suluhnusa.com – Wakil Bupati Flores Timur, saat Perayaan Natal 2018 dan menjelang tahun baru 2019 lalu memilih tidak melakukan open house di rumah jabatannya. Agustinus Payong Boli, Wabup Flotim memilih ‘open house’ dari pulau ke pulau di Kabupaten Flores Timur.
Dia berkeliling dari pulau ke pulau di Kabupaten Flores Timur, mengunjungi masyarakat untuk meminta maaf kepada publik daripada bikin open house di rumah jabatannya. Pencitraan atau bukan, pilihan etik, Payong Boli ini menarik.
Dengan memilih jalan ini, Wabup Flotim, Payong Boli memafhumkan publik bahwa pejabat pemerintahlah yang banyak bersalah, maka sepantasnya mohon maaf kepada masyarakat. Dan pemerintah menjadi kuat karena rakyat.
Open House adalah sebuah tradisi yang sering dan bahkan selalu dilakukan oleh pejabat-pejabat pada hari besar seperti Natal, Tahun Baru, Idul Fitri dan lain sebagainya. Tapi kali ini, Open House dibumikan secara besar-besaran di lingkup masyarakat, yang mana direncanakan oleh anak Tanah Tadon Adonara, dan sekaligus sebagai Wakil Bupati Flores Timur, Bapak Agustinus Payong Boli.SH, yang berlokasi di kecamatan Kelubagolit. Open House hari pertama.
Dihadiri camat sedaratan Adonara, Witihama, Wotan Ulumado,Ile Boleng, dan beberapa camat lainya, tidak hanya itu, sebagian besar masyarakat Adonara turut mengambil bagian dalam resepsi persaudaraan ini.
“Open House itu hajatan para pejabat, yang di selenggarakan di rumah jabatan. Tapi saya tidak, jika ini diperuntukkan untuk pejabat, lalu masyarakat kapan??” ungkap Payong Boli saat itu.
Saya mencanangkan ini karena, dengan ini saya bisa berbaur dengan “Kaka arik, ina ama wahan kae”(saudara/saudari, ibu/bapak semua) untuk membawakan damai Natal di tanah kelahiran saya, dan dengan itu, ini bukan lagi dengan istilah Open House, melainkan Open Heart, (Buka Hati) menerima dan memberi hati kepada seluruh masyarakat.
“Artinya saya berdiri disini bukan karena sebagai Wakil bupati, melainkan anak lewotanah “nimun”(putra daerah). Oleh itu, dengan ini saya mau menyampaikan kepada (kaka arik, ina ama wahan kae), kita semua patut menyadari, bahwa sebenarnya kita adalah satu dari nenek moyang yang satu”Ile Jadi, Woka Buruk”(yang lahir dari rahim kampung halaman). Jadi jika dahulu nenek moyang menyelesaikan konflik dengan berakhir “Beliwa”(perang), kita sebagai anak cucu akhiri itu,” tukas Wakil Bupati dalam sambutannya.
Jadi inti dari seluruh kegiatan hari ini, selain menjalin perdamaian bersama Sang Emanuel yang lahir(Natal), juga ingin mendamaikan seluruh masyarat Adonara dari konflik-konflik yang berujung dengan pertumpahan darah. Rencana ini akan dicanangkan di tahun 2019 mendatang.
“Pai tite taan One tou, kiri taan eha, hikun teti, wanan lali, lein lau, werang rae, tite taan soga nara lewotanah, Tanah Tadon Adonara”.
Indra Tranggono, Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan, menulis, open house menguat saat Orde Baru berkuasa. Gaya kepemimpinan Presiden Soeharto yang feodal—mirip raja-raja Jawa—itu mampu melakukan penaklukan kolektif atas publik sehingga ia jadi figur sentral yang otoriter dan menakutkan. Kewibawaan (bisa jadi semu) pun terbangun.
Celakanya, kini tradisi open house masih dijalankan, bahkan makin menguat sebagai jalan feodalisasi tokoh dan kekuasaan. Feodalisme ternyata nikmat, termasuk bagi penyelenggara negara pasca-Orde Baru.
