Aku pernah berjanji pada suatu hari, pada suatu tempat yang paling sunyi bahwa setelah luka ini berlalu, aku ingin menjalani kehidupan tanpa kekasih, tanpa cinta.
Aku mengenang semuanya dalam lamunan yang begitu jauh tak tertempuh, antara bekas luka yang masih tersimpan rapih dalam album bersampul kenangan dengan motif animasi pada halaman depan dan halama-halaman bagian dalam lainnya. Bersama segala macam rupa kenangan, aku menghabiskan waktu sendirian berjam-jam bahkan berhari-hari mengurung diri di dalam kamar. Aku berguru pada kisah kelam masa lalu yang datang kembali pada awal tahun ini bersama februari dalam perayaan valentine.
Di langit, bulan baru beranjak dari ujung khatulistiwa yang berarak diantara bintang-bintang yang bergelimang cahaya. Sementara di luar angin menampar daun-daun sebelum berbaris rapi membuka tirai penutup jendela, mengurai rambutku yang membuat aku masih terus bertahan didalam kenangan. Angin itu datang membawa luka yang telah dicatatnya dari sejarah kelam masa lalu.
Sesekali kulemparkan pandangan jauh ke langit sesal dan merenung tanya dalam hati: mungkinkah hati hanya mampu menampung luka, ataukah hati telah sempurna melengkapi perasaannya dimana cinta itu bersemayam ?” Mataku tertahan pada tumpukan buku yang tersusun secara acak, dan diatasnya tersimpan sebuah kado dengan sampul berwarna keemas-emasan. Aku masih ingat, kado itu kubuat setahun yang lalu pada saat-saat menjelang perayaan hari kasih sayang, hari valentine. Aku hampir lupa apa isinya, namun masa lalu lebih awet merawatnya dalam kenangan. Yang pasti isinya bukan coklat pada umumnya seperti yang dilakukan di Amerika.
Aku meletakan album foto di atas kasur dan beranjak dari tempat duduk. Aku perhatikan dengan saksama semua benda-benda bernyawa kenangan didalam kamar ini: sebuah foto mesra bersama Romeo terpajang di dinding, sebah miniatur sepatu dan mahkota milik Cinderela yang pernah diberikan Romeo ketika ulang tahunku, pita pengikat rambut, kaos-kaos pemberian Romeo dan semuanya hanya tentang Romeo.
Namun kali ini mataku tertuju pada bingkisan kado bersampul keemas-emasan dengan gambar animasi logo sebuah club sepak bola real Madrid yang aku buat sendiri setahun yang lalu itu. Di bagian atasnya sebuah mawar dan kartu ucapan selamat pada sisi yang lannya berbunyi “Kado Buat Romeo: happy valentine day, sayang”
Aku membersihkan debu-debu yang menempel pada bagian atasnya dan perlahan-lahan melepaskan pita yang mengeratkan bingkisan kado itu. Aku merasa air mataku jatuh perlahan-lahan. Aku meraba pipiku dengan telunjuk sementara tanganku yang lainnya mengeluarkan isi kado itu satu persatu.
Di sini, di dalam kamar ini, semua kisah itu datang dari segala penjuru. Dalam rupa air mata atau pikiran dan imajinasi yang liar. Kesemuanya ada yang menjadi sahabat sejati dan ada pula yang menjadi musuh yang paling kubenci. Aku akan belajar menjadi manusia yang akan menerima semuanya meski tak mampu bertahan menampung segala derita dengan pedih perihnya ini. Untuk menghayati luka yang pernah tergores pada februari silam, aku datang kedalam kenangan. Sebuah panggilan yang tak melebihi apa pun: sebab cinta telah berbuat sesuatu untuk hati yang lebih murni dan pergi meninggalkan luka.
Mungkin saja banyak yang beranggapan bahwa cinta tidak akan sempurna tanpa luka.
Sebenarnya, aku tak perlu bersusah-susah diri untuk mempersiapkan kado untuk Rome, mantan kekasihku. Aku tokh bukan apa-apa lagi dihatinya. Aku hanya menjadi manusia yang telah lepas dari raganya namun terikat dalam kenangan bersamanya. Aku pernah menolak untuk merayakan hari valentine dan berusaha tidur sepanjang malam tanpa mengingat bahwa aku merayakannya, namun ketika mata ini terpejam, aku seolah-olah sedang merayakan semuanya. Dan ketika ada kisah yang lebih dalam menghardik mimpi, aku terperanjat dan semuanya terasa hampa. Aku sendirian saja bagai layang-layang yang putus benang.
Malam ini aku sendiri mrnanti detak jam akan memutar kisah perjalanan hidup menuju perayaan hari kasih sayang valentine pada keesokan harinya. aku masih sendirian seperti hari-hari sebelumnya tanpa Romeo. Bulan di langit beranjak semakin tinggi dan suram, sementara gemerlap bintang-bintang telah redup seredup masa kelamku. Didalam kenangan, aku mendengar suara Romeo memanggil-manggil seperti sedang dirundu pilu. Aku pun merindunya seketika.
