Elvan de Pores (1)
suluhnusa.com – Pagi-pagi sekali, tanggal 2 Mei 2018, kami bangun. Kisaran jam lima begitu. Setelah menyiapkan diri masing-masing, saya, Ama Ketua Agupena Flotim Maksimus Masan Kian, dan Bang Asy’ari Hidayah Hanafi bertolak dari Sekretariat Agupena Flotim, tempat kami menginap. Tujuannya ke Bandara Gewayan Tanah menggunakan sepeda motor.
Ama Maksi diantar isterinya. Bang Ari diantar oleh keponakannya bernama Natsir, yang saat ini menjadi anggota luar biasa Agupena Flotim. Sedangkan, saya menumpang ojek.
Perjalanan tidak sampai sepuluh menit, tibalah kami di bandara. Di sana kami berjumpa dengan teman-teman Pengurus IGI Wilayah NTT dan narasumber Sagumanisan.
Sebagaimana biasa ketika tiba di tempat baru, kami mengambil gambar dan siaran langsung melalui facebook. Kali ini kami sampaikan ucapan Hardiknas. Namun, lantaran keadaan tidak memungkinkan, siaran langsung itu kami batalkan.
Usai check in, saya dan Bang Ari keluar lagi dari ruang tunggu ke pelataran bandaran menemui Ama Maksi dan Bang Valentinus Ballack Wathon yang baru saja tiba. Saya sempat meninggalkan satu tas saya berisi pakaian yang tidak kami masukkan ke bagasi karena over bagasi.
Begitu pesawat tiba di bandara, kami diarahkan oleh petugas bandara untuk masuk kembali ke ruang tunggu. Naasnya, saya tidak lagi duduk di tempat tas pakaian saya sebelumnya, malah duduk bersama teman-teman di pojok barat. Akibatnya, saya lupa mengambil tas pakaian saya tadi.
Tidak sampai lima menit, kami diarahkan menuju pesawat. Setelah memberi boarding pass untuk dirobek oleh petugas bandara, kami berempat berjalan penuh percaya diri menuju pesawat bersama para penumpang lainnya.
Di dalam pesawat, saya memilih fokus membaca majalah Pesona Indonesia. Hal yang paling membuat saya tertarik membaca majalah ini yakni esai karya Elvan de Pores.
Alasan kesukaan saya kepada tulisan Elvan bukan lantaran saya kenal dengan penulisnya, karena ini alasan klasik orang membaca buku. Namun, tulisan Elvan menurut saya sangat bagus. Bagaimana tidak, Elvan menulis dua puluhan paragraf dengan sangat fokus pada topik tulisan. Adapun topiknya kira-kira menyoal tenun kebangsaan dalam keberagamaan.
Saya sangat menikmati tulisan Elvan. Diksi-diksi yang beliau gunakan dalam tulisan ini bertabur diksi ilmiah populer. Belum lagi, pencicilan wacana yang begitu runut dan terarah. Pun, dari berbagai aspek pandangan yang membuat tulisan ini terbebas dari kesan primordial. Ringkasnya, sepanjang Larantuka dan Kupang, saya terbuai oleh karya Elvan ini.
Empat puluh lima menit kemudian, kami sudah tiba di Bandara Eltari Kupang. Bersama penumpang lainnya, kami menunggu barang bagasi. Alhamdulillah, dua dos buku dan tiga tas pakaian sudah kami ambil. Naasnya, tas pakaian saya tidak ada.
“Astaga, tas pakaian saya tidak sempat saya ambil di ruang tunggu bandara larantuka tadi,” seru saya baru menyadari ketiadaan tas.
Kami lantas menemui pegawai Trans Nusa yang berdiri persis di depan pintu kedatangan. Saya lalu melaporkan kelupaan tas saya itu kepadanya.
“Ini tasnya kah?” tanya pegawai itu kepada saya sembari menunjukkan foto pada HP-nya.
Saya membenarkan foto yang ditunjukkan tersebut dan meminta informasi lanjutannya darinya. Beliau mengatakan, tasnya akan dikirimkan pada pesawat Trans Nusa rute Larantuka-Kupang pada sore harinya. Setelah merasa aman, keluarlah kami menuju pintu kedatangan.
Di luar pintu kedatangan, sudah berdiri menunggu kami, Ina Dr. Lanny Koroh. Senyuman khasnya menyambut kami penuh kekeluargaan.
Usai berbincang dan menyampaikan kelupaan tas tadi kepada Ina Lanny, kami merekam video ucapan Selamat Hardiknas. Kami lantas diajak Perempuan Biasa ini membeli baju baru untuk dikenakan saat talkshow. Beberapa distro kami datangi, tetapi masih tutup. Akhirnya, kami memilih mampir sarapan terlebih dahulu di warung padang di sekitaran jalan Cak Doko.
Sebagaimana biasa, Ama Maksi, Bang Ari, dan Bang Valens sarapan nasi, saya dan Ina Lanny lebih memilih ngeteh.
Usai sarapan, kami menuju distro dan membeli empat kaos oblong warna biru. Keempat baju itu hadiah dari Ina Lanny buat kami berempat. Dari distro, kami menuju Universitas Muhammadiyah Kupang untuk mengikuti kegiatan Talkshow Proses Kreatif Menulis.
Awet Muda (2)
Talkshow Proses Kreatif Menulis di Universitas Muhammadiyah Kupang pun dimulai. Sang Moderator, Sayyidati Hajar, menempati kursi yang disediakan. Satu-persatu para narasumber diundang olehnya. Dr. Lanny Koroh, Maksimus Masan Kian, Dra. Siti Rodliyah, M.Hum, dan terakhir saya sendiri diundang moderator untuk menempati posisi yang disiapkan penyelenggara.
Salah satu faktor yang menentukan berkualitas tidaknya sebuah talkshow, sangat tergantung kepada pemandunya. Nah, dengan kepiawaiannya, moderator Ibu Dosen Sayyidati Hajar mulai membuka dan menguasai forum.
“Dalam amatan saya, Ibu Dr. Lanny sangat aktif mengikuti kegiatan ke sana ke mari. Kemarin di Flores Timur, sekarang di Kupang. Kira-kira, apa yang dicari dalam berkegiatan tersebut?” Sang Moderator mulai mengganggu narasumber Ina Lanny dengan pertanyaan yang cukup menggelitik.
Begitu dipersilakan, Ina Lanny yang tampil dengan balutan busana bermotif tenun, mengambil mik dan berjalan menuju peserta. Dengan gayanya yang lembut tetapi energik sekaligus walau memakai sandal hak tinggi, Perempuan Biasa ini sanggup menyedot perhatian audiens. Satu semut pun tak sanggup melintas kala Ina Lanny sedang menyampaikan materi, apalagi manusia? Kira-kira demikianlah hiperbolik yang tepat menggambarkan suasana ini.
Ina Lanny memulainya dengan membagikan pengalaman berkegiatan pada beberapa tempat. Katanya, hal yang dicarinya adalah membangun jejaring, merajut kekeluargaan, serta saling belajar dari setiap orang yang ditemui.
Maksimus didaulat menjadi pembicara kedua. Moderator menanyakan pengalaman pertama menulis. Dengan gayanya yang berapi-api, Maksi membakar semangat dan motivasi seluruh audiens untuk mendengarkan pembicaraannya.
Ia menceritakan pengalaman pertama menulis di koran Pos Kupang. Waktu itu, tutur Maksi, tulisan pertamanya yang dimuat adalah curahan pendapat. Ada kebanggan tersendiri ketika tulisan beserta nama dimuat di koran. Setelahnya, Maksi mulai aktif menulis berita pada kolom Jurnalisme Warga hingga menulis opini.
Di akhir pemaparannya, Ama Maksi meminta seluruh peserta menulis satu kata berkaitan dengan kegiatan hari ini. Setelahnya, beberapa peserta diundang untuk menyebutkan kata yang ditulis tersebut serta menjelaskan alasan menulis kata itu.
Ibu Siti Rodliyah mendapatkan kesempatan ketiga. Moderator menanyakan, soal gairah menulis para mahasiswa. Ibu Siti menjawab, di zaman ini, mahasiswa lebih suka melakukan kegiatan lain daripada kegiatan ilmiah.
“Banyak kita temukan mahasiswa yang hobinya main facebook ketimbang belajar. Sudah begitu, status-status di Facebook tidak penting-penting amat. Lebih banyak status galau,” ungkapnya.
Tibalah giliran terakhir saya mendapatkan kesempatan bicara. Saya agak cemas karena biasanya pembicara terakhir bisa saja kehilangan bahan karena sudah disampaikan pembicara-pembicara sebelumnya. Namun, ketika mendengar pertanyaan moderator, perlahan ketakutan saya pun hilang. Di sinilah, letak kecerdasan moderator dalam menyambungkan gagasan-gagasan antar narasumber.
Pertanyaan yang saya dapatkan yakni alasan mengambil tema budaya dalam sebagian besar karya tulis. Memang, sebagian besar karya tulis saya bertema budaya. Entah puisi, cerpen, cerita rakyat, novel, drama, berita, esai maupun lainnya, sebagian besar bernafaskan budaya.
Saya memulai jawaban dengan menceritakan awal mula menulis. Mulai menulis dari Buku Agenda Pramuka ketika SMP. Di SMA belajar menulia lagi dari menulis surat cinta.
“Di zaman kami SMA, kami kalau mau tembak cewek pakai surat cinta. Dan di saat menulis surat cinta itulah, kami seakan-akan menjelma menjadi seorang sastrawan. Semua kata-kata indah akan keluar dengan sendirinya karena inspirasi yang kita hadirkan adalah orang yang kita kasihi,” cerita saya kemarin.
Beberapa bagian pemaparan, saya selingi dengan joks-joks ringan yang mengundang tawa audiens. Pun, saya meminta disapa dengan Kakak agar bisa dibedakan dengan Ama Maksi yang disapa Pak. “Dari cara penyapaannya saja kita sudah tahu, mana yang muda dan mana yang tua,” ujar saya sembari melempar senyum kemenangan karena telah mengalahkan Ama Maksi dari sisi kemudaan. Di titik inilah, saya merasa awet muda.
Sama-Sama Pegang Dagu (3)
Ada beberapa momen yang sangat berkesan dalam kegiatan Talkshow Proses Kreatif Menulis di Universitas Muhammadiyah Kupang (UMK), kemarin. Satu di antaranya, yakni penyerahan buku karya Pengurus dan Anggota Asosiasi Guru Penulis Indonesia (Agupena) Kabupaten Flores Timur, kepada Kampus Multikultural ini.
“Kami berempat mewakili teman-teman Agupena Flotim menyerahkan karya pena para guru kampung sebagai ole-ole kepada Universitas Muhammadiyah Kupang,” kata Ketua Agupena Flotim, Maksimus Masan Kian saat menyerahkan tiga buku karya Agupena Flotim kepada Rektor UMK Dr. Zainur Wula, S.Pd, M.Pd. Adapun ketiga buku yang diserahkan yakni Kumpulan Cerpen Wasiat Kemuhar karya Pion Ratulolly; Kumpulan Puisi Tapak Tuah karya Pion Ratulolly, Ary Toekan, dan Amber Kebelen; dan Kumpulan Esai Revolusi Mental ala Guru karya para Anggota dan Pengurus Agupena Flotim.
Sebagai pengurus, saya melihat momen ini sebagai perekat awal hubungan antara Agupena Flotim dan UMK dalam upaya menyukseskan Gerakan Literasi. Sehingga ke depan, terus ada kerja sama di bidang literasi demi menghidupkan iklim ilmiah di Provinsi NTT.
