suluhnusa.com_ Aku yang mengikutinya dari belakang berteriak dan meminta padanya untuk jangan menyulutkan api untuk membakar hangus ilalang itu.
Sang surya melengkung dari dulir melintasi Tanjung Atadei menyinari Kanotan I di balik Tanjung. Indah nian. Desiran ombak membusa diselah bebatuan di tepi Pantai. Pantainya bersih dan indah dengan garis pantai melengkung bagaikan busur yang siap melepaskan anak panahnya. Pantainya sangat bersih.
Bersihnya pantai sampai karang dan ikan ikan dasar laut pun dapat kita nikmati dati permukaan laut. Orang yang datang di pantainya terkagum dengan laut biru membentang luas tak tahu ujungnya menambah daya tarik tersendiri.
Pagi itu ibu tani mengangkat bakulnya diletakan di atas kepalanya dan dengan semangat pagi, ia melerengi bukit dan lembah. Ia hendak ke ladangnya. Ia sangat gembirah terlihat dari senyuman di pipinya. Diladangnya ia menyulutkan api dan membakar ilalang yang ada. Aku yang mengikutinya dari belakang berteriak dan meminta padanya untuk jangan menyulutkan api untuk membakar hangus ilalang itu.
Aku ingin bertani tapi tanpa olah tanah. Aku menginginkan suatu sistem pertanian yang ramah lingkungan. Aku ingin bertani, aku mau bertani tapi dengan sistem yang berbeda dari masyrakat. Aku ingin pertanian organik yang ramah lingkungan.
Aku mau bertani…, aku memilih kampung Mulandoro, Kahatawa dan kampung Kenotan walau agroklimatnya kurang cocok untuk menanam gandum dan rami. Ketiga kampung ini jauh berada di pantai selatan pulau Lembata, dan tentu jauh dari Lewoleba yang berada si utara Pulau Lembata.
Aku ingin bertani, sebab jika orang tidak lagi menanam padi dan jagung, maka mereka juga tidak perlu menjual jagung dan beras dengan harga murah, tatapi membeli mie dan roti dengan harga berapa kali lipatnya. Dan jika rami sudah bisa menghasilkan bahan benang, maka para penenun tradisional tidak perlu mendatangkan kapas dari Amerika.
Dan untuk semua itu aku butuh lahan. Lahan kosong di ketiga kampung itu masih sangat luas. Lahan yang belum digarap para petani membentang sepanjang tanjung Atadei. Lahan yang mana yang ingin di garap untuk menanam rami. Lalu saja membabat alang-alang serta belukar, membakarnya dan nanti ketika turun hujan, lahan itu langsung di tanami. Tanpa di cangkul terlebih dahulu. Di lembah tanjung Atadei aku berladang. Aku pun ingin bertani.
Masyarakat ketiga kampung itu heran mengapa aku tidak menjadi guru saja tapi ingin menjadi petani? Aku sebenarnya tidak akan menjadi petani, tetap menjadi guru yakni guru bagi petani-petani di sini. Namun pertama-tama aku justru akan berguru pada ibu-ibu dan bapak-bapak di sini. Bagaimana memegang pacul, bagaimana cara mengayunkan parang untuk menebas ilalang, sebab semuanya masih sangat awam bagiku. Jadi sebelum saya menjadi guru saya ingin belajar dari bapak dan ibu sekalian.
Aku ingin bertani di sekitar Tanjung Atadei dengan menanam rami disana. Di sana ada rami tak ada ilalang lagi nantinya. Di ujung tanjung Atadei itu aku tertarik ingin membangun suatu daerah agrowisata yang penuh tanaman rami dan hortikultura nantinya sebab disana ada tempat wisata Patung Batu Atadei. Patung batu Atadei tidak hanya dapat ditempu dari desa dulir kecamatan Atadei tapi juga dapat ditempuh dari kampung Kanotan I .
Dan memang patung batu itu pemiliknya adalah kampung Kanotan I dimana merupakan sub dari desa alap Atadei yang menggabung ketiga kampung itu mulandoro, kahatawa dan kahatawa. Patung batu Atadei tersebut berada di tepi pantai di ujung Tanjung Atadei .
Untuk mencapat tempat dimana patung batu Atadei dari kota Lewoleba kita bisa menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat melintasi jalur terjal kerbaukenoki turun ke desa udak melomata dan terus ke lewuka dan ke Wulandoni, sampai di wulandoni berbelok ke timur maka kita akan melintasi desa pantai Harapan, Mulankera dan Leworaja.
Sepanjang jalan ini kita akan ditemani hawa panas air laut dan teriknya mentari. Jalannya dengan aspal yang terputus-putus, sampai di ujung kampung leworaja, ada sungai dimana airnya terus mengalir dimana sebagai tempat sumber air bagi desa desa di pinggir pantai. Kanotan I, Kahatawa dan Mulandoro pun mengambil air dari sungai ini. Walaupun mereka pun memiliki sumur di tepi pantai. Kita melintasi jalan tanah dengan kondisi kerikil lepas yang tajam.
Kita melewati kebun mente milik warga desa Lusilame kecamatan Atadei dengan sedikit pohon enau. Berjalan terus maka kita akan mamasuki kampung Mulandoro. Mulandoro merupakan pusat pemerintahan desa untuk ketiga kampung ini dengan nama desa Alap Atadei . Dua kilo meter setelah kampung mulandoro kita akan mamasuki kampung kahatawa jalannya agak baik sebab jalannya telah dirabat semen.
Kita keluar dari kahatawa melewati pekuburan umum kampung Kahatawa, Sekolah Paud Kahatawa di sebelah timur dan Kapela kampung kahatawa sebalah barat. Kita melintasi jalan tanah yang dibagun dengan danah Jalan Usaha Tani (JUT).
Di samping kiri kanan jalan terdapat pohon enau yang menghiasi sepanjang jalan menujuh kampung Kanotan satu. Dua kilo meter setelah kampung Kahatawa kita akan mendapat kampug Kanotan satu . Kampung Kanotan satu memiliki enam kepala keluarga dan masuk dalam sub dusun Kahatawa desa Alap Atadei. Dari kampung Kanotan satu kita akan menelusuri pantai dengan berjalan kaki sebab tak ada jalan mobil ke tempat Patung Batu Atadei maka kita akan mendapati Patung Batu Atadei dengan wajahnya berpaling ke desa Dulir.
Walau wajah patung batu itu berpaling ke desa Dulir namun milik patung batu Atadei adalah kampung Kanotan satu sub desa dari desa Alap Atadei. (yoseph y.m wuwur)