Merindukan semua kenangan bersamanya: merindukan rasa malu dan kikuk saat pertama kali kami bertukar kado valentine. Merindukan candanya yang selalu kita akhiri dengan tawa, dan merindukan tawa yang selalu berakhir bahagia.
Kini aku berada di dalam kamar ini sendirian saja dengan sepi yang hampir lengkap dengan segala kenangan. Aku menyiapkan diri dan menyiapkan kado untuk Romeo didalam kenangan atau aku menyiapkan kado untuk Romeo yang lainnya aku tak tahu. Yang pasti bahwa aku harus mempersiapkan sebuah kado untuk perayaan hari kasih sayang esok hari.
Suara dering telepon bergetar di atas kasur. Aku menoleh sebentar lalu meraih telepon genggamnya.
“Halloo, Na. selamat malam”
“Malam juga, Ta. Besok malam lu mau ngikut acara tukar kado di rumahya Romeo gak ? teman-teman semua pada ngumpul.”
“Belum pasti, Na. lagian kalau gua mau ngikut nanti tukaran kadonya sama siapa. Gue kan udah ga ada hubungan lagi sama Romeo. Apa lagi acaranya di rumahnya Romeo. Aku takut, Na.
“Ga apa-apa. Lu ikut aja dulu. Siapa tau aja dapat jodoh disana.”
“Iya Na, tapi…… aku diam seketika, seolah tak ada kata yang sanggup terucap. Semuanya berbeban dan kaku.
“tapi apa ? lu ga enak sama si Romeo ? Santai aja kali, Ta. Lagian acaranya kan sama teman-teman kita seangkatan. Bukan acaranya si Romeo.” Bujuk Tina terdengar dari dalam ponselnya.”
“Iya Na. kalu gitu besok mlm lu jemput gua di rumah ya, sekalian ngomong sama mama biar mama percaaya. Ok ?”
“Ok. Sampai ketemu besok malam ya Juwita sayang… ddaaaaa” katanya mengakhiri pembicaraan.
“Ok daddaaa sayang….” Kataku singkat setelah itu menutup ponsel.
Tina adalah sahabatku. Perkenalan kami bermula ketika pertama kali masuk sekolah SMA. Meski tempat tinggal kami berjauhan namun keakraban kami terjalin begitu erat. Kemana-mana aku selalu bersama dengan Tina, dan perkenalanku dengan Romeo pun bermula dari Tina. Tina akhirnya menjadi pilihan terakhir untuk mencurahkan isi hati setelah ibu. Tapi kedekatanku bersama dengan Romeo hanya Tina yang tahu. Sementara ibu, aku hanya bercerita tentang pelajaran di sekolah dan tentang guru-guru yang paling aku tidak suka dan teman-teman sekolah yang jail.
****
Beberapa tahun yang lalu, menjelang saat-saat seperti ini suatu peristiwa terjadi pada diriku. Kisah ini yang belum pernah kuceritakan pada siapapun baik ibu maupun Tina. Dan kali ini, aku ingin menulis surat ini sebagai kado kenanganku untuk Romeo, seperti kartu ucapan yang dikirim oleh Charles, Duke of Orleans kepada istrinya saat ia dipenjara di Tower of London, karena aku pun terpenjara dalam kisah kelam masa lalu.
Ketika itu Romeo kekasihku pergi membiarkanku sendirian setelah ia melucuti pakaianku, mengurai rambutku, melumati tubuhku, dan menghisap tubuhku sampai merah. Aku merasa tubuhku kedinginan, geli bahkan perih yang begitu dalam. Ia semakin menjadi-jadi mempermainkan segala yang indah pada belahan dadaku, selangkangan dan semua tempat di bagian tubuhku yang mampu ia jangkau. Tak ada yang luput dari gerak jari dan juluran lidahnya.
Malam kelam yang pekat ketika itu, tak ada hujan atau suara petir. Aku telah menyerah padanya, pada katanya yang membujuku berkali-kali. “Hari valentine adalah hari kasih sayang. Baiknya kita saling member kasih sayang sampai yang tak berkesudahan. Hari ini adalah hari dimana para dewa akan turun ke dunia untuk merestui hubungan kita, sayang. Kita akan terus hidup bersama.” Rayunya berkali-kali setelah berhasil melucuti pakaian dari tubuhku. Aku terbaring tanpa daya.
“Romeoo…. Romeeooo…..” Kataku dengan desahan perlahan-lahan menahan sergapan liar yang bertubi-tubi ke bagian tubuhku.
Ia meninggalkanku tanpa sepatah kata pun. Aku hanya mengurai air mata dalam penyesalan.
