Dari Flotim Menuju Lembata, Hujan Kreativitas ‘Bertungkus Lumut’

suluhnusa.com – Dari balik rimbun dedaunan mangga di depan gubuk bambu persinggahan ini, langit Adonara tampak hitam memekat di mata. Awan mendung yang menggantung pekat menutupi langit, seumpama tirai hitam menghijabi panggung pementasan sandiwara. Sementara, halilintar berkilat-kilat memancarkan cahaya putih, seolah membentuk garis-garis retak pada wajah langit pekat. Gelegar guntur pun susul-menyusul saban kali selepas langit berretak cahaya kilat.

Hujan belum jua reda. Bahkan, guyurannya semakin lebat menyirami seluruh isi pulau ini. Sementara, saya yang berteduh seorang diri di depan sebuah gubuk bambu pinggir jalan Desa Riangwale, semakin didera gigil yang tak terkira.

Bagaimana tidak gigil? Semenjak keluar rumah di Lamahala dengan menunggangi Si Jupe, motor kesayangan, gerimis telah bersuka ria memandikan raga ini. Dan begitu memasuki Desa Riangwale, hujan turun semakin lebat hingga memaksa jasad ini berteduh di gubuk bambu tua beratap daun alang-alang ini.

Dalam perasaan yang lumayan kesal lantaran terjebak hujan lebat di tengah jalan, saya meraih android dari dalam saku celana. Lalu, mengaktifkan paket data internet. Hendak saya mengecek keberadaan teman-teman pengurus Agupena Flotim lainnya yang akan melakukan Tour Literasi ke Lembata Jumat (14/12) sore ini. Kehadiran kami di Lembata ini untuk menghadiri undangan Bincang Literasi dan Pentas Seni yang digelar oleh SMPN 1 Nubatukan atau Spensa Nuba malam nanti.

Beruntun pesan masuk bersusulan dalam akun WAG Panitia Harlah Agupena, entah foto, video, atau sebatas kalimat-kalimat pendek. Pesan terakhir yang muncul disertai gambar yaitu tim tour, sudah berada dalam kapal penyeberangan di Dermaga Boleng. Mereka itu yakni Ama Maksimus Masan Kian, Bang Apong Hurint, Bang Valentinus Ballack Wathon, Ama Juan, Bang Azam Putra Lewokeda, dan Adik Victorianus Hokon. Mereka ditemani seorang wartawan suluhnusa.com Ama Sandro Balawangak.

“Saya tunggu konfirmasi terakhir. Kalau teman-teman menunggu, saya korban lari motor ke sana walau basah kuyup,” tulis saya membalas pesan Ama Maksi.

“Kami tunggu!” balas Ama Maksi.

Selecut kenekatan tiba-tiba merasuk dalam tubuh, hingga memaksakan saya kembali menunggangi Si Jupe dalam gigil yang belum usai. Perlahan tapi pasti, saya meninggalkan gubuk tua itu dengan semangat empat lima lantaran tidak ingin mengecewakan teman-teman yang sudah sudi menunggu kedatangan saya.

Bertungkus-lumut, saya bersama Si Jupe membelah lebatnya guyuran hujan sepanjang jalan dari Riangwale ke arah Boleng. Perjalanan saya tidak terlalu laju sebab jarak pandang hanya beberapa meter sahaja. Belum lagi, kondisi jalan raya yang digenangi air hujan serta lubang-lubang jalan yang berisi kubangan air, membuat perjalanan saya tidak cepat-cepat amat.

Dua puluh lima menit kemudian, saya bersama Si Jupe sudah tiba di Pelabuhan Boleng.

“Ama, masuk cepat!” teriak Ama Maksi dari dalam kapal begitu moncong Si Jupe sudah hampir mengecup bibir kapal. Demikianlah, Ama Maksi, kata cepat seolah tidak pernah lepas dari bibirnya dalam kesempatan apa saja.

