suluhnusa.com_ Ada satu budaya khas Indonesia, satu kegiatan yang menjadi kunci dalam kondisi sosial dan politik dan budaya Indonesia. Kegiatan itu adalah Gotongroyong- Ir. Soekarno.
Nilai-nilai gotong royong yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat merupakan wujud kearifan local dan sebagai bagian dari system budaya bangsa, sehingga budaya gotong royong terus dilestarikan secara berdaya guna dan berhasil guna dalam memperkuat integritas social masyarakat dan Bangsa Indonesia.
Bulan gotong royong Masyarakat merupakan upaya untuk menggelorakan semangat gotong royong dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan yang merupakan modal gerakan membangun yang didasari oleh tiga pertimbangan utama, yaitu, memperkuat integritas social dalam kehidupan masyarakat pada setiap komunitas local Memperkuat integrasi sosial dalam kehidupan masyarakat pada setiap komunitas lokal agar terwujud keharmonisan kehidupan bersama yang muaranya pada penguatan persatuan masyarakat.
Meningkatkan kepedulian dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan yang berlandaskan semnagat gotong royong dan keswadayaan sebagai sistem nilai sosial budaya yang telah menyatu dalam kehidupan masyarakat, dan Meningkatkan upaya pemberdayaan agar masyarakat mampu membangun diri dan lingkungannya secara mandiri.
Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu membantu bersama. Amal buat kepentingan semua, keringat buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama!
Hal itu kita kenal dengan gotong royong, suatu frase yang berasal dari bahasa Jawa yaitu ngotong yang dalam bahasa Sunda berarti membawa sesuatu secara bersama-sama dan royong. Gotong royong.
Konsep ini menggambarkan kehidupan sosial masyarakat Indonesia, diawali dari masyarakat pedesaan di Jawa sebagai bentuk hubungan sosial yang membawa masyarakat dalam sistem timbal balik dan digerakkan oleh etos umum yang ada dalam masyarakat dan kepedulian terhadap kepentingan bersama (Bowen, 1986).
Bowen lebih umum menjelaskan bahwa gotong royong merupakan sebuah tradisi yang secara terus menerus dikonstruksi baik negara dan warga lokal. Untuk menjadi suatu proses yang mempengaruhi sistem politik dan budaya Indonesia secara dominan, Bowen mengajukan tiga proses yang berkesinambungan.
Proses pertama adalah perjanjian budaya lokal yang salah dimengerti dan berlanjut pada proses kedua yaitu munculnya konstruksi akan tradisi nasional. Proses ketiga adalah pencantuman budaya sebagai strategi intervensi di daerah pedesaan dan mobilisasi tenaga kerja pedesaan.
Gotong Royong menggambarkan perilaku-perilaku masyarakat pertanian desa yang bekerja untuk yang lainnya tanpa menerima upah, dan lebih luas, sebagai suatu tradisi yang mengakar, meliputi aspek-aspek dominan lain dalam kehidupan sosial.
Gotong royong dapat diartikan sebagai aktivitas sosial, namun yang paling penting dalam memaknainya adalah menjadikannya filosofi dalam hidup yang menjadikan kehidupan bersama sebagai aspek yang paling penting. Gotong royong adalah filosofi yang menjadi bagian dari budaya Indonesia, bukan hanya menjadi filosofi beberapa kelompok tertentu (Bowen, 1986).
Namun generalisasi mengenai bentuk-bentuk sosial semacam ini menimbulkan pertanyaan antara sifat alamiah timbal balik dan pekerja untuk kepentingan bersama di wilayah pedesaan di Indonesia, karena pengabaian perbedaannya cukup berrisiko.
Karena itu terdapat 3 perbedaan yang ditawarkan Bowen sebagai instrumen yang dirasa tepat untuk menjelaskan generalisasi tersebut, yang kita sebut dengan tolong menolong.
Bentuk tolong menolong pertama disebut Labor Exchange, suatu bentuk yang mengkalkulasi jumlah pekerjaan-pekerjaan yang harus dipenuhi oleh tiap orang yang berpartisipasi, baik itu individu maupun kelompok-kelompok yang bekerja secara bergiliran, dan keseimbangan labor exchange secara normatif. Dalam antropologi ini dikenal sebagai balanced reprocity.
Bentuk kedua adalah Generalized Recipritory, tolong menolong yang didasari oleh rasa timbal balik secara yang digeneralisasikan. Penduduk desa sebagai bagian dari komunitas memenuhi norma menolong yang lain saat ada kegiatan-kegiatan mulai dari yang sederhana seperti membetulkan atap hingga kegiatan besar seperti pernikahan.
Hal ini menimbulkan perasaan yang bukan berupa kewajiban sebagai tetangga atau orang dekat melainkan perasaan tentang bagaimana orang yang akan ditolong telah membantu kita di masa lalu. Setiap orang dalam komunitas diharapkan untuk berkontribusi sebaik-baiknya.