“Apa yang baru saja kulakukan.” Kataku berkali-kali menuding diriku sendiri. Aku merasakan penyesalan dalam peluhku yang bermekaran dari pori-pori. Aku tak tahu bagaimana mengobati bekas luka dengan segala pedih-perihnya ini.”
***
Dilangit, kawanan awan menampung mendung yang membuat gulita menutup cahaya bulan. Bintang-bintang redup. Hanya ada keheningan di malam ini. dalam segala penyesalan, aku bersandar pada segala hal tentang Romeo. Maka apa saja yang ia minta akan kuturuti.
Sebuah pisau yang biasa Romeo gunakan untuk meraut pensil lukisnya tergeletak di atas meja belajarku. Pisau itu seolah-olah bernyawah Romeo. Ia memanggilku dengan nada yang begitu lembut. Ia mengajaku meninggalkan duniaku yang penuh luka ini menuju dunia yang tak terjamah penderitaan. Sebuah dunia yang penuh suka cita dan kebahagiaan. Maka ia memerintahkan aku untuk menyayat hatiku dan memutuskan urat nadiku dan membungkuskan hatiku dalam bingkisan kado yang pernah kubuat setahun yang lalu itu dan kukirimkan kepada Romeo. Maka perlahanlahan aku aku mengambil pisau itu dan meletakannya pada urat nadiku. Ia mengatakan ayo sayat tubuhku. Maka aku mulai menyayat urat nadiku, merobek dadaku dan mengambil hati dari dalam dada ini dan kubingkiskan buat Romeo di hari valentine. “Ini adalah bingkisan kado yang kuberi sebagai tanda cinta atas luka yang kau beri untuk yang kesekian kalinya. Selamat tinggal Romeo” aku menulisnya dengan darah dari nadiku di atas bingkisan kado ini.
Aku tergrletak dengan darah yang melumuri tubuh dan pisau itu masih di genggamanku. Aku melihat diriku terbaring lesuh di bawah pohon sementara gerimis malam datang membawa nada-nada purnama yang sirna. Aku menyaksikan pisau digenggamanku berubah rupa menjadi seorang lelaki dengan kulit coklat, tinggi dan berambut gelombang. Matanya sejurus tertuju padaku. Lelaki itu mendekat dalam derap langkah yang pasti. Ia meraih lenganku, mencium keningku sebelum menghapus luka dan mengobat pilu masa lalu. Aku merasakan kehangatan pelukan dari bidang datar dadanya. Aku merasakan eratan tubuhku semakin kencang dan ketika hujan redah, kami telah tiba di sebuah gerbang senja tanpa derita. Lelaki itu berkata bahwa tidak ada lagi derita kehidupan karena kita telah abadi bersama waktu di ambang senja. Aku menutup mataku, dan hanya angin senja menerpa sekujur tubuhku dan membuatku bertahan lebih lama dalam bidang datar dada lelaki itu tanpa beranjak dari tempat ini.
***
Tina datang setelah senja terbenam dan purnama malam tergelincir dari peraduannya. Ia telah menelponku berkali-kali namun tak ada jawaban. Tepat pukul 06.47 ia tiba di rumahku. Ia menanyakan keberadaanku pada ibu, namun ibu mengatakan bahwa ia tidak mau diganggu.
Dari kemarin ia juga tidak makan. Dengan keberadaan Tina dirumah, ibu mengatakan kepadanya untuk membujukku agar aku bisa makan meski hanya sedikit. Maka ibu dan Tina melangkah ke depan kamarku. Ibu mengetuk-ngetuk pintu kamarku yang masih terkunci sampai lama, namun tak ada jawaban dari dalam. Kali ini gantian Tina yang mengetuk sambil memanggil-manggil namaku. Tak ada juga jawaban dariku.
Mereka menemukan tubuhku terbaring kaku dan berlumur darah di lantai setelah berusaha mendobrak pintu kamarku. Tanganku masih menggenggam pisau dan sebuah bingkisan kado untuk Romeo tergeletak di sampingku. Ibu dan Tina meratap sedih, namun aku tak mungkin kembali untuk waktu yang singkat.
“Mak, maafkan Juliet. Juliet tak pernah ceritakan masalah ini pada mama. Juliet sayang mama. Aku menantimu untuk waktu yang lama dan kisah yang singkat. Happy valentine day, mom. I love you.”
“Tina, maafkan aku. Terima kasih untuk waktu dan kebersamaan kita. Sampai ketemu di keabadiaan nanti, sahabat. Tolong kirimkan kadoku ini kepada Romeo, dan kecuplah dia untukku.” Surat ini kubuat sebagai tanda cinta yang tak pernah berakhir luka untuk mama dan Tina.
Ibu dan Tina meratap menanti kepulangan, tapi aku tak akan pernah kembali disisa tangis mereka.
(Jakarta dini hari, 14 Februari 2018, 05:07)