Pemilihan umum (Pemilu) tahun 2004 adalah tahun perjuangan. 2009, adalah tahun coba-coba. Dan 2014 adalah tahun kebangkitan. Kebangkitan perempuan di dunia politik. Lalu..??
Hukum dan aturan politik Indonesia mewajibkan Partai politik untuk memberikan porsi 30 persen. Begitupula dengan keterwakilan perempuan di kursi legislative di buka kuota 30 persen seperti yang dituangkan dalam Undang-Undang Pemilu No.10 tahun 2008. Ini langkah konkrit dalam melibatkan perempuan di dunia politik oleh Negara ini.
Sayangnya, fakta menunjukkan bahwa, posisi perempuan hampir di seluruh belahan dunia tidak terwakili secara proporsional dalam politik. Perempuan menduduki hanya 14,3 persen dari keseluruhan anggota parlemen.
Sebut saja, misalnya pemilu 2009 memperlihatkan peningkatan jumlah anggota perempuan DPR RI dari 65 perempuan dari 550 anggota (11 persen) pada 2004-2009, menjadi 103 perempuan dari 560 anggota (18 persen). Akan tetapi angka ini masih jauh dari cita-cita 30% keterwakilan perempuan.
Peliknya keterwakilan perempuan kualitasnya di dunia, Ketua Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Gede Ngurah Wididana atau akrab di panggil Pak Oles kepada suluhnusa.com, di Warung Bokashi, Jalan Waribang, 14 Oktober 2013 mengatakan , saat ini sangat tidak logis bicara tentang kualitas politisi perempuan sementara perbandiangan jumlah perempuan di kursi DPRD sungguh jauh di bawah harapan.
“Logikanya tidak masuk, bahwa berbicara kualitas dengan kondisi kuantitas keterwakilan perempuan seperti saat ini, sangat tidak logis,” ungkap Pak Oles. Menurut Wididana, akan sangat benar ketika kuantitas sudah mencapai minimal 10 persen baru bisa berbicara soal kualitas.
Lebih jauh Pak Oles menjelaskan, kenyataan ini menjadi polemik yang terus berlanjut. Belum lagi persoalan kualitas. Partisipasi mereka di bidang politik selama ini masih dipandang hanya memainkan peran sekunder.
“Perempuan yang saat ini berada di kursi parelemen belum mampu memainkan peran pada sebatas usulan yang masih dipertimbangkan. Belum sampai pada titik lobi-lobi politik,” ungkapnya. Apalgi politik mengharuskan seorang politisi baik perempuan atau laki-laki memiliki naluri petarung dalam pertarungan mempertahankan ideology, pertarungan kedekatan, pertarungan merebut jaringan tetapi semua itu butuh sentuhan dari hati nurani yang iklas.
Dan untuk mencapai titik sebagai politisi yang bermental petarung tidak dengan pola, perilaku dan sikap pragmatis. Butuh proses juga jam terbang. Politisi butuh napas yang panjang karena sesungguhnya politik adalah perjuangan tak kenal henti.
“Bahwa manusia itu berpaham pragmatisme, tetapi dengan jam terbang yang tinggi di dunia politik maka pragmatisme itu dengan sendirinya akan hilang,” jelas Pak Oles.
Alasannya mendasar karena persoalan kapasitas yang dimiliki oleh para politisi perempuan. Tidak bisa dipungkiri bahwa sedikitnya kuantitas politisi perempuan yang mempunyai pengetahuan yang luas mengenai berbagai persoalan publik yang dihadapi masyarakat. Perjuangan kaum perempuan tidak berakhir ketika memasuki kursi legislatif. Bukan hanya sekedar mengisi kuota 30% yang sudah disediakan. Akan tetapi menjadi langkah awal perjuangan yang sebenarnya.
Pak Oles lalu berkata seberapa kuat para politisi perempuan menyuarakan kepentingan yang selama ini mereka anggap masih diabaikan oleh para politisi yang mayoritas kaum laki-laki. “Representasi keterwakilan perempuan (politisi) di dalam lembaga legislatif bukan hanya dilihat dari kuantitasnya saja, akan tetapi eksistensi mereka di lembaga legislative,” tantang Pak Oles.
So, perempuan sendiri mesti yakin benar dengan potensi politik yang mengalir dalam dirinya. Juga mesti mengkalkulasikan jam terbang perempuan di dunia politik. Pasalnya, berbicara kebangkitan tidak terlepas dari kepercayaan rakyat terhadap kualitas perempuan. Sekedar meminjam istilah Dorothy W Cantor and Toni Bernay, Women in Power, the Secret of Leadership, bahwa sumbangan terbesar perempuan berpolitik adalah karena kepeduliannya yang besar atas nasib rakyat, bukan karena naluri memperkuat jaring-jaring kekuasaan. (Sandro Wangak)