suluhnusa.com_Francesco Frangialli, The Secretary-General of The World Tourism Organiztion (WTO), pernah mengatakan bahwa ‘tourism at the turn of the century is growing faster than even our most optimistic predictions’, and is forecasted to double in the next 20 years.
Persis dalam ultra optimisme itu, semua negara berlomba-lomba mendatangan sebanyak mungkin wisatawan ke negaranya. Tidak ketinggalan negara kita, Indonesia.
Daerah-daerah di Indonesia saat ini giat mempromosikan paket-paket pariwisatanya. Bali yang sudah terlampau terkenal pun masih butuh promosi. Dana besar digelontorkan untuk membiayai promosi itu. Promosi mengandaikan keseriusan pemerintah untuk mendatangkan wisatawan, mancanegara maupun lokal.
Ketika pemerintah pusat mempromosikan ikon pariwisata nasional Komodo, mau tidak mau, itu pasti bersentuhan dengan konteks pariwisata lokal Manggarai Barat (Mabar). Habitat komodi berada di Pulau Komodo, Mabar. Karennya, nama Mabar pun melambung seriring laris manisnya Komodo sebagai ikon pariwisata nasional.
Mabar sebagai sebuah kabupaten belia kini sedang berkembang. Pemerintah Daerah (Pemda) Mabar sedang menggeliatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Untuk memacu pertumbuhan itu, pemerintah daerah menggenjot Pendapatan Asli Daerah melalui sektor-sektor basis. Pertanian dan pariwisata digadang-gadang menjadi sektor basis dalam rangka perolehan pendapatan dari dalam maupun luar daerah.
Kini, Pemda Mabar sangat fokus memperhatikan pariwisata ini. Banyak studi banding yang pernah dilakukan untuk mempercantik pariwisata Mabar, di antaranya di Bali dan Yogyakarta. Celakanya, hasil studi banding tersebut tidak melahirkan kebijakan strategis dan cerdas untuk pariwisata Mabar. Pariwisata Mabar cenderung menjadikan Mabar sebagai “Bali di luar Bali”.
Baliseering
“Bali di luar Bali” merupakan judul esai sastrawan Bali Gde Aryantha Soethama dalam bukunya berjudul “Bali is Bali” (2006). Bagi Soethama, tidak akan pernah ada Bali di luar Bali. Hanya ada satu Bali di Indonesia, yaitu Bali itu sendiri. Sudah sejak zaman pra-kolonial, Bali merupakan tanah yang unik dengan alam dan budayanya. Pada zaman kolonial, aparatus Nederlands- Indonesische pun tidak ingin mengubah kondisi sosial budaya Bali (bdk. Geoffrey Robinson, 2006). Oleh karena itu, Bali itu Bali.
Sebenarnya, Soethama ingin mengatakan bahwa setiap daerah itu unik dan khas. Tiap-tiap daerah memiliki keunggulannya masing-masing. Memang disadari, setelah Bali menjadi ikon pariswisata Indonesia, banyak daerah ingin membangun potensi wisatanya sama seperti Bali; paling tidak mirip. Kebijakan memetik pada pariwisata Bali ini, Mengutip Geoffrey Robinson, disebut dengan Baliseering.
Pemda Mabar pun ingin melakukan Baliseering. Bali menjadi kiblat pembangunan pariwisata Mabar. Tetapi, kebijakan baliseering Mabar itu merupakan kerja instan pemerintah daerah. Pemerintah tidak kreatif membangun industri pariwisata di Mabar. Padahal, industri pariwisata selalu berlandaskan kreativitas. Selain itu, Baliseering di Mabar hanya mengakibatkan loyonya aktivitas pariwisata Bali. Wisatawan keluar dari Bali (juga Lombok) justru karena ingin mencari suasana dan sesuatu yang lain.
“Candu” Pariwisata
Pariwisata menimbulkan “candu”. Candu pariwisata berarti kegairahan lebih terhadap pembangunan pariwisata sehingga memuculkan ekses negatif terhadap masyarakat. Dari sinilah kebijakan-kebijakan timpang itu lahir. Masyarakat lokal menjadi kambing hitam dalam agresi kecanduan itu.
Di Mabar pun sedang terjadi candu pariwisata. Sayangnya, ekstrim fokus kebijakan pada pariwisata mengakibatkan sektor pertanian terbengkelai. Masyarakat petani-lah yang menanggung semua risiko kebijakan timpang. Sementara, penduduk Mabar masih sangat bergantung pada sektor pertanian.
Selain itu, kebijakan Pemda Mabar juga kurang memperhatikan sektor perikanan. Nelayan-nelayan Mabar tidak mendapat perhatian. Efek domino dari kebijakan seperti ini adalah banyak kebutuhan-kebutuhan pangan di Mabar (khususnya Labuan Bajo) harus didatangkan dari NTB. Konsekuensi logisnya, petani Mabar semakin menderita secara ekonomi.