Mereka ramai-ramai menjelma jadi raja- raja kecil untuk ”disembah” publik yang diposisikan sebagai kawula. Kepentingan lainnya adalah mendapat berbagai privilese. Pola relasi yang terjadi adalah patron-klien. Patron dianggap berhak jadi sumber kehendak, misalnya memimpin dengan orientasi privat untuk soal-soal yang bersifat publik. Negara dan masyarakat seolah jadi miliknya, ditaruh di saku celana untuk digerogoti demi kepentingan sendiri. Kepemimpinan nasional (eksekutif, legislatif, yudikatif) pun jalan dengan kelemahan kontrol.
Semua urusan yang menyangkut hak-hak rakyat cenderung berlangsung dan diselesaikan di ruang gelap: dari soal transaksi kekuasaan, praktik-praktik kemakelaran, politik kartel, hingga pembobolan uang rakyat.
Open House para pejabat menjadikan publik mengalami penaklukan secara psikologis sehingga pejabat negara terpahami sebagai pihak yang memonopoli kebenaran. Padahal dalam praktik-praktik pelayanan publik, penyelenggara negaralah yang selalu (sengaja) khilaf sehingga hak-hak publik tertelantarkan.
Maka, sewajarnyalah penyelenggara negara yang meminta maaf kepada publik yang berposisi sebagai korban kebijakan dan praktik-praktik penyimpangan. Namun, sudah jadi tabiat, pejabat tidak mau berbesar jiwa mengakui kesalahan dan kekurangan dalam pelayanan. Mereka pun membangun citra sebagai sumber kebenaran dengan memanfaatkan momentum hari raya besar keagamaan melalui tradisi open house. Dan tabiat ini ditepis oleh Wabup Flotim, Payong Boli. Close House, di rumah Jabatan dan Open House di Hati Rakyat.
Jalan profetik Dalam konteks perkembangan kebudayaan, open house sama sekali tidak memberi makna bagi terbangunnya civil society yang antara lain dicirikan dengan kemandirian, kesetaraan, etika, dan etos. Ini semua bermuara pada penguatan bangsa yang tercerahkan secara profetik, yakni bangsa yang terbebaskan dari berbagai kungkungan (kemiskinan, ketakadilan, kebodohan) dan pendangkalan nilai serta meningginya eksistensi sebagai manusia.
Agama dan tradisi-tradisi kebudayaan telah memberi banyak narasi yang inspiratif bagi para penyelenggara negara dalam konteks kepemimpinan bangsa. Agama dan tradisi budaya selalu meletakkan berbagai otoritas di bawah kepentingan publik, bukan sebaliknya.
Dalam konteks itu, pemimpin selalu berada di depan, dengan pasang badan demi kepentingan publik, tetapi selalu ikhlas untuk berada di belakang terkait dengan kepentingan material/nonmaterial. Dalam tradisi Lamaholot, pemimpin harus rela memberi badan untuk kepentingan ataribu-publik.
Dengan otoritasnya, pemimpin menjalankan regulasi agar seluruh aset negara terdistribusi secara adil, bukan malah mengakali regulasi untuk me-nilep hak-hak publik. Tradisi open house demi mengelap-lap ”kewibawaan” penyelenggara negara, pejabat, dan pelayan publik berpotensi untuk dieksploitasi demi memborong kebenaran yang pada umumnya menyimpan kesalahan.
Karena itu, selayaknya penyakit sosial itu disembuhkan melalui cara-cara yang lebih bermartabat. Saatnya para penyelenggara negara rendah hati untuk lebih memiliki rasa bersalah dan berdosa atas peran-peran sosialnya yang selama ini cenderung mengecewakan publik. Minta maaf kepada publik bukan hanya dengan mendatangi mereka, melainkan yang utama adalah menjalankan fungsi pelayanan yang distributif dan adil.
Jangan menambahi kesusahan hidup rakyat dengan menyuruh mereka meminta maaf melalui open house di rumah jabatan sang pejabat. Begitulah Tabiat Etik Payong Boli, Close House Rumah Jabatan dan Open House Rumah Rakyat-menutup rumah jabatan Wakil Bupati Flotim dan membuka rumah rakyat dari pulau ke pulau.***
sandro wangak ¦¦ Foto foto : Azam Putra Lewokeda