suluhnusa.com – Persoalan pemasangan jaringan listrik di Tanjung, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur mendapat perhatian serius Pemerintah Kabupaten (Pemkan) Lembata. Bupati Lembata Eliyaser Yentji Sunur mengundang forum komunikasi pimpinan daerah (Forkopimda) Lembata dan pimpinan DPRD Lembata serta anggota Dewan dari Ile Ape.
Bupati Sunur dalam rapat di ruang rapat kantor Bupati Lembata, Jumat 9 Februari 2017 mengatakan, persoalan pemasangan tiang listrik di Tanjung, Kecamatan Ile Ape harus segera diselesaikan. Persoalan hak ulayat tidak boleh menghambat proses pembangunan walau secara hukum hak ulayat diakui oleh pemerintah.
“Ini jadi referensi bupati untuk ambil keputusan pembangunan di daerah ini. Sudah pelajari persoalan. Kalau kembali ke masa lalu akan susah menjadi orang lebih hebat lagi,” tegas Sunur.
Sebagai bupati, ia mengaku iri dengan Ile Ape dan Ile Ape Timur yang akan lebih dahulu mencapai 100 persen penyambungan listrik ketimbang di Kedang. Karena itu, kalau masih bermasalah maka akan dipindahkan penasangan di lima desa tersebut ke Kedang.
Untuk itu, ia meminta Kesbangpolinmas untuk turun dan membuatkan laporan agar pekerjaan bisa dilanjutkan dan meminta bantuan aparat keamanan untuk menjaga kondisi kondusif. Sebab, jika tak secepatnya dilakukan akan mengganggu pekerjaan.
“Tidak ada konflik. Di sana hanya ada selisih paham dan sedang upaya padukan agar sinergi,” katanya.
Jika sudah tak ada persoalan lagi dan sudah tak ada lagi permasalahan dengan tiang lain, lanjut Sunur, ia meminta boleh diteruskan pekerjaan dan yang terpenting disampaikan kepada pemerintah dan Dewan.
Untuk itu, pada Senin (12/2) akan kembali digelar pertemuan selanjutnya pada Kamis (15/2) ia akan mengambil keputusan dan kebijakan menyelesaikan persoalan tersebut.
Wakil Bupati Lembata Thomas Ola Langodai pada kesempatan itu mengatakan, dari segi liatrik, masyarakt di Tanjung bekum merdeka dan menjadi tugas pemerintah untuk memerdekakannya dengan melakukan pendekatan pribadi dengan pemilik lahan dan sekarang tinggal tiga tiang yang belum dipasang setelah ada pendekatan oleh PLN.
Sedangkan yang dipersoalkan pemangku hak ulayat, kata Langodaisilakan saja karena merupakan dua ruang yang berbeda.
Menurutnya, ruang hak ulayat diurus oleh yang berkepentingan dan ruang pembangunan diurus pemerintah dengan pendekatan persuasif kepada kelompok dan perorangan.
Jalan raya, terangnya, sudah ada dan ada badan jalan yang jadi keweangan pemerintah untuk dilalui fasilitas dan bupati dapat menggunakan diskresi ini agar seluruh fasilitas publik bisa melalui jalur itu.
“Ini kewenangan yang dijamin negara untuk sejahterakan masyarakat secara efektif dan efisien. Persoalan adat dan hak ulayat mari kita letakan pada posisinya. Kapan orangtua omong kita pasti ikut tanpa hilangkan hak-hak ulayat yang sudah berlangsung dari nenek moyang sampai hari ini,” tegas Langodai.
Untuk itu, guna menjawab kerinduan warga untuk menikmati listrik 24 jam, maka melalui kesempatan tersebut ia meminta kepada seluruh pihak untuk bekerja sama agar warga Tanjung bisa merdeka dari aspek penerangan listrik.
Ketua DPRD Lembata Ferdinandus Koda mengatakan, terkait listrik pada prinsipnya semua mendukung. Pembangunan dengan keterbatasan dan peluang yanh ada mesti ditangkap. Tetapi, ketika soal ada perlu diselesaikan dan lihat akar permasalahannya dan diselesaikan dari akar masalah dengan melibatkan seluruh masyarakat.
“Kenapa orang Lewotolok tidak beri tanah, ini yang harus diselesaikan,” tegasnya.
Persoalan itu, lanjut dia muncul awal saat dikeluarkannya surat pada 2010 yang sangat mengganggu warga di tiga desa di Lewotolok dan lima desa di Tanjung.
Di Lewotolok tidak ada orang yang menahan tanahnya tidak boleh dilewati listrik. Tapi, karena tersinggung dengan surat pada 2010 sehingga kepada warga ia meminta membuat surat ke keamanan untuk mendampingi. Ia juga menyarankan agar semua unsur terkait di dalam membicarakan dan hentikan klaim ulayat. Apa yg digariskan nenek moyang harus ditaati sampai anak cucu. (lia/sandrowangak)