Spatial Inequality
Bahwa industri pariwisata tidak hanya berhenti pada faktor keuntungan ekonomi. Sejatinya, pariwisata juga bersentuhan dengan aspek sosial, budaya dan lingkungan alam. Semua aspek itu saling terintegrasi. Kebijakan pariwisata yang terintegrasi merupakan skema besar pariwisata yang berkelanjutan, sustainable tourism. Artinya, semua sektor itu akan saling mendukung dan menguntungkan semua pihak dalam pariswisata. Dengan begitu, pariwisata dapat berjalan dalam horison keadilan bagi semua elemen masyarakat.
Ketika kebijakan pariwisata tidak mempertimbangkan aspek sosial, budaya dan lingkungan, maka aktivitas pariwisata itu akan berujung pada kehancuran. Kebijakan pariwisata Mabar akhir-akhir ini sedang dalam turbulensi dan siap menuju kehancuran. Jalan menuju kehancuran itu ditandai dengan fokus kebijakan pemerintah hanya menyentuh aspek ekonomi. Sementara, aspek sosial budaya dan lingkungan hidup dianggap ceteris paribus.
Unjuk rasa masyarakat Pulau Kukusan, Desa Pasir Panjang, Kecamatan Komodo (FBC, 13/02/2014), merupakan akibat anggarapan ceteris paribus tersebut. Unjuk rasa warga Kukusan menandakan ada yang salah dengan kebijakan pariwisata Mabar. Bahwa pramatisme kebijakan pariwisata Mabar menimbulkan gejolak ketidakadilan.
Penjualan pulau kukusan telah mengakibatkan tersisihnya warga setempat. “Perselingkuhan intim” pemerintah Mabar dengan investor telah membuat warga kukusan marah. Di sini, pemerintah tidak lagi memperhatikan kehidupan warganya. Pemda hanya ingin mendapatkan keuntungan besar dari investor sementara warganya menderita.
Penjualan pulau Kukusan kepada investor merupakan pengingkaran terhadap entitas sosiologis masyarakat Mabar itu sendiri. Di sini, entitias warga Kukusan tidak dianggap sama sekali oleh pemda Mabar. Penjualan pulau Kukusan itu juga menandakan adanya ketidakadilan pembangunan dalam konteks pemanfaatan wilayah basis ekonomi. Inilahspatial inequality.
Sejarah panjang kasus spatial inequality telah lama terjadi di Mabar. Sejarah kelam itu terjadi dalam maraknya penjualan pulau-palau eksotis. Di antaranya, pulau Bidadari, Tatawa, Kanawa, dan Sebayur. Pemerintah menghamba pada investor asing, sementara rakyatnya harus didepak dari tanah airnya. Bumi, air dan kekayaan di dalamnya tidak lagi untuk rakyat, tetapi oleh pemerintah Mabar dijual untuk orang asing.
Pilihan Etik
Ketika pemerintah mengukuhkan level pembangunan daerahnya, sementara rakyatnya sendiri ditelantarkan maka pembangunan itu hanyalah sebuah utopia. Pemda Mabar sudah menjual banyak pulau demi pembangunan pariwisata. Inilalah paradox of tourism.
Paradox of tourism memunculkan kecurigaan bahwa ada unsur transaksi gelap dalam penjualan pulau itu. Transaksi gelap itu tentu menguntungkan penguasa. Keuntungan pribadi tentu besar sehingga penguasa daerah tega menjual pulau di Mabar.
Logika ekonomi penguasa tentu melibatkan keputusan politik. Bahwa elemen politik Mabar secara berjamaah mengambil keuntungan ekonomi dari penjualan itu. Karena itu, nyaris tidak ada satu pun wakil rakyat di daerah bersikap keras kontra penjualan pulau itu. Dalam aktivitas persekongkolan politik itu, rakyat sedang menjadi korban. Rakyat menjadi korban atas logika economico-politic pemimpin dan para wakilnya yang serakah.
Perjuangan politis masyarakat Mabar adalah untuk mencapai masyarakat yang sejahtera. Kesejahteran itu harus dirasakan oleh semua pihak. Inilah konsep masyarakat yang adil. Pemimpin hadir hanya menjadi konduktor untuk mencapai tujuan itu.
Membangun masyarakat yang adil berarti keharusaan untuk secara sadar dan aktif terlibat dalam perjuangan politis yang nyata (bdk. Gustavo Gutierrez, 1988). Tanggung jawab itu ada pada semua masyarakat Mabar. karena itu setiap kebijakan pemerintah harus melibatkan dan mempertimbangkan nasib rakyat Mabar.
Setiap kebijakan pemerintah seharusnya berkenaan dengan, mengutip Gustavo Gutierrez, “pilihan etis” (ethical choice). Artinya, kebijakan pembangunan harus memiliki watak kesetiakawanan kepada rakyat miskin. Kesetikawanan kepada rakyat itu tercermin dalam membuka akses sebesar-besarnya untuk rakyat dalam proses pembangunan. Dengan begitu, tidak akan ada rakyat miskin di Mabar. Karenanya, penjualan pulau di Mabar adalah pelanggaran UUD 1945 dan skandal kebijakan pemerintah daerah.
Februari 2014
Alfred Tuname
eh..kok caption gambarnya pemandangan pulau Rinca? sepertinya bukan..Berharap kebijakan pemda mabar tidak menjadikan destinasi ini sebagai mass tourism tapi lebih pada special interest saja,biar budaya, alam tetap terjaga keasliannya..