suluhnusa.com-Korupsi di Indonesia menjadi salah satu kasus yang menempati strata tertinggi dalam sistem ketatanegaraan.
Hampir dari hari ke hari kita mendengar dan menyaksikan bagaimana korupsi merajalela di setiap lapisan sosial. Korupsi di Indonesia memburuk sebanyak 64,4 persen responden menilai bahwa kasus korupsi tahun ini meningkat dibandingkan dua tahun sebelumnya (Kompas, 27/7/2016). Hal ini menandakan bahwa korupsi adalah kasus krusial yang seharusnya dibekukan.
Fenomena meningkatnya prosentase korupsi secara drastis sejatinya menunjukkan bahwa korupsi adalah kasus yang mudah diadopsi oleh semua kalangan tanpa kenal waktu. Realitas ini sesungguhnya menyita atensi publik untuk mengklarifikasi serta mencari solusi guna membatasi ruang gerak para koruptor elite.
Membatasi koruptor elite bukan berarti bahwa kasus korupsi tidak terjadi dalam aktivitas masyarakat lokal atau tradisional, melainkan sebuah misi baru dalam menciptakan ideologi bahwa korupsi adalah fenomena yang sangat impulsif sifatnya. Sifat dadakan inilah yang menjadi alasan mengapa korupsi rentan terjadi dalam tatanan para elite di negeri ini.
Kebijakan negara secara esensial bertujuan melegitimasi segala macam peran sosial yang ditunjukan oleh setiap masyarakat tanpa terkecuali. Artinya, legitimasi negara tidak membangun distorsi dalam ranah publik. Negara hadir sebagai media yang bersifat netral untuk mempertemukan ruang gerak publik baik yang datang dari kalangan bawah maupun kalangan elite.
Atas persepsi inilah maka negara mempunyai kewajiban untuk membatasi aksi korupsi publik ke dalam ranah hukum. Dengan demikian, ketika seseorang atau sekelompok orang terjebak dalam tindakan korupsi, di sana kita akan memahami bagaimana peran dan kewajiban negara menghadirkan hukuman sebagai alternatifnya. Meskipun hukuman dijadikan sebagai parameter untuk menjamin efek jera, tetapi popularitas korupsi semakin melejit dari hari ke hari. Dan tidak sedikit kasus korupsi itu menyeret para koruptor elite di tingkat pusat maupun daerah.
Kepiawaian para elite dalam aksi korupsi kini membentuk satu matarantai tak terputuskan. Agresivitas para elite dalam kasus korupsi dalam beberapa pekan terakhir semakin aktual. Reaalitas terbaru membuktikan bahwa, Irman Gusman, salah satu elite negara yang berprofesi sebagai ketua DPD turut menjadi sosok koruptor ketika Olah Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korusi (KPK) dengan membuktikan bahwa yang bersangkutan mendapat suap dalam kasus impor gula.Realitas ini mau menunjukan bahwa korupsi adalah budaya sesat yang membuat orang lupa diri, lupa akan relasi sosial serta status, bahkanmirisnya lagi orang bisa menegasikan peran legitimasi negara. Apa yang dilakukan Irman Gusman adalah sebuah pukulan bagi publik bahwa korupsi adalah jalan termudah yang bisa dilakukan kapan dan di mana pun setelah seseorang mapan atau tergolong dalam kalangan elite.
Penulis meyakini bahwa kasus korupsi elite seperti ini secara tidak langsung mempertaruhkan kredibilitas para elite terhadap rakyat banyak serta menciptakan ruang pisah yang signifikan.Ruang pisah tersebut menegaskan bahwa para elite menjadi skandalon dalam seluruh aktivitas sosial.Kekecewaan dan hujatan publik tentunya mengarah kepada yang bersangkutan (Irman Gusman), lebih-lebih suara yang datang dari daerah di mana ia pernah memperoleh dukungan.
Media-media sosial begitu antusias menghadirkan kasus ini ke hadapan publik. Media sosial baik cetak maupun elektronik secara detail menguraikan dan menyodorkan kepada publik tentang kronologi kasus suap yang didalangi oleh oknum elite bersangkutan. Bahkan dalam berbagai sesi dialog di chanel Televisi, kita menyaksikan betapa miris kasus suap yang langsung diimingi sejumlah uang mencapai nominal ratusan juta rupiah.
