Suluh Nusa, Amfoang – Kesetiaan Orang Timor terhadap NKRI tidak perlu diragukan termasuk orang Amfoang, Kabupaten Kupang. Sayangnya kesetiaan mereka tidak dibayar tunai dengan pembangunan. Sejak kemerdekaan sampai dengan saat ini kondisi jalan di Amfoang, Kabupaten Kupang benar-benar memperihatinkan. Dari tahun ke tahun tidak ada perhatian dan jauh dari segala aspek pembangunan.
Saban tahun pemerintah hanya bisa membuat janji.
Janji politik yang tidak pernah ditepati sampai saat ini, dimana Indonesia sudah merdeka 74 tahun.
Warga disana berjuang mati matian, menantang maut untuk bisa pergi ke kota atau ke desa lain. Di Amfoang Barat Daya, desa Manubelon, Kabupaten Kupang secara kasat mata jalan berdebuh pada saat musim kemarau dan lumpur juga luapan sungai saat musim hujan. Miris memang.
Disaat pemerintah dengan gencar pemerataan pembangunan infrasyruktur, Amfoan seolah dilupakan. Amfoang seakan tidak masuk dalam program pemerataan pembangunan itu.
Melewati Kecamatan Sulamu, Fatuleu Barat sampai Amfoang Barat Daya terlihat secara jelas pembangunan infrastruktur terutama jalan dan jembatan kondisinya rusak parah. Hanya ada sedikit hotmix di Kecamatan Sulamu.
Warga amfoang harus melintasi sungai berkelok S yang tidak teraliri air mencapai ratusan meter saat musim kemarau, tetapi hujan datang, mereka harus melintasi banjir, termasuk anak anak sekolah.
Jika musim hujan tiba anak-anak amfoang tidak berpikir musibah terseret banjir, mereka nekat melintasi banjir agar bisa mengenyam pendidikan di sekolah.
Melintasi wilayah ini, pengendara atau warga harus diperhadapkan debu abu, batu-batu cadas yang licin. Kondisi abu yang menumpuk hampir disepanjang jalan, berubah menjadi lumpur maut saat musim hujan.
Disebut Jalan Maut sebab sulit dilalui kendaraan roda empat, roda enam dan delapan, bahkan sering juga kenderaan terjungkal karena lumpur dan batu cadas yang licin.
Disana ada sebuah jembatan yang di sebut Jembatan Talmanu. Melewati jembatan ini, nyali pengendara dan penumpang benar benar diuji.
Bagi pengendara yang pertama kali melintasi jembatan tersebut membutuhkan nyali yang besar karena jembatan yang panjangnya lebih dari 170 meter dan melintasi sungai itu sudah goyang goyang. Miring nyaris rubuh.
Sementara dibawah sana ada ratusan buaya, tinggi jembatan tersebut mencapai 20-30 meter, salah satu tiang penyangga sudah terkikis oleh banjir.
Belum lagi kayu yang digunakan sebagai alas agar kenderaan bisa melewati jembatan tersebut mulai patah mengakibatkan lubang menganga di beberapa titik.
Setelah melewati jembatan Termanu, lumpur sudah menghadang. Kondisi jalan ini setiap tahun selalu makan korban. Banyak kendaraan yang terjungkal di lokasi ini.
Untuk itu, jika pengendara yang hendak ke Amfoang disarankan untuk tidak melepaskan masker agar terhindar dari debu dan abu yang beterbangan saat musim kemarau. Selain itu, disarankan mengenakan celana pendek dan sendal jepit agar diwaktu kendaraan yang ditumpangi mengalami gangguan dalam perjalanan seperti masuk dalam kubangan Abu atau lumpur maka kita dapat membantu mendorong kenderaan.
Bahkan warga setempat mengaku mereka menyiapkan makanan secukupnya. Persiapan seperti kompor, bahan makanan serta tenda yang digunakan untuk bermalam sambil menunggu banjir mulai surut juga menjadi kebiasaan warga amfoang.
Selain persiapan, kompor, bahan makanan serta tenda pengendara kendaraan pribadi juga sebaiknya menyiapkan biaya perjalanan paling kurang 2 juta rupiah. Sebab, ketika kendaraan yang ditumpangi dipaksakan untuk melewati banjir maka harus membayar warga setempat dengan harga yang variatif. Mulai dari Rp. 50.000 sampai dengan Rp. 500.000 tergantung permintaan warga setempat. Begitulah Amfoang.
Tahun 2018 silam, pasangan Gubernur-Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur terpilih periode 2018-2023, Victor Bungtilu Laiskodat-Yosef Nae Soi, Viktory-Joss berjanji memberi prioritas pada pembangunan jalan menuju Amfoang untuk membuka isolasi wilayah di Kabupaten Kupang yang berbatasan langsung dengan Oecusse, Timor Leste itu.
Sayangnya sampai dengan tahun 2021, janji politik itu belum direalisasi. Warga amfoang masih dengan kisah yang sama. Miris. *** oktavianus bali melaporkan untuk weekly