Tanpa buang waktu, saya segera meloncat ke atas kapal lalu berpelukan dengan satu persatu tim tour yang sudah ada di dalam kapal. Usai berpelukan layaknya Tinky Winky, Dipsi, Lala, dan Poo yang ditikam jarum-jarum kerinduan, saya  bergegas ke bagian belakang kapal untuk mengganti pakaian. Tak selang lama sekembalinya saya berganti pakaian, jangkar kapal ditarik dan jasad kapal berangsur meninggalkan kecupan hangat bibir Dermaga Boleng.

Setelah melewati hampir satu jam perjalanan disertai gelombang demi gelombang laut yang naik turun seirama naik turunnya dugup jantung di dada, tibalah kami di Dermaga Lewoleba, Lembata. Di depan dermaga, telah berdiri Kepala SMPN 1 Nubatukan Ama Melkior Muda Making dan Kepala SMPN 2 Nubatukan Ama Ady Da Silva bersama seorang sahabat mereka, sembari menyunggingkan senyuman manis demi menyambut kedatangan kami. Begitu menginjakkan kaki di dermaga, rangkulan demi rangkulan kami dapatkan dari ketiga pemuda ini demi memberi suasana hangat.

“Kita ngopi dulu sejenak sebelum ke penginapan,” usul Ama Melki diikuti anggukan bahagia kami.

Salah satu warung makan di depan Jeti Lembata menjadi sasaran kami. Usai menyeruput secangkir kopi serta sebatang canda tawa, kami bergegas ke penginapan untuk bersiap-siap ke lokasi acara sebab waktu sudah menunjukkan pukul enam petang, sedangkan acara akan dimulai pada pukul tujuh malam.

*****

Gerimis mengiringi perjalanan tim Agupena Flotim menuju Aula Ankara, tempat pelaksanaan kegiatan. Begitu saya memarkir motor di pelataran aula, tampak beberapa siswa sudah berdiri di depan pintu masuk aula membentuk pagar ayu.

“Selamat malam, Pak!” ujar mereka bersamaan diikuti gerakan tangan membentuk penghormatan di depan dada. Saya pun membayar ucapan salam mereka dengan sebuah senyuman paling manis yang saya punyai.

Agupena Flotim mendapat tempat duduk di barisan depan sisi kiri bersama Bos Nara Teater Bang Silvester Hurit. Untuk menghangatkan suasana, saya dipersilakan oleh Ama Adi da Silva untuk menyumbangkan suara perak saya sebelum acara dimulai. Bermodal keberanian dan suara yang pas-pasan, saya mewakili Agupena Flotim untuk bernyanyi. Begitu menggenggam pelantang suara, saya menyapu pandangan kepada audiens. Ternyata, di sisi kanan penonton, saya dapati seorang perempuan penulis asal Lembata, Fince Bataona. Saya pun menyapanya sebelum bernyanyi.

Acara inti dimulai. MC membuka acara dan mempersilakan Ama Melki menyampaikan sambutan. Dalam sambutannya, Ama Melki memaparkan tujuan acara. Bahwa tujuan acara ini yakni menjadi ruang pembelajaran bagi seluruh masyarakat Lembata, khususnya siswa-siswi Spensa Nuba, atas ilmu dan pengalaman yang disampaikan oleh Agupena Flotim dan Nara Teater.

Perwakilan dari Dinas Pariwisata Lembata pun didaulat untuk menyampaikan sambutan selanjutnya. Beliau memberikan apresiasi atas inovasi dan kreativitas Spensa Nuba karena menggelar pentas seni sebagai ajang untuk mempromosikan sekolah sekaligus kesenian dan kebudayaan Lembata kepada khalayak.

Tibalah pada acara Bincang Literasi. Dipandu Ama Adi da Silva, Bincang Literasi menghadirkan tiga pembicara, yakni Ketua Agupena Flotim Maksimus Masan Kian, Kepala SMPN 1 Nubatukan Melkior Muda Making, dan Pendiri Nara Teater Silvester Petara Hurit.

