suluhnusa.com – Pada akhirnya, aku hanya ingin merdeka, menjadi manusia bukan mesin, Aku ingin merasakan semua emosiku hadir sempurna, menyelami semua mimpiku, menikmati senja, sunset yang bergerak menuju bulan, menghirup semua pengalaman, meresapi harum bunga saat pagi beserta orang-orang yang kusayangi dan menyayangiku, berapakah harga yang harus dibayar untuk itu??
Apakah aku harus menyerahkan diriku untuk dijadikan komoditi??
Tidak…. Aku memilih melarikan diri!! Aku menghindar! aku tidak mau berdiri dibarisan orang-orang yang menunggu aba-aba.
Aku melarikan diri dari proyek besar penyeragaman’ aku tidak mau menyerah pada kekuatan yang hadir dalam persepsi kebanyakan orang, sejarah yang dimanipulasi, pengetahuan yang dikooptasi, kebutuhan palsu yang dipaksakan dan kesemua itu ada di setiap ruang, di susupkan melalui warna mereka, kata-kata mereka, bunyi-bunyian mereka juga suara mereka yang tentu saja menghasilkan pemikiran seperti yang mereka inginkan!
Aku menolak untuk berada dibarisan itu…
Aku memilih menciptakan ruang dalam hidup harianku, menciptakan surgaku sendiri bersama mereka yang masih memiliki ketulusan di tengah imperium yang diam ini, menulis sejarahku sendiri karena sejarah bukan hanya tentang mereka yang menang perang, juga bukan saja tentang diriku tapi juga tentang mereka yang menangis dan tertawa bersamaku, sejarah bukan tentang jenderal-jenderal besar tapi juga tentang mereka yang kecil dan tertindas.
Dan Jangan tanyakan apa-apa disini, hujan dan gerimis tak pernah bersahabat lagi, meskipun kadang menggigil seperti bayi tanpa selimut. Debu-debu menempel dikorden jendela meski dibeberapa tempat separuh bahu jalan mulai ditutupi semen.
Sudah dua bulan mendung tak lagi bermain-main diatas awan, daun-daun rontok dan serpihannya kadang masih melayang-layang dipinggir jalan. Aku meraba jejakmu di lorong kecil persis di samping gereja tua, masih ada sisa sisa keramahanmu diantara debur angin yang menderu.
Pepohonan, harum udara dan awan putih selalu membawaku pada ingatan tentangmu! Aku melihatmu berlari di sela hembusan angin menyapa mentari dan menjadikannya hangat. Sandosi – Saya Anak Indonesia.
Catatan ini hanya sebuah ungkapan seorang anak Kampung di pedalaman Pulau Adonara, Fabi namanya. Kampung itu bernama Sandosi. Letaknya di lereng gunug Ile Boleng, di Kecamatan Witihama.
Walau hidup dikampung, lereng Ile Boleng mereka tidak pernah mati berkreasi sebagai anak Indonesia. Bahkan nama Kamopungnya Sandosi dipelesetkan menjadi Saya Anak Indoensia.
Menjelang 17 Agustus 2017, Anak muda Sandosi bersama warga bergotong rouong menata desanya menjelang perayaan 72 tahun Indonesia merdeka. Mereka merayakan dengan cara yang unik. Dua tahun lalu, di saat Kemerdekaan Indonesia berulan tahun ke 70, ana anak muda Sandosi mengibarkan bendera Merah Putih di atas Nuha Peket, Pantai Bani, sebuah pulau dengan legkungan curam paling Timur Adonara.
Tahun ini, mereka punya cara unik merayakan 72 tahun Indonesia Merdeka. Anak anak muda Sandosi, bersama warga bukan hanya menata lingkungan menjadi asri jelang perayaan tetapi mereka bahkan melukis wajah wajah para pahlawan di sepanjang lorong Desa Sandosi. Entah di atas batu. Entah pula di atas bale bale tempat nongkrong orang Kampung saat sore menjelang malam.
Memperingati kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah menjadi kewajiban bagi setiap warga negara indonesia. Berbagai aktifitas yang dilakukan oleh warga masyarakat untuk menyongsong HUT RI Tgkl 17 Agustus setiap tahunya.
Ada yang memperingatinya dengan mengibarkan bendera mrerah putih di depan rumah masing-masing, ada juga yang mengibarnya di atas gunung dan lebih gilanya lagi ada yang mengibarkan bendera Merah Putih di dasar laut.
Sabtu, 30 Agustus 2017 di Desa Sandos, Kecamatan Witihama, antusias anak muda kampung untuk menyongsong HUT RI Ke-72 terbilang unik dan luar biasa. Oskar Kwaelaga bersama Anak muda Sandosi mengekspresikan rasa cinta tanah air mereka dengan cara menggambar wajah Ir. Soekarno dengan tulisan slogan sederhana NKRI Harga Mati.
Tidak hanya itu, mereka juga memasang bendera merah putih serta umbul-umbul di sepanjang jalan utama desa.
“Merdeka itu kebebasan tanpa ragu, maka dari itu kami anak muda Sandosi tanpa ragu mengekspresikan rasa cinta tanah air kami dengan cara sederhana, yaitu dengan mengibarkan bendera merah putih di sepanjang jalan dan juga melukis wajah-wajah para pejuang, sehingga kita dapat mengenang kembali jasa para pahlawan kita yang berjuang untuk kemerdekaan indonesia dimasa itu,” ungkap Oskar Kwaelaga.
Selain itu mereka juga membuat Gapura Desa dari bambu yang dipimpin langsung oleh Kepala Desa Sandosi, Beatus Beda Nama.
Pembuatan gapura ini pula sebagai bentuk persiapan menyongsong perlombaan antar desa sekecamatan Witihama.
Uniknya lagi, Kepala Desa Sandosi, Beatus Beda Nama, megangkat tema perayaan 72 tahun Indonesia tingkat desa ini adalah “Saya Anak Indonesia” disingkat SANDOSI sesuai nama dsa tersebut. (bone penana)