Selain momen di atas, masih ada momen menarik lainnya. Yakni ketika Pion Ratulolly meminta seluruh peserta memperhatikannya secara fokus sambil melambai-lambaikan tangan sebagaimana gerakan tangan Pion. Seluruh peserta pun menuruti arahan Pion.
“Sekarang, lakukan apa yang saya katakan,” teriak Pion dari depan. Seluruh peserta memperhatikan Pion sambil melakukan hal yang diperintahkan.
“Semuanya sama-sama pegang dagu!” perintah Pion sembari menggerakkan tangannya menepuk dahinya.
Seketika, seluruh peserta pun menepuk dahinya. Pion lalu berjalan ke meja narasumber dan melaporkan kepada Ibu Siti Rodliyah bahwa semua peserta sudah pindah posisi dagunya ke dahi.
Semua peserta sadar lalu tertawa bersama. Usai tawa peserta reda, Pion pun mengarahkan para peserta untuk menulis satu kalimat berisi alasan peserta memindahkan posisi dagu ke dahi.
Sembari menyelesaikan tawa yang tersisa, para peserta menulis alasan perpindahan dagu. Setelahnya, Pion mempersilakan beberapa peserta untuk membacakan tulisannya di hadapan semua peserta.
Dari empat orang yang bersedia tampil membacakan tulisan alasannya tersebut di depan, sebagian besar berpendapat sama. Yakni, mereka lebih fokus memperhatikan gerakan tangan narasumber daripada mendengar arahan. Karenanya, gerakan tangan mereka berakhir di dahi, bukan di dagu.
Momen menarik yang lain yaitu pembacaan puisi oleh Della Novela. Mahasiswi Undana yang juga anggota Teater Perempuan Biasa ini membacakan puisi Indonesia Tanah Ketubanku karya Pion Ratulolly.
Pemeran tokoh Kartini dalam pementasan drama oleh SMA Darius Larantuka ini membacakan puisi ini dengan sangat menjiwai. Terlihat dari dinamisasi ekspresi, nada, serta gerak tubuh Della. Sebagai penulis puisi itu, saya melihat Della punya khamistri yang sesuai dengan puisi ini.
Hal menarik lainnya yaitu bazaar buku. Di luar dugaan saya dan teman-teman Agupena Flotim, ada penulis lainnya yang ikut membazaar buku di pintu masuk aula. Felix Nesi yang memamerkan beberapa buku karyanya. Sedangkan, Sandro Balawangak menyerahkan buku Garis Merah Pendidikan NTT karya Linus Lusi kepada Rektor Unibersitas Muhammadyah Kupang.
Selain itu, masih ada momen lainnya yang cukup menarik. Yaitu, Dr. Lanny Koroh menantang semua peserta perempuan untuk menulis sebuah puisi berbahasa daerah. Di akhir talkshow, Doktor Muda yang sedang naik daun ini memberikan hadiah 6 eksemplar buku Kumpulan Puisi Monumen Luka karya Gusty Fahik kepada para penulis puisi perempuan tersebut.
Kisah lainnya, saya barteran buku dengan Dosen AKPER Maranata Saverinus Suhardin. Buku yang saya berikan kepadanya yakni Wasiat Kemuhar. Sedangkan buku yang diberikan kepada saya berjudul Bingkai Diorama Kehidupan, Antologi Cerpen Bersama hasil lomba Hyui Publisher. Di dalamnya, terdapat satu cerpen karya Saverinus berjudul Obat Penghilang Noda.
Selain beberapa hal menarik di atas, masih banyak lagi hal menarik lainnya. Serta, masih ada berbagai cerita menarik lainnya yang mungkin bisa bikin kita awet muda
‘Profesor Cerutu’(4)
Tak ada satu pun mahasiswa dan alumni Program Studi (Prodi) Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Undana Kupang yang tak mengenal sosok yang satu ini. Lantaran, beliaulah profesor asli milik Prodi ini.