Bincang berjalan kira-kira sejam dan diakhiri dengan penyerahan piagam dari Spensa Nuba kepada para narasumber. Tidak lupa, Agupena Flotim juga menyerahkan sebuah piagam penghargaan kepada Spensa Nuba atas partisipasi pada acara puncak Harlah ke-12 Agupena di Larantuka beberapa waktu lalu. Juga, penyerahan buku Revolusi Mental ala Guru, Kumpulan Esai Pendidikan oleh Para Guru se-Kabupaten Flotim yang diselenggarakan oleh Agupena Flotim, oleh perwakilan Agupena Flotim kepada Spensa Nuba.

Pentas seni pun dimulai. Nara Teater mempersembahkan pementasan teater Ina Lewo sebagai pembuka pentas seni. Zaeni Boli, Asy’ari Hidayah Hanafi, dan kawan-kawan berhasil memukau penonton dengan adegan-adegan yang memukau. Totalitas karya besutan Silvester Petara Hurit benar-benar tersaji di atas panggung. Lihat saja, bagaimana setiap pemain memerankan karakter sesuai peran, penataan panggung dan pencahayaan yang sesuai, kostum para pemain, hingga riasan wajah pelakon yang menjadikan pementasan berjalan nyaris sempurna.

Hal yang paling menonjol dari pementasan ini yakni kematangan isi karya yang mengangkat tema pemberontakan perempuan Lamaholot yang selama ini menjadi subordinat laki-laki. Belum lagi kalimat-kalimat bijak dari setiap perkataan para pelakon menjadikan pementasan ini berkualitas. Btw, untuk ulasan Teater Ina Lewo, akan saya paparkan pada tulisan berikutnya.

Usai Nara Teater tampil, Spensa Nuba mulai menghujani penonton dengan berbagai kreativitas para siswa yang sangat memukau mata penonton. Di antaranya Tari Baleo, Tari Parayaan Panen, Nyanyian dan Koreo Maulana, Tari Elang, serta beberapa pertunjukkan lainnya. Keseluruhan penampilan siswa-siswi Spensa Nuba tidak kalah menyedot penonton sebagaimana penampilan Nara Teater sebelumnya. Adapun semua tarian dari Spensa Nuba ini karya asli Spensa Nuba dibina oleh guru kesenian di sekolah dengan jumlah siswa kisaran tujuh ratus orang ini.

Untuk pementasan Spensa Nuba, saya lebih tertarik pada Tari Baleo. Sebab, tari ini mengisahkan tentang prosesi penangkapan ikan paus oleh masyarakat Lamalera. Peragaan dimulai dengan pelaksanaan ie girek, prosesi memanggil paus, dilanjutkan dengan teriakan Baleo Baleo untuk menandakan adanya ikan paus yang tengah berenang di laut. Gerakan selanjutnya yakni para nelayan penangkap paus ini membentuk barisan berdasarkan tugasnya masing-masing. Mulai dari Lamafa atau juru tombak, Breung Alap atau juru perentang tali, para pendayung, hingga Lamaurin atau juru mudi.

Adegan selanjutnya yakni para pelaut mendorong kapal, yang disebut peledang, menuju laut. Tahap demi tahap ritus ini selalu diselingi dengan doa secara Katolik, sebagai agama satu-satunya penduduk Lamalera. Pada termin selanjutnya, Lamafa meloncat untuk menombak ikan paus, lalu beberapa temannya ikut meloncat menikam paus. Para pelaut pun menarik bangkai paus dengan menggunakan peledang menuju ke pantai. Pada bagian brikutnya, muncul ibu-ibu yang menjajakkan ikan paus dengan menerapkan tradisi jual-beli berter. Sampai akhir tarian, sungguh saya amat terhipnotis.

Tari Elang menutup rangkaian acara pentas seni malam itu. Para personil, pendukung acara, dan penonton berpose bersama lalu berjoget bersama sebelum meninggalkan arena. Tak terasa, jarum jam sudah menunjukkan pukul nol nol awal hari. Tim Agupena Flotim pun kembali ke penginapan. Lantaran belum santap malam, tim Agupena Flotim menyempatkan diri makan malam di sebuah warung makan di daerah kisaran Dermaga Lewoleba, sebelum akhirnya kembali lagi ke penginapan dan memejamkan mata demi mengistirahatkan diri.***

Muhamad Sole Kadir [pr]

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *