya, sajian utama di meja makan adalah jagung muda dan kacang-kacangan serta umbi-umbian. Kondisi demikian mengalami pergeseran yang signifikan.
Kondisi demikian memaksa petani setempat untuk mencari strategi baru dalam bercocok tanam, agar dapat memenuhi kebutuhan pangan di tengah lonjakan harga beras yang tinggi. Di tengah krisis ekonomi yang terpuruk, para petani terpaksa harus membeli beras untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dalam keadaan demikian, masyarakat sepertinya enggan untuk berganti pola makan dengan pangan lokal (jagung dan umbian-umbian).
Menghadapi tantangan demikian, upaya konservasi lingkungan juga menjadi fokus di Desa Tapobali dalam mengatasi krisis pangan. Komunitas GEBETAN yang merupakan kelompok muda-mudi di desa tersebut, aktif terlibat dalam upaya konservasi lingkungan. Mereka membuka lahan sorgum di kebun milik warga dengan total produksi yang signifikan. Selain itu, komunitas ini juga memproduksi kopi sorgum sebagai langkah diversifikasi pangan lokal.
Pemuda di Lembata, termasuk di Desa Tapobali, telah menyuarakan pentingnya tindakan konkret dalam upaya menyelamatkan lingkungan dan mengurangi dampak perubahan iklim. Mereka tidak hanya berbicara tentang masalah ini, tetapi juga menunjukkan komitmen nyata dengan menjadi pelopor gerakan konservasi lingkungan dan keberlanjutan pangan di wilayah mereka.
Mereka memahami bahwa perubahan iklim tidak hanya mengancam ketahanan pangan, tetapi juga mengancam kelangsungan hidup mereka. Oleh karena itu, mereka bertekad untuk mengambil peran aktif dalam melindungi lingkungan dan membangun masa depan yang lebih baik. Gerakan mereka diwujudkan dalam berbagai kegiatan, seperti penanaman pohon, pengelolaan lahan secara berkelanjutan, dan edukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan.
Melalui aksi nyata mereka, pemuda di Lembata menginspirasi komunitas setempat untuk ikut serta dalam upaya konservasi lingkungan. Mereka menunjukkan bahwa perubahan dimulai dari diri sendiri dan bahwa setiap individu memiliki peran penting dalam menjaga kelestarian alam untuk generasi mendatang.
Dalam melakukan gerakan konservasi tentu saja tidak berjalan dengan mulus ada juga tantangan yang harus dihadapi oleh para muda mudi di Desa Tapobali, kabupaten Lembata yaitu: 1) Keterbatasan Sumber Daya. Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan sumber daya, baik dari segi finansial maupun tenaga kerja. Gerakan ini memerlukan waktu, uang, dan energi yang cukup besar. 2) Perubahan Iklim: Perubahan iklim yang dapat mengganggu upaya konservasi adalah kekeringan, atau perubahan cuaca yg ekstrem sehingga dapat merusak ekosistem yang ditanam. 3) Kurangnya Kesadaran dan Pendidikan Lingkungan: kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya konservasi lingkungan. Kurangnya pemahaman tentang ekosistem dan keberlanjutan ini bisa menghambat partisipasi dalam gerakan konservasi. 4) Keterlibatan Komunitas Lokal: Ada juga tantangan dlm membangun keterlibatan aktif dan berkelanjutan dari komunitas lokal dalam gerakan konservasi. Tanpa dukungan dan partisipasi dari masyarakat setempat, upaya konservasi mungkin akan sulit untuk dijalankan dengan efektif.
Dengan begitu ada beberapa upaya yang bisa kita lakukan untuk mengatasi tantangan-tantangan dlm melakukan gerakan konservasi yaitu, melakukan Kerjasama dengan berbagai pihak, seperti pemerintah, LSM, dan masyarakat, untuk bersama-sama membiayai dan menjalankan program konservasi, memberikan edukasi kepada masyarakat desa tentang pentingnya konservasi, dampak negatif dari kerusakan lingkungan, serta cara-cara untuk menjaga kelestarian alam serta melibatkan aktif masyarakat desa dalam proses konservasi ini.
Untuk mengatasi semua persoalan ini, ada beberapa solusi yang bisa diterapkan. Pertama, pemerintah perlu melakukan study geolistrik untuk mengatahui titik-titik air tanah yang kemudian bisa dimanfaatkan untuk pengeboran sumur air tanah dalam. Nah, fungsi sumur bor itu bisa untuk pertanian, air bersih, dan ternak sehingga bisa digunakan dalam jangka panjang. Kedua, membangun embung-embung kecil pada lokasi yg sesuai untuk menangkap seluruh alirang air permukaan. Ketiga, petani bisa menanam tanaman yang lebih tahan terhadap cuaca kering, seperti ubi jalar dan kacang-kacangan. Tanaman-tanaman ini lebih mudah beradaptasi terhadap cuaca ekstrem. Keempat, penggunaan sistem irigasi hemat air dan penampungan air hujan akan sangat membantu dlm mengatasi masalah kekurangan air. Pemerintah juga bisa memberikan pelatihan kepada petani tentang teknik bercocok tanam yang lebih tahan perubahan iklim. Dukungan seperti ini akan membantu masyarakat Desa Tapobali menghadapi krisis pangan dengan lebih baik dan berkelanjutan.
Akhir kata, dalam upaya menyelamatkan Lembata dari krisis pangan, kalimat ajakan yang mungkin saja menjadi alternatif untuk mengatasi upaya tersebut ada satu slogan menarik dari Sekolah Lapangan Kearifan Lokal kabupaten Lembata yang bisa kita gaungkan adalah: “Tanam Apa yang Kita Makan, Makan Apa yang Kita Tanam. +++