Beliaulah Prof. Felysianus Sanga, M.Pd. Saya berkenalan akrab dengan pria yang kini berusia enam puluhan ini sejak semester pertengahan. Tersebab, Prof Feliks, sapaannya, mengasuh beberapa mata kuliah linguistik. Beliau juga membina komunitas sastra Rumah Poetica, tempat saya belajar berkesenian di awal kuliah. Selain itu, hal yang paling memengaruhi kedekatan emosional saya dengan beliau yakni kami berasal dari daerah yang sama, Adonara.
Ketika mengajar kami, beliau memercayakan saya untuk mengurusi beberapa hal yang berkaitan dengan kemahasiswaan. Seperti, mengumpulkan tugas para mahasiswa seangkatan lalu mengantarnya ke rumah beliau.
Suatu ketika, Prof. Feliks menelpon saya. Katanya, saya harus ke kampus saat itu juga. Sebab, sedang dilakukan akreditasi Prodi. Akreditasi ini dilakukan oleh Tim Asesor dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT).
Nah, saya dimintai beliau untuk mengawal Tim Asesor ke mana pun tim ini pergi. Mulai dari urusan pengambilan data dan verifkasi faktual, antar jemput dari hotel, bahkan urusan pribadi Tim Asesor. Saya pun menyanggupi. Maka, bersamalah saya selama beberapa hari dengan Tim Asesor ini.
Dalam perjalanan menemani Tim Asesor ini, saya ditanyai banyak hal oleh Tim Asesor. Termasuk, karya portofolio yang dihasilkan mahasiswa. Saya lalu menyerahkan beberapa karya tulis sendiri berupa buku dan fotocopy keliping koran yang memuat tulisan sendiri.
Kemarin, ketika tiba di Kupang dalam hajatan menjadi narasumber Talkshow Proses Kreatif Menulis di UMK, saya meminta Dr. Lanny Koroh untuk mengantarkan saya bersama teman-teman menemui Sang Prof.
Benar, Dr. Lanny pun mengabulkan permintaan saya. Karenanya, usai kegiatan, kami menuju rumah Prof. Feliks.
Tatkala tiba, saya dibikin terhenti sejenak dan mematung. Sebab, saya mendapati Prof. Feliks sedang duduk di atas fondasi rumah lama sembari tangannya membelah sepotong kayu. Prof berbaju kaos berkerah dan celana putih pendek. Pakaiannya lumayan lusuh untuk orang sekelas Profesor. Hal ini sungguh sangat kontras dengan penampilannya dahulu di kampus. Belum lagi fisiknya yang jauh lebih kurus dibanding ketika saya masih berstatus mahasiswa.
Saya bersama teman-teman langsung menyapa lantas berjabatan tangan dengan beliau. Air mata saya seketika bergantungan di pelupuk. Saya menuju Prof. Feliks lalu mencium tangannya sembari menyebutkan nama saya.
Begitu mendengar nama saya, beliau memeluk erat saya. Lama sekali kami berpelukan. Karena, saat itu pun saya tak sanggup menahan luruhnya butir-butir air mata yang sebelumnya menggantung di pelupuk. Beliau turut menitikkan air mata.
Usai berpelukan hangat, kami bercerita banyak hal. Mulai dari kebudayaan, kemasyarakatan, kebahasaan, hingga teori ilmu pengetahuan. Kami sangat fokus mendengarkan omongan beliau. Untuk menyela pembicaraan beliau sedikit pun kami tak tega. Kami pun digiring pada kisah masa mudanya.
Lantaran kami harus melakukan perjalanan lanjutan yakni sowan ke rumah Ketua Agupena Wilayah NTT, Thomas A. Sogen, kami mohon diri dari beliau. Sebelum pulang, kami dihadiahi beberapa lembar kertas oleh beliau. Di dalam kertas itu, ada konsep berpikir ilmiah hingga pemecahan masalahnya dalam kehidupan.