Konstribusi yang mereka lakukan akan dicatat dan diingat oleh mereka yang dibantu dan pihak yang dibantu memiliki tanggung jawab untuk membalasnya di masa depan Bentuk ketiga adalah Labor Mobilized on the Basis of Political Status, sebagai bentuk yang menekankan bahwa gotong royong terdiri dari beberapa ‘pekerja’ yang dimobilisasi untuk menjadi dasar status politik tertentu.
Di sebagian besar wilayah Jawa status sebagai pemilik modal akan secara tradisi membawa para pemilik modal tersebut kepada hak-hak langung untuk memberi perintah-perintah seperti menjaga desa di malam hari; membetulkan kanal, dam, dan jalan; ikut serta dalam kerja bakti seperti pembangunan jalan dan bangunan.
Namun sayang, gotong royong yang seharusnya mengakar pada jiwa bangsa telah salah direpresentasikan. Dalam masa orde baru, gotong royong menjadi konsepsi akan dua proses paralel sebagai usaha perluasan kekuasaan negara. Proses pertama adalah gotong royong yang di’resmi’kan mengurangi hubungan timbal balik diantara warga desa dan permintaan mobilisasi pekerja tergabung dalam satu nilai-nilai budaya.
Kedua adalah intervensi negara di daerah pedesaan menjadikan para pekerja yang seharusnya berpartisipasi dalam gotong royong justru digerakkan untuk tujuan pembangunan.
Dua proses diatas menggeser pengertian gotong royong menjadi aktivitas tunggal dalam komunitas masyarakat desa dan di nasionalisasikan dengan mengaburkan perbedaan-perbedaan budaya yang ada.
Koentjaraningrat (1974) dalam Bowen (1986) menyatakan bahwa gotong royong sebagai suatu sikap tolong menolong kini hanyalah sejarah. Apakah saat ini gotong royong adalah salah satu cara yang digunakan untuk mendapatkan tenaga tambahan dalam kegiatan-kegiatan tertentu seperti masa panen, dan sebagai bentuk tolong menolong ketika tetangga atau sanak saudara mengalami kejadian-kejadian seperti pesta, kematian, bencana alam, dan kini gotong royong dan telah menjadi satu dengan sistem kerja rodi?
Gotong royong adalah definisi dari bangsa ini. Gotong royong telah menjadi budaya dimana masyarakat hidup dalam atmosfernya yang begitu kentara. Pergeseran yang kini terjadi dikarenakan dinamika kehidupan sosial yang terjadi tidak seharusnya mengubah konsep gotong royong sebagai budaya khas Indonesia. Seperti kata Soekarno, amal buat kepentingan semua, keringat buat kebahagiaan semua.
Dan atas dasar pelaksanaan kegiatanBulan Bakti Gotong Royong Masyarakat(BBGRM) ke-10;Pertama, peraturan Menteri Dalam Negeri nomor. 42tahun 2005tentang pedoman penyelenggaraan Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat (BBGRM).
Nah di salah satu desa di Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata-NTT, dilaksanakan kegiatan Bulan bahakti Gotong Royong. Desa itu adalah Riangbao.
Kepala Desa Riangbao, Albert Pelira Kedang dalam kepada suluhnusa.com, mengajak semua masyarakat meningkatkan semangat gotong royong dalam nuansa kebersamaan karna gotong royong saat ini mulai pudar.
“Saya harap nilai gotong royong bulan bakti ini dapat bermanfaat bagi desa kita. Gotong royong bulan bakti selama ini kita fokus membangun kantor Desa kita. Karna sejak pemekaran Desa antara Petun Tawa dan Riangbao selama ini kita gunakan kantor desa di rumah masyarakat. Kita berpisah dengan Petuntawa kita mulai dari nol maka semua masyarakat Riangbao sangat mengharapkan pemerintah kabupaten dapat memberi dukungan dan perhatian Desa Riangbao,” ungkap Pelira.
Ketua panitia, Harun Laba mengucapkan terima kasih untuk seluruh masyarakat Riangbao selama kegiatan fokus gotong royong membangun kantor Desa ini.
“Kita menyadari banyak kekurangan yang kita alami karna kita mulai dari nol, Leworiang Belaung Gopa Lewo Ben Tulatuen Tanah Bao jaga Modo Tanah Beng Luga Balik maka perlu uluran tangan dari berbagai pihak untuk bisa tercapai keinginan seluruh masyarakat desa Rianbao,” tegas Laba mengamini pernyataan kepala Desa, Pelira.
Kegiatan pembukaan bulan bakti pada tanggal 01 maret 2014 dan penutupan pada tanggal 14 Juni 2014. Tujuan dari kegiatan ini adalah membangkitkan semangat gotong royong yang telah di tanamkan oleh nenek moyang kita. (vinsenkerong)