suluhnusa.com – Saat ini, Kota Kupang tampak hijau. Sangat kontras bila kita bandingan dengan foto bulan Agustus lalu. Dulu dominan kuning, kini berganti hijau. Pemandangan seperti ini makin menyengarkan mata, menjernihkan pikiran, menentramkan jiwa, membuat #JalanPagi makin terasa nikmat.
Bicara pemandangan indah, pikiran saya selalu kembali ke Flores Timur. Saya sangat setuju dengan pendapat Ketua Agupena Flotim, Ama Maksimus Masan Kian, “Flotim ini sudah diciptakan indah oleh Tuhan dan selalu dijaga leluhur Lewotanah. Hanya butuh sentuhan pengelolaan yang baik, maka tanah ini bisa jadi destinasi wisata yang menarik minat banyak orang.”
Bagaimana tidak, Flotim ini daerah yang dekat sekali dengan pantai dan laut. Mirip Bali. Kita jalan ke segala arah dalam waktu yang tidak begitu lama, pasti berjumpa dengan bibir pantai dengan keunikannya masing-masing.
Khusus Larantuka misalnya. Kota ini tidak begitu lebar, tapi memanjang sepanjang garis pantainya. Kota yang dekat dengan laut selau menyajikan keindahan dan kenikmatan bagi pengunjung.
Sore itu Rabu (28/11/18) selepas acara puncak Hari Lahir (HarLah) ke-12 Agupena tingkat nasional yang diselenggarakan di Gedung OMK Larantuka, panitia begitu gembira. Mereka telah berhasil menyelenggarakan even berskala nasional, meskipun mereka hanyalah guru-guru kampung yang aktivitasnya cuma di daerah.
“Kita harus rayakan ini,” begitu kesimpulan euforia sore ini.
Tanpa berlama-lama, langsung diputuskan melepas lelah ke Pantai Kawaliwu. Panitia mengajak semua tamu atau undangan yang berasal dari luar Flotim ikut bersama mereka.
Ada dua mobil yang disiapkan. Mobil pertama dikhususkan buat tamu: ada Ketua Agupena pusat, pengurus Agupena wil. NTT, utusan Agupena Jawa Tengah, dan saya sendiri. Mobil berikutnya untuk panitia. Ada juga yang menggunakan sepeda motor.
Di mobil kami lebih banyak diam. Mungkin semuanya capek. Atau bisa juga karena saking kagumnya dengan keindahan alam Flotim.
Kami melintasi Jalan Nasional Larantuka-Maumere. Sepanjang jalan, selalu ada hal yang menarik. Ada patung dan tempat berdoa. Di sisi yang lain, kita melihat Pulau Adonara, Solor, dan samar-samar terlihat juga Pulau Lembata. Gugusan pulau itu membentukan formasi yang memanjakan mata, menajamkan imajinasi. Memang benar, Tuhan telah menganugerahkan yang terbaik buat Flotim.
Tidak heran bila para penjajah dulu lebih memilih Flotim sebagai area kekuasaan pertamanya sebelum merambat ke daerah lain di Flores. Di balik itu, ada kebaikan yang diperoleh. Fasilitas seperti jalan, sekolah, gereja, dan lainnya ada lebih dulu dibandingkan daerah lain.
Menurut cerita Ama Pion Ratulolly a.k.a Muhammad Soleh Kadir, fasilitas pendidikan yang ada di Flores pertama kali ada di Larantuka-Flotim. Sampai saat ini, bangunan sekolah dari masa penjajahan itu masih ada. Dan tetap dikenal sebagai sekolah dengan mutu pendidikan terbaik. Dalam benak saya merenung, barangkali inilah yang membuat banyak orang yang saya kenal dari sana, rata-rata sangat pintar. Banyak dosen yang mengajar saya dulu berasal dari sana. Tampaknya budaya belajar dunia barat yang dikenalkan oleh pastor dari luar negeri telah mengakar pada keluarga atau masyarakat di sana.
Lamunan tentang pendidikan itu buyar saat sopir mengabarkan sudah sampai di tujuan. Kami turun pelan-pelan dari mobil, masih memikul beban lelah.
Ama Maksi membakar semangat kami. “Ayo-ayo, langsung buka sepatu,” pintanya kemudian.
Kami turuti saja. Namanya juga tamu yang baik dan benar. Harus ikut petunjuk tuan rumah.
Sejurus kemudian, Ama Maksi sudah berada di bibir pantai, “Ayo ke sini!” Kami turuti saja, melewati batu-batu kecil dan besar.
Pantai Kawaliwu memang berisi batu-batu. Menurut kru Agupena Flotim, tempat itu merupakan salah satu spot terbaik untuk menikmatikan pesona matahari terbenam.
“Kita gali batu kerikil di bibir pantai, airnya terasa hangat, suhunya beda dengan air laut,” Ama Maksi terus menjelaskan sambil menunggu rombongan panitia lain yang belum juga tiba. Ternyat mereka nyasar di tempat lain.
Saya dan tamu Agupena dari wilayah lain mulai meniru apa yang dibuat Ama Maksi. Wow…, memang panas benaran. Aneh, padahal air laut rasanya dingin sekali. Hanya terpisah jarak dekitar 5 cm, air yang dibendung di antara kerikil pantai itu terasa panas.
Panas yang dirasakan tentu saja masih ditolerensi oleh kulit. Tidak sampai melepuh. Sensasi hangat yang terasa seperti memijit kaki yang letih, suhu panasnya seperti meluruhkan unsur-unsur negatif dalam pikiran dan tubuh. Apalagi kita nikmati rileksasi alami sambil menyenderkan tubuh di tumpukan batu, mata kita dipijat cahaya senja yang menguning manja. Sempurna. Dan semuanya itu kita bisa nikmati secara gratis.
Mungkin selanjutnya Pemkab Flotim akan membenah tempat ini agar menghasil pemasukan bagi daerah sehingga makin bermanfaat bagi masyarakat setempat. Tempat unik tentunya selau dicari banyak wisatawan.
Oh iya, ada kejadian lain yang menurut saya unik. Ketua Agupena pusat dan utusan Agupena Jawa Tengah harus melaksanakan Sholat Dhuhur di sana. Mereka tidak mempermasalahkan tempat. Keduanya pergi agak menjauh, dan melakukan sholat di atas bebatuan pantai Kawaliwu. Luar biasa. Saya jadi teringat petuah Ustad Pion Ratulolly, “Kita boleh melakukan apa saja di dunia ini, asalkan dalam iman dan taqwa.”
Saat rombongan panitia lain tiba, suasana makin ramai. Banyak lelucon yang terlontar. Saat seperti itu, tertawa menjadi pekerjaan yang berat. Sedikit-sedikit tertawa, kami tertawa tidak sedikit.
“Kenapa air di pinggir pantai lebih hangat, sementara air laut tetap dingin?” Munculah pertanyaan itu.
Saya berusaha berpikir, tapi mentok. Utusan Agupena Jawa Tengah menjelaskan kalau air panas itu masih ada hubungannya dengan gunung berapi yang ada di dekat situ.
Saya coba manggut-manggut, berusaha untuk mengerti. Lumayan masuk akal. Saya lebih menerima argumen yang disampaikan Ama Pion, katanya: “Kalau kita gali lebib dalam lagi, satu meter kemudian kita temukan banyak kompor di sana.” Kami terbahak-bahak, itu artinya kami mikir, menurut Cak Lontong.***
Saverinus Suhardin
Penulis tinggal di Kupang