Lagi-lagi saya menuju Prof. Feliks dan mencium tangan serta memeluknya. Di bagian ini, beliau kembali menitikkan air mata, tidak terkecuali saya. Sepintas terlihat, ia masih ingin bersama kami. Paling tidak kami dimintai mendengar setiap ceritanya.
“Ratulolly eee,” ucap beliau dengan mata berkaca-kaca. Dua tiga kali beliau menampar lembut wajah saya, masih dengan mata berkaca-kaca dibalut seulas senyum khasnya.
Kami pun meninggalkan Prof. Feliks dan menuju rumah Bapak Thomas. Sepanjang jalan, ketokohan Professor menjadi buah bibir manis.
Daulat Dari ‘Jakarta Islamic Centre’ (5)
Asosiasi Guru Penulis Indonesia (Agupena) Cabang Kabupaten Flores Timur mendapat kepercayaan sebagai tuan rumah Peringatan Hari Lahir (Harlah) Agupena Tingkat Nasional tanggal 28 November 2018 mendatang. Hal ini mengemuka dalam forum Rapat Kerja Nasional (Rakernas) 2018 yang berlangsung di Jakarta Islamic Center, Koja, Jakarta Utara dari tanggal 3-5 Mei 2018.
Usulan ini disampaikan oleh Ketua Agupena Provinsi Bangka Belitung, Sabarudin, M.Pd, saat sesi pembahasan rekomendasi. Menurut Sobarudin, kegiatan nasional tidak harus dilaksanakan di ibukota negara saja melainkan dapat dilaksanakan di daerah. “Kita punya banyak daerah yang aktif melaksanakan program-program Agupena. Karenanya, mereka perlu diberi kesempatan untuk melaksanakan kegiatan tingkat nasional. Dan, Agupena Cabang Kabupaten Flores Timur dapat diberikan kepercayaan untuk melaksanakan kegiatan nasional ini,” terangnya.
Menanggapi itu, Ketua Agupena Pusat, Naijan Lengkong, M.Pd mengatakan selaku ketua, beliau sepakat dengan keputusan Rakernas 2018. “Sehingga harapannya, Agupena Cabang Kabupaten Flores Timur segera membentuk kepanitiaan lokal dan melakukan konsolidasi secara internal dan eksternal demi menyukseskan kegiatan tingkat nasional ini,” kata Guru di SMAN 12 Kota Tanggerang Selatan ini.
Salah satu peserta Rakernas 2018, Djulaiha Gaus, M.Pd.I dalam momen ini mengatakan, membangun kreatifitas sebaiknya dari daerah dan Flores Timur merupakan daerah yang paling tepat untuk dilakukan Harlah Agupena 2018. “Mengingat Flores Timur adalah salah satu daerah 3T maka pelaksanaan kegiatan di Flores Timur merupakan penerapan misi bangsa untuk mencerdaskan anak bangsa dari daerah.
Sementara itu, Ketua Agupena Cabang Kabupaten Flores Timur, Maksimus Masan Kian, mengatakan penunjukkan Agupena Cabang Flores Timur sebagai bentuk apresiasi atas usaha dan jerih payah para pengurus di Agupena Cabang Flores Timur. “Pelaksanaan Harlah Agupena di Kabupaten Flores Timur ini memberi kami motivasi dan semangat untuk terus menyukseskan kegiatan-kegiatan literasi di kabupaten, provinsi, dan nasional,” ungkap guru SMPN 1 Lewolema ini.
Selain itu, AGUPENA Cabang Flotim juga dinobatkan sebagai Cabang Terkreatif se Indonesia dan Ketua Maksimus Masan Kian pun mendapat penghargaan penulis teraktif.
Pion Ratulolly
Pengurus Agupena Flores Timur
Penulis buku Wasiat Kemuhar