Pada titik ini, kita bisa berasumsi bahwa kasus suap langsung menjadi faktor pendorong mengapa animo para elite cepat terbius pada daya tarikkorupsi. Kita memahami fenomena ini sebagai tanda krusial di balik sitem dan tata hukum negara kita. Menjadi signal krusial karena korupsi sebagai salah satu bentuk penyelewengan, pada dasarnya turut mencederai reputasi bangsa ini. Ruang privat yang dimodifikasi ke ruang publik oleh para elite secara pelan namun pasti sedang mereduksi sistem-sistem ketatanegaraan yang legitim karakternya.
Sudah saatnya kita berdalih sumpah memberantas serentak mengutuk korupsi elite. Kita optimis untuk mengatakan stop korupsi elite. Sumbangsih kita tidak cukup pada seruan atau slogan semata, tetapi harus diwjudnyatakan dalam situasi konkret kehidupan kita.
Penulis mengajak semua kalangan untuk menyikapi beragam kasus korupsi di tanah air. Negara ini tidak akan pernah mapan dalam seluruh tata kelola anggaran, apabila masing-masing orang belum sadar akan kompetensi dirinya. Artinya, harapan menuju peradaban negara yang berintegritas, jujur, dan adil hanya bisa tercipta berkat peran dan partisipasi setiap orang sebagai warga negara yang berjiwa nasionalis.
Dalam kasus korupsi, kita tidak hanya mengandalkan kinerja para Komisi Pemberantasan Koruspsi (KPK), tetapi hendaknya menjadi bagian dari misi kita bersama. KPK hanya hadir untuk memediasi harapan publik. Terpenting sekarang adalah bahwa kita mengutuk korupsi dan dengan tegas mengatakan stop korupsi elite. Berpijak pada kenyataan ini, penulis mengajak semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat untuk menegakan hal-hal berikut.
Pertama, pihak pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah harus tegas memberlakukan peraturan perundang-undangan sebagai jaminan pertama untuk membekukan aksi korupsi. Oleh karena itu, setiap elemen atau lembaga elite negara harus menerapkan peraturan khusus. Dalam artian bahwa selain Undang-Undang negara yang diakui umum, aturan khusus menjadi media kedua yang turut mengikat ruang gerak para elite di dalam lembaga tertentu. Hal ini urgen mengingat dewasa ini korupsi lebih mudah terjadi dalam lembaga-lembaga elite negara serta budaya korporasi. Aturan khusus yang penulis maksudkan di sini adalah aspek yang menjadi tolok-ukur dalam menciptakan keseimbangan antara ruang gerak privat dan ruang gerak publik. Dengan adanya aturan khusus, seseorang atau sekelompok orang yang bergiat dalam lembaga elite tertentu akan tahu kapasitas serta orientasi misinya. Entah misi ke ranah privat maupun ke ranah publik. Aturan khusus yang diberlakukan menjadi kontrol model yang kemudian diinternalisasikan para elite dalam mengemban dan mengaktualisasikan segala bentuk misi kolektif.
Kedua, semua kalangan masyarakat hendaknya menjadi pengawas sekaligus pengontrol atas setiap kebijakan negara yang dijalankan para elite negara tertentu. Artinya, setiap masyarakat berkewajiban memberi autokritik terhadap orientasi kebijakan publik yang dianggap keluar jalur atau menyimpang dari sistem normatif negara.
Masyarakat dalam berbagai lapisan diharapkan agar bisa membentuk semacam kelas kontrol sosial. Metode ini sebagai media yang memudahkan masyarakat dalam menerima dan memberi informasi mengenai kebijakan negara yang dijalankan para elite.
Oleh karena itu, kelas kontrol sosial sekurang-kurangnya mampu memediasi kasus korupsi ke ranah hukum. Dengan jalan ini, kita sesungguhnya sedang bermisi untuk mengutuk dan mengatakanstop korupsi elite.****
Yandris Tolan.
Alumnus Seminari Menengah San Dominggo Hokeng-
Flores-NTT