suluhnusa.com – Kehidupan manusia “zaman now” seakan-akan terstruktur oleh kejahatan, kriminalitas dan tindakan immoral lainnya. Semakin banyak dijumpai adanya kemerosotan dalam bidang moral dan martabat manusia serta keluhuran nilai-nilai spiritualitas dan religiusitas sebagai manusia yang beragama dan bernegara. Korupsi, media hoax, tindakan radikalisme oknum-oknum yang mengatasnamakan kelompok pembela agama, pengrusakan tempat ibadah, penyerangan terhadap tokoh agama serta politik berlabel kekuasaan yang disorientasi etis-moral dalam mana menghadapkan manusia pada absurditas, ketidakadilan bahkan penderitaan. Demikianlah sebagian dari sketsa hidup manusia Indonesia “zaman now” yang memicu keprihatinan dunia terhadap ekosistem yang berubah.
Pemerosotan ini didukung oleh perkembangan media sosial atau cyber media. Media sosial di Indonesia saat ini terkesan memiliki fungsi ibarat pedang bermata dua; dapat berfungsi untuk melindungi masyarakat atau sebaliknya dapat berfungsi untuk merusak moralitas masyarakat. Teknologi yang semula diciptakan untuk suatu tujuan yang baik yakni menolong manusia dengan informasi yang jujur, terkini dan terpercaya, kini cenderung berubah makna seperti provokatif dan propaganda. Manusia yang berakal budi seperti kehilangan kemurnian berpikir dan integritas diri untuk mempertahakan nilai dan etika dasar media telekomunikasi sosial, sehingga kearifan berubah nilai menjadi nafsu kebinatangan dan mencari keuntungan. Manusia semakin terasing dari dunia. Dunia seakan-akan menjadi kosmos yang tidak layak untuk dihuni. Jeritan dan tangisan seakan-akan menjadi dengungan ironis di zaman ini.
Eksistensi manusia sebagai pribadi yang bebas dan merdeka sebagai warisan mulia para pendahulu bangsa dan tokoh-tokoh serta guru besar agama, seolah-olah terhimpit di balik tirai kenistaan,keangkuhan dan keegoisan. Realitas yang demikian akhirnya, mempersempit ruang gerak manusia di dalam menjalankan perannya sebagai pribadi yang bebas, merdeka dan demokratif. Keberadaan dari seorang pribadi disoroti dengan sebuah kecurigaan. Sikap-sikap demikianlah yang dapat menghancurkan hidup manusia. Dengan demikian, menjadi benarlah apa yang dikatakan oleh Thomas Hobbes “Homo Homini Lupus” manusia adalah serigala bagi sesamanya. Moralitas pribadi menjadi kabur dan sirna. Orang lain adalah sumber konflik dan neraka bagi dirinya pun semakin keras dengungannya. Tatapan mata orang tidak lagi dipandang sebagai sebuah keramahan namun dipandang sebagai ancaman akan kenyamananku. Perbedaan semakin hilang keindahannya, menyisakan kesemrawutan yang ada.
Realitas keprihatinan ini jika tidak dimaknai dan direnungkan secara benar maka niscaya manusia akan semakin terkungkung dalam rasionalisme, radikalisme, konservatisme dan fundamentalisme yang ekstrim. Toleransi hanyalah sebuah seruan tanpa makna. Pancasila bahkan semakin luntur aura kesaktiannya untuk menyatukan perbedaan yang ada di bumi Indonesia.
Sketsa hidup manusia “zaman now” yang demikian memunculkan suatu kerinduan dan harapan baru. Kerinduan dan harapan baru untuk sebuah cita-cita hidup yang lama dan primitif namun menciptakan keindahan dan harmoni. Dalam bingkai kerinduan diperluakan sebuah sebuah refleksi untuk menguak sebuah kesadaran baru, bahwa sepertinya ada elemen dalam pribadi
manusia yang berbangsa, bernegara dan beragama harus dikembalikan fungsinya. Pancasila. Ya Pancasila adalah elemen yang sedang tenggelam dalam penghayatan hidup generasi “zaman now”. Pancasila yang adalah payung kemajemukan yang mampu menenun toleransi dan harmoni di bumi Indonesia tercinta ini, kini mulai tercabik. Refleksi kritis dan dialog perjumpaan diperlukan dalam usaha membangunkan kesadaran bersama akan nilai luhur Pancasila yang tengah dirongrong berbagai praktek intoleransi, menuju sebuah gerakan pembaruan menenun kebhinekaan demi terciptanya keindahan, harmoni dan toleransi. Dalam merajut nilai kebangsaan yang berlandas pada kebhinekaan bangsa, sangat diperlukan sebuah semangat yang sama, yakni semangat membangun kebersamaan dalam perbedaan. Inilah kesadaran kolektif yang harus tertanam dalam nurani setiap warga masyarakat dan umat beragama.
Kita dipersatukan bukan karena kita memiliki agama dan suku yang sama, tetapi kita bersatu karena kita berbeda. Inilah keindahan kita di mata dunia. Ketika kita berketuhanan, maka kita harus memelihara solidaritas antarmanusia pula. Sebetulnya kita adalah satu keluarga besar yang bernaung dalam satu bahasa, satu bangsa, satu negara Indonesia dengan Pancasila sebagai payung kemajemukan kita. Pancasila perlu dihadirkan sebagai jalan kerahmatan yang dapat mengarahkan semua elemen masyarakat kepada sikap saling mengasihi dan menghargai. Sayap burung garuda membentang tanpa ragu mengayomi dan memayungi seluruh masyarakat di tanah air yang berbangsa, bernegara dan beragama.
Mari bersama mengobras helai-helai pertemanan, persaudaraan yang mulai lepas, menenun kebhinekaan yang kian tercabik dengan dialog dan pengalaman perjumpaan yang secara terus menerus. Kita Bhineka-Kita Indonesia-100% Katolik-100% Indonesia. ***
Valentino Ritan, SSCC
Rektor Skolastikat SSCC